JAKARTA (SUARABARU.ID) – Indonesia krisis sumber pemimpin, karena setiap akan pemilihan umum atau pemilihan presiden kesulitan mendapatan calon, terlebih mereka yang berkualitas.
Menurut mantan Kepala Bappenas dan Menteri PPN, Andrinof A Chaniago, sebagian orang yang menjabat di posisi puncak lembaga negara, selama ini nilainya di bawah kualifikasi ideal. Maka dari itu, ada yang harus diubah dengan sistem kaderisasi yang benar sehingga memunculkan bibit-bibit unggul calon pemimpin.
“Kita krisis sumber pemimpin. Dalam jangka panjang kita tidak akan mendapatkan pemimpin dengan kriteria mendekati sempurna, jika tidak ada inisiatif mempersiapkan calon-calon pemimpin secara terencana, terorganisasi dan atau dikelola oleh lembaga, organisasi, atau komunitas,” katanya saat diskusi Talk and Sharing yang digelar Komunitas Aksi Literasi, Kamis (3/11/2022) malam.
Acara yang bertema ‘Merancang Jalan, Melahirkan Pemimpin Masa Depan’ menghadirkan sejumlah penanggap yakni Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Prof Dr Hamdi Muluk, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prof Siti Nurbaya, serta Aktivis Milenial, Tsamara Amany Alatas.
Menurut Akademisi FISIP UI itu, ada pekerjaan besar mencari calon pemimpin nasional atau presiden masa depan. Jika dipetakan, sebenarnya ada banyak pipa saluran yang bisa menciptakan calon pemimpin. Mulai dari kepala daerah, partai politik, organisasi kemasyarakatan, gerakan masyarakat sipil, BUMN, organisasi pengusaha, birokrasi, kejaksaan, TNI-Polri hingga kampus.
“Kuncinya, jalur yang paling ideal untuk mendapat calon pemimpin nasional adalah dari kepala daerah berprestasi, mulai dari wali kota atau bupati hingga gubernur,” paparnya.
Hal tersebut dimungkinkan karena tugas kepala daerah mengurus berbagai urusan publik dan selalu berinteraksi langsung dengan masyarakatnya. Di mana daerah menjadi tempat ujian evaluasi dan juga sebagai kontrol sosial. Karena masyarakatnya memiliki memori kolektif apakah pemimpinnya sukses atau tidak.
Terlebih, kepala daerah dalam satu periode masa jabatannya yang berprestasi harus diberi kesempatan untuk menimba ilmu di dunia internasional sekurang-kurangnya 2 bulan tidak berturut-turut, sehingga wawasannya global.
“Misalnya jenjangnya pada usia 35-45 tahun jadi wali kota atau bupati, 45-55 gubernur, 40-65 tahun menteri, jadi presiden 50-60 tahun. Ada tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk menjadi pemimpin nasional,” terangnya.
“Jika bupati dan wali kota orang-orang muda usia 30-an tahun. Periode 20 tahun mendatang bisa dapatkan banyak calon pemimpin. Mereka belajar mengenal urusan publik yang kompleks dulu, matangkan diri dan syarat kepemimpinan lain,” katanya.
Bahkan lanjut Andrinof, pihaknya juga mendorong camat atau pejabat setingkat camat yang terbukti berprestasi, administrasi bagus hingga komunikasi bagus harus berani maju sebagai calon wali kota atau bupati. Pasalnya mereka dicetak sebagai kader pemerintahan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat.
“Harus berani meninggalkan statusnya sebagai ASN. Mau jadi pemimpin harus berani kehilangan karir di birokrasi. Kalah tak apa sudah ada modal. Dari salah satu saluran itu, akan lahir pemimpin-pemimpin masa depan,” katanya.
Andrinof menambahkan, perlu ada kelompok independen yang membangun dan mengelola talent pool bakal calon-calon pemimpin nasional. Meskipun yang memiliki tanggung jawab rekrutmen, training, coaching dan uji tugas bagi bakal calon pemimpin, di antaranya parpol dan lembaga negara.
Seperti halnya yang mendorong pertama Jokowi dari pemimpin di Kota Solo, menapaki Gubernur Jakarta hingga akhirnya Presiden Indonesia dua periode.
“Kualitas pemimpin itu yang pokok sekali harus memiliki kriteria kecerdasan emosional, kemampuan berfikir strategis, punya visi jelas, mengorganisasi, komunikasi dan mengambil keputusan. Pemimpin matang itu karena melalui perjalanan waktu,” katanya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Prof Siti Nurbaya, menjelaskan, jika leadership saja untuk kepemimpinan saat ini tidak cukup. Di mana kehidupan dan perkembangan zaman semakin canggih, membutuhkan calon pemimpin yang memiliki followership kuat.
“Tentu saja kenegarawanan. Sekarang anak-anak semakin canggih dan lebih pinter. Harus pintar melihat, berfikir, belajar dan modifikasi,” katanya.
Sementara Guru Besar Fakultas Psikologi UI, Prof Dr Hamdi Muluk menjelaskan, jika di birokrasi akan mengasah kemampuan seseorang pemimpin ke jengjang lebih tinggi. Sementara calon pemimpin perlu dicari, dikumpulkan, dilatih, dimentoring, dibina dan seterusnya yang akan melahirkan pemimpin pintar.
“Tesis menyebut, kenapa Singapura maju? karena orang-orang yang mengurus urusan publik dan orang mengurus urusan privat di korporasi tak ada ketimpangan. Di sini timpang, orang-orang baik masuk sektor privat, karena gaji bagus, institusi lebih bersih, nyaman dan kondusif. Sementara institusi publik dikenal punya problem. Ini pekerjaan rumah kita,” katanya.
Hery Priyono