SEMARANG (SUARABARU.ID) – Keputusan pemerintah untuk menjadikan BPJS sebagai syarat mengurus urusan publik seperti pembuatan SIM, STNK, jual beli tanah, hingga umrah disebut akan membebani masyarakat.
Semangat membangun sistem kesehatan yang menyeluruh dinilai baik, tapi menerapkannya di masa pandemi seperti sekarang ini jelas bukanlah pilihan tepat.
Keputusan itu berdasarkan pada Instruksi Presiden RI (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Dalam Inpres tersebut, isinya mendorong sekitar 30 kementerian dan lembaga negara untuk mengoptimalisasikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sesuai dengan tupoksi masing-masing.
Sehingga warga negara yang akan mengurus urusan publik tersebut harus terdaftar sebagai peserta JKN aktif.
Ketua Fraksi Gerindra DPRD Jateng, Rohmat Marzuki, mengatakan, mensyaratkan BPJS untuk pengurusan urusan publik tersebut sebenarnya tak ada kaitannya.
Kebijakan tersebut sebenarnya sah-sah saja untuk peningkatan pelayanan kesehatan di tanah air untuk semua masyarakat, dengan syarat pemerintah mesti terbuka dengan keuangan BPJS selama ini. Ditambah, mesti ada solusi bagi yang memang tidak mampu.
“Berapa premi yang masuk, berapa yang di-cover. Berapa yang dikeluarkan dari premi itu. Kalau dana juga diputar untuk investasi, maka bisa disosialisasikan juga agar lebih transparan,” katanya, Senin (21/2/2022).
Menurutnya, ketidaktransparanan atau belum tersosialisasinya data dan anggaran itu akan memicu ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Terutama pengelolaan dana BPJS.
Alasan kedua, penerapan BPJS untuk syarat mengurus urusan publik saat ini jelas tak tepat. Terutama pada masyarakat untuk kelas ekonomi menengah ke bawah. Kondisi pandemi sudah membuat ekonomi masyarakat terasa berat.
Sebagai catatan, belum semua masyarakat Jateng terdaftar sebagai anggota JKN. Sesuai catatan dari BPJS, hingga tahun kemarin baru 30 juta penduduk Jateng yang terdaftar.
Artinya, masih ada sekitar 6 jutaan penduduk Jateng yang belum masuk di JKN tersebut. Dengan persentase kepesertaan JKN berkisar 81,6% untuk 35 kabupaten/kota di Jateng berdasarkan pendataan BPS tahun 2020.
Rohmat Marzuki yang anggota Komisi B DPRD Jateng ini mengatakan, BPJS tak bisa melihat angka 6 juta penduduk ini sebagai potensi ‘pemasukan’ namun harus juga dilihat seberapa kemampuan ekonominya. Belum lagi ada wacana kenaikan premi BPJS.
“Jika yang belum terdaftar di BPJS itu adalah masyarakat ekonomi menengah atas atak kalangan mampu, saya kira tidak masalah. Tapi jika mereka ini ekonomi menengah ke bawah dan dipaksa untuk mendaftar maka ya memberatkan. Untuk makan saja terbatas, mau ngurus SIM harus bayar BPJS,” katanya.
Jika itu dipaksakan, maka akan ada jalan buntu. Maksudnya, masyarakat mau usaha terkendala BPJS. Sementara saat mau mendaftar BPJS dan membayar premi ndak punya cukup uang.
Kecuali, lanjut Politikus Partai Gerindra tersebut, ada skema bantuan dari pemerintah pusat atau daerah. Bantuan itu sebagai solusi untuk meringankan masyarakat ekonomi menengah ke bawah untuk menjadi peserta aktif JKN tersebut.
“Aturan itu harus solutif. Jangan hanya memaksa tapi tidak ada solusi. Pemerintah pusat atau daerah mesti memberikan bantuan jika aturan itu memang dipaksakan untuk diterapkan,” katanya.
Hery Priyono