blank
Buruh perusahaan rokok kecil di Kawasan Industri Hasil Tembakau (KIHT) Megawon Kudus. Foto:dok/Suarabaru.id

KUDUS (SUARABARU.ID) – Sejumlah pengusaha rokok golongan kecil di Kabupaten Kudus menerima pasrah keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok rata-rata sebesar 12 persen pada tahun 2022, meskipun bisa berdampak pada harga rokok di pasaran.

“Kami tentunya tidak bisa menolak ketika ada kebijakan untuk menaikkan tarif cukai. Akan tetapi untuk tarif cukai rokok jenis sigaret kretek tangan (SKT) kelihatannya tidak ada kenaikan,” kata Pemilik Pabrik Rokok Rajan Nabadi Kudus Sutrisno, sebagaimana dikutip dari Antara, Jumat (17/12).

Kalaupun ada kenaikan, dia berharap, kenaikannya tidak tinggi sehingga tidak memberatkan pengusaha rokok untuk golongan kecil seperti dirinya yang merupakan SKT golongan III dengan kapasitas produksi hingga 500 juta per tahunnya.

Sementara harga jual eceran per batangnya, kata dia, sudah tinggi karena mencapai Rp110, sehingga jika tetap ada kenaikan harapannya naik sedikit dan tidak terlalu tinggi agar daya beli masyarakat tetap terjaga.

Sebagai perusahaan rokok golongan kecil, kata dia, hanya bisa mematuhi dan mengikuti kebijakan yang sudah diputuskan oleh Pemerintah Pusat. Terlebih lagi, kenaikan tarif cukai rokok merupakan hal biasa karena sudah sering terjadi.

Kepala Seksi Penyuluhan dan Layanan Informasi KPPBC Tipe Madya Kudus Dwi Prasetyo Rini ā€ˇmenjelaskan kenaikan rata-rata tarif cukai untuk rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) sebesar 14 persen. Untuk tarif cukai SKT kenaikannya sebesar 12 persen.

Dengan adanya kenaikan tarif cukai, tentunya bisa menekan konsumsi rokok di masyarakat. Hanya saja, kebijakan tersebut juga berdampak terhadap pengusaha rokok.

Kenaikan cukai berimbas pada turunnya Perusahaan Rokok Nojorono dari golongan I ke II pada tahun ini sehingga kapasitas produksinya juga turun. Dengan demikian, pabrik rokok golongan I hanya ada satu, yakni PT Djarum.

Adanya penurunan golongan dari golongan I menjadi golongan II, juga berdampak pada penerimaan negara dari sebelumnya hingga Rp2 triliun, kini turun menjadi Rp1,1 triliun per November 2021.

Tm-Ab