blank

Oleh: Amir Machmud NS

blankRELAKAH kita menyerahkan urusan-urusan privat ke ruang digital?

Dari kekisruhan rumah tangga, drama kehidupan para pesohor, konflik digital dari perang cuitan, kekeruhan utang piutang, hingga aib seksual?

Belum lagi urusan-urusan publik yang tereksploitasi dalam ekspresi konfliktif, perang opini politik, serta menggiring faksionasi pemikiran dalam ungkapan-ungkapan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).

Media seolah-olah tak berdaya, “memasrahkan diri’ menjadi ruang yang teracak-acak untuk menampung kekisruhan-kekisruhan privat itu.

Misalnya, pentingkah kita “melibatkan diri” dalam urusan rumah tangga Vicky Prasetyo dan Kalina Oktarina? Lalu memberi seleluasa itu ruang dalam sambung-menyambung tensi tinggi untuk saling bongkar aib antara keduanya?

Contoh lain, sedemikian rincikah kita merasa perlu untuk masuk ke lingkaran masalah internal, hati dan perasaan Vena Melinda dan Ferry Irawan menjelang pernikahan mereka? Akankah kita ikut-ikutan memberi penilaian terhadap rencana privat kedua artis itu?

Juga banyak contoh lain yang sedemikian eksploitatif mengaduk-aduk ruang privat, bahkan hingga “ruang tidur”, dan pola hidup para pesohor.

Tidak sedikit saya tangkap keluhan netizens dalam kanak-kanal komentar berita di sejumlah media online. Ada nada mengingatkan, sinis, dan memberi saran, “Tidak ada berita yang lainkah?” “Berita sampah”, “Berita tidak penting”, “Siapa sebenarnya yang dibodohi dengan informasi seperti ini?”

Dinamika serupa juga berlangsung di wilayah publik. Misalnya, baru saja kita disodori narasi mengejutkan Menteri Agama Yaqut Cholil Qaumas tentang suara azan di sebuah lingkungan warga. Ketika pernyataan itu “menyalakan” reaksi banyak pihak, siapa yang kemudian harus bertanggung jawab: Menag yang boleh jadi tidak mempertimbangkan efek ucapannya, atau media yang memberi ruang untuk tujuan mulia berlabel “fungsi edukasi” dan kontrol sosial?

Dalam kasus kekisruhan semacam ini, bagaimana seharusnya media memosisikan diri untuk memberi “solusi”, dan tidak sekadar menyampaikannya sebagai fakta yang dibentuk sebagai “realitas”?

Tafsir Peran Pers

Peranan pers, secara ideal, tidak jauh-jauh dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Yakni memberi informasi, memberi pendidikan, memberi hiburan, dan menjalankan kontrol sosial.

Lalu, atas nama fungsi ekonomi, banalitas performa penyajian itukah yang dipilih oleh pers untuk merelakan diri memfasilitasi kekisruhan-kekisruhan privat?

Pertimbangan fasilitasi itu sangatlah mudah dibaca, yakni orientasi mengejar viralitas dari jumlah “pengunjung” yang terkait dengan passive income dari google adsense.

“Ideologi” pendapatan ini tidak bisa disalahkan sebagai semata-mata beban media, tetapi menjadi terjemah paling logis dari realitas bahwa “untuk menjalankan idealisme editorialnya media membutuhkan topangan bisnis yang kuat”. Jadi ini adalah bagian dari realitas bisnis media.

Akan tetapi, haruskah doktrin bisnis seperti ini merelakan posisi media untuk menjadi “ajang kekisruhan” yang tak jarang bahkan sesemikian rupa di-setting dan di-framing?

Terkadang pikiran waras kita mencoba menelisik, rasa-rasanya tidak sedikit pesohor yang sengaja menyerahkan urusan privatnya “dikelola” media dengan intensi merawat popularitas. Lalu apakah pemberitaan semacam itu menjadi bagian dari model yang direlakan oleh para selebriti?

Saya membayangkan langkah itu sebagai pilihan agar berlangsung “hiruk pikuk”, dan terus “hiruk pikuk”. Drama-drama yang mengikuti, apakah itu merupakan kondisi yang direncanakan dan dikehendaki? Apakah mereka memang memanfaatkan media untuk menciptakan kehirukpikukan dalam kekisruhan itu?

Sudut Pandang Media

Dari sudut pandang media, lalu apa bedanya aneka pemberitaan “kekisruhan privat” dari rumor dan gosip yang biasa menjadi konten platform-platform media sosial?

Bagaimanapun, para pekerja media tetap harus berpijak, bahwa standar jurnalistik akan terukur sedikitnya dari tiga matra. Pertama, atas tujuan apa wartawan dan media menyajikan informasi? Tentu untuk memberikan informasi tepercaya kepada publik.

Kedua, agar publik percaya, informasi itu harus dapat dipertanggungjawabkan. Dan, ketiga, agar akuntabel, informasi itu harus diuji dari mekanisme verifikasi yang berdisiplin.

Etika jurnalistik tak cukup hanya menekankan standar mekanisme mengetengahkan informasi tepercaya itu. Pertimbangan “kepentingan publik” akan mengunci fungsi pers untuk menciptakan kemaslahatan sosial. Maka sisi-sisi persyaratan mengedukasi dan menginspirasi idealnya dijadikan vitamin tambahan untuk memperkuat vitalitas informasi.

Ya, kalau sekadar membodohi publik, apa artinya?

Kalau sekadar memberi ruang pada urusan-urusan privat yang bukan untuk kepentingan umum, apa nilainya?

Maka informasi-informasi dari dunia hiburan pun sejatinya bisa dikemas dalam formasi nilai yang menghindari eksploitasi ruang privat.

Benar, media merupakan refleksi dari kebutuhan manusia untuk mengetahui informasi, yang makin tersembunyi informasi itu maka adrenalin manusia makin tergerak untuk mendapatkannya; namun tidaklah bijak apabila “kemuliaan peran” media diserahkan untuk tanpa kendali menampilkan pertikaian-pertikaian drama para pesohor.

Mengukur “kepatutan” dalam pemancaran etika jurnalistik bisa jadi memang subjektif, namun gtentu tetap ada nilai-nilai universal. Sebebas apa pun, seperti yang pernah disampaikan tokoh pers Jawa Tengah, Soewarno (alm) pada 1980-an, “Wartawan harus tetap punya hati”.

Maka wajah media arus utama dan media sosial bagaimanapun harus dibedakan, sehingga jurnalisme tidak dijauhkan dari kemuliaan nilai-nilainya.

— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah