Oleh: Amir Machmud NS
// cinta melabuhkan sepak bola/ ke kedalaman rasa/ mengaduk hati dan daya cipta/ ada apa di balik hasrat?/ cinta menarasikan semua/ gol-golkah yang menjadi muara?//
(Sajak “Barcelona, dalam Cinta”, 2021)
PERCAYALAH, kalian bakal menemukan cinta di antara taktik dan kerasnya sepak bola.
Bola bergulir, direbut, dikuasai, dikelola, lalu dieksekusi. Momen mendebarkan bernama “gol” adalah muara dari produk pergulatan perasaan antarelemen mulai dari pemain, pelatih, manajer, tenaga medis, instruktur kebugaran, hingga petugas-petugas teknis lainnya.
Tanpa curahan ritus perasaan, takkan ada permainan yang berlambar hati. Dengan hati, para pekerja sepak bola mengungkapkan cinta.
Dan, tentulah kalian paham, perasaan terdalam itu memainkan peran dalam relasi di antara mereka yang bertaut dengan dinamika perjalanan sebuah klub.
Demikianlah saya menarasikan perjalanan pikiran seorang Xavi Hernandez dalam amanah membawa Barcelona menempuh perjalanan baru. Benar-benar rute baru, karena kini El Barca harus berani “menginjak bumi”, menjauh dari predikat sebagai penguasa yang selama 20 tahun terakhir bergelimang kemewahan pesona.
Blaugrana bukan lagi “lakon” yang dalam setiap laga mendominasi penguasaan bola, atau yang dalam rezim Pep Guardiola diberi label sebagai tiki-taka, atau possession football yang menjadi “ideologi” filosofis Akademi La Masia.
Barcelonistas sejagat pasti merasai kepedihan Xavi, para pemain, dan legenda-legenda klub. Gagal lolos dari fase grup Liga Champions musim ini, yang mengulang sejarah pahit 21 tahun silam, jelas menjadi titik kemuraman.
Siapa pun yang menanam cinta kepada Barca tentu merasakannya sebagai momen patah hati yang luar biasa. Tak ada pemain dan mantan pemain Barca yang tidak merasa hancur menghadapi realitas ini.
Potret muram itu, misalnya tampak ketika kalah 0-3 dari Bayern Muenchen dalam laga yang menentukan nasib telah men-down grade seolah-olah Barcelona bukan klub yang punya tradisi besar sejarah. Ditambah fakta, permainan Sergio Busquets dkk tidak lagi menggambarkan performa klub “sultan” seperti reputasi yang melekat dari kompetisi ke kompetisi.
Serta mertakah kita mencari kekurangan Xavi sebagai peracik taktik?
Serta mertakah menyesali pemecatan Ronald Koeman yang kemudian menciptakan transisi kepelatihan lewat kehadiran Xavi Hernandez dari Al Sadd?
Akankah keluarga besar Camp Nou terus menerus meratapi kepergian Lionel Messi ke Paris St Germain?
Akankah fans menyalahkan manajemen dalam pengelolaan financial fair play, yang menyebabkan kegagalan mempertahankan Messi, yang sejatinya juga tak menghendaki pindah klub?
Tiadanya Intensitas
Tahukah Anda, yang juga “merasakan” pemudaran cahaya Barcelona sekarang adalah Thomas Mueller, penyerang Bayern Muenchen pembobol gawang Andre-Ter Stegen?
Dia melihat, dari kualitas individu, tidak ada yang kurang dari Barca. Yang dia rasakan sebagai titik lemah adalah “intensitas”.
Apakah yang dimaksud Mueller adalah determinasi, juga passion? Jika benar ini, pastilah ada yang gagap dalam menerjemahkan cinta. Artinya, Xavi bakal lebih diribetkan oleh masalah-masalah hasrat, yang tidak sekadar urusan teknis dan taktik.
Kepergian Messi jelas menciptakan “lubang besar”. Intensitas ancaman ke gawang lawan, produktivitas gol, juga konfidensi berkat keberadaan sosok pembeda sangat dirasakan. Ada “efek magis” yang hilang.
Pekerjaan Xavi adalah membiasakan kondisi “lapangan” tanpa seorang yang sangat eksepsional. Toh, andai ada Messi pun, dalam usia yang sudah merambat, bukankah cepat atau lambat akan ada titik finis?
Yang lebih pas adalah memulai era baru dengan menyusun puzzle potensi tim. Lalu menciptakan pembeda baru entah dari personal-personal pemain muda, atau yang berupa gereget kolektivitas total.
Barca butuh pencerahan. Sebuah era kejayaan memang tidak selamanya bisa dipertahankan, karena kekokohan serbuah organisasi — termasuk klub sepak bola — selalu memunculkan tantangan dengan intensitas tertentu. Ada tesis, antitesis, lalu sintesis.
Maka dibutuhkan sikap baru untuk memulai inovasi, kreativitas, dan memberi energi moral baru.
Di balik tantangan itu, Xavi mulai menaruh harapan kepada skuad muda yang harus diracik untuk memahami filosofi dan skematika ide. Dia punya sederet young gun: Ronald Araujo, Abde Ezzalzouli, Alejandro Balde, Ferran Jutgla, Gavi, Nico Gnzales, Ruiqi Puig, dan Pedri Gonzales. Kisaran usia 18-22 menjadi gambaran menjanjikan masa depan Barca.
Kita percaya, dulu tiki-taka sukses dimainkan karena kehebatan poros-poros permainan yang bisa disatukan ke dalam kolektivitas pikiran. Untuk kembali membangkitkan permainan filosofis-ideologis itu, Xavi sudah sangat paham syarat-syarat apa yang dibutuhkan.
Saat ini, para pilar senior sedang menjalani “tiarap kesadaran” sebagai bukan lagi “sultan” di La Liga dan Eropa. Sedangkan bocah-bocah bertalenta dari La Masia diliputi hasrat mencipta sejarah menguasai La Liga dan Eropa.
Bukankah ini adalah momen penting bagi Xavi dan pasukannya untuk memulai sebuah era melalui rute perjalanan yang betul-betul baru?
Dan, cinta yang akan merakitnya…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —