ERNAHKAH Anda mendengar kisah abdi yang mampu menyeberangi samudra berbekal bacaan “asmaul husna” Ya Kayuku Ya Kayumu? Atau kisah Sutowono yang bergelar Sunan Kobong yang mewiridkan “Ya Tapasku Ya Jarakku”?
Apa yang diamalkan Sutowono, itu aslinya Asmaul Husna, “Ya Hayyu Ya Qayyum” dan “Ya Fattahu Ya Rozzaku,” jika diamalkan orang yang memiliki keyakinan dan keikhlasan, walau diucapkan kurang benar dalam pelafalan, ternyata memunculkan daya magis luar biasa.
Zaman sudah berganti yang menyebabkan ilmu menjadi kurang berkah. Hal itu tidak lepas dari mudahnya seseorang mendapatkan informasi keilmuan tanpa melalui perjuangan sebelumnya.
Kini, semua diganti dengan uang. Dan karena prosesnya mudah didapatkan, menyebabkan ilmu menjadi kurang dihargai, bahkan diibaratkan, air yang bersih dicari timba, karena timba yang butuh air.
“Timba-timba” zaman sekarang yang mencari air. Dibaratkan air yang datang itu air bah yang keruh dan membawa penyakit. Tentu, perumpamaan ini terlalu berlebihan. Karena apa yang dianggap tabu pada zaman dulu, belum tentu tabu pada zaman sekarang.
Zaman sudah berganti. Informasi suatu ilmu mudah didapat, melalui buku dan media lain yang lebih canggih. Dampak dari kemudahan itu tentu ada, yaitu orang kurang menghargai ilmu, karena proses mendapatkannya yang terlalu mudah.
Apalagi, selain “guru” dalam sosok manusia, sekarang kita bisa berguru dengan banyak sarana, melalui buku, kitab dan bentuk alat komunikasi lain yang perannya bagaikan guru yang tidak pernah mati. Bahkan kita pun bisa “berguru” dengan hati nurani kita sendiri.
Menurut sahabat Ali KW,” di dalam dada kita ada ilmu yang banyak sekali, jika engkau menemukan orang yang sanggup membawanya. Arti dari membawa ilmu memiliki kepribadian yang menyebabkan ilmu itu menjadi berkah dan bermanfaat.
Orang-orang yang mampu “membawa” ilmu ditandai sikapnya yang terpuji, santun pada yang lebih tua, sayang pada yang lebih muda, rendah hati atau tawaduk. Sabda Nabi SAW, “Ilmu itu musuh dari pemuda yang besar kepala, laksana air dengan tempat yang tinggi.”
Artinya, jika ingin didatangi ilmu, jadikan hatimu bagai “tanah” yang rendah (tawaduk). Dan ilmu itu laksana lautan yang tak terkirakan kedalamannya, dan setiap pelajar bisa menyelami sesuai kebaikan dan motivasinya.
Memotivasi dan Ritual
Kelas I SMP saya mulai belajar silat. Latihan malam hari tanpa diawali pemanasan dan peregangan. Pertama kali latihan bersama 11 teman, namun hanya dua yang bertahan.
Pelatihan ala ndesa (tradisional). Tak ada pemanasan atau peregangan. Begitu datang langsung tarung bebas. Kata Guru, soal teknik bisa menyusul, yang penting mengasah refleksnya.
Saya mulai berlatih tahun 1975 hingga akhir 1980. Dan itu kami jalani malam hari. Ke rumah guru jalan kaki pulang-pergi 5 km. Waktu itu belum ada listrik. Istirahat pada malam Jumat dan bulan puasa.
Silat tradisional identik dengan tradisi metafisik, teknik dan refleks. Metafisik diajarkan ketika fisik dan teknik sudah selesai, itupun dengan syarat yang luar biasa sulitnya, yaitu, telasan (akhir) dengan ingkung ayam sliwah.
Yang dimaksud ayam sliwah adalah ayam betina yang memiliki satu taji (Jawa: jalu), dan untuk mendapatkan ayam itu perlu waktu 2,5 tahun, karena mencarinya secara manual. Sliwah, dalam bahasa Jawa artinya “meleset”.
Kata Guru, ritual itu jika berhasil ditandai saat syukuran ingkung ayam –kulit dan daging– alot (keras). Dan itu terbukti, semua yang hadir saat acara itu kerepotan saat makan dagingnya serasa kulit kerbau kering.
Saya dan dua teman seperguruan menjalani prosesi “Sliwah” dengan cara puasa dan tidak tidur hingga pagi hari. Dan ketika matahari mulai terbit, kami harus sudah berada pada sungai yang memiliki kedalaman di atas lutut.
Selanjutnya, kami harus berjalan melawan arus sungai, dan mundur satu langkah, atau terpeleset, berarti batal. Ujian ini diperlukan untuk menempa daya juang.
Jika itu sudah dilakukan sesuai perintah guru, dampaknya membentuk mental tidak mudah menyerah, tahan lapar dan haus. Ujian itu disempurnakan dengan laku tapa pendhem atau tapa ngluwang, yaitu dikubur hidup-hidup dan ini lebih berisiko, karena perlu keberanian, kemantapan hati dan harus ada pembimbing.
Tapa ini dilakukan setelah melakukan puasa tujuh hari. Setelah itu, dikubur hidup-hidup, namun tetap diberi lobang agar dapat bernapas, dengan bambu yang dilobangi. Untuk melakukan, ini otak tarik ke dengkul dulu.