JAKARTA (SUARABARU.ID) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencermati penyokong dana bagi calon kepala daerah. Berdasar hasil survei KPK tahun 2018, ditemukan adanya donatur yang membiayai peserta pemilihan kepala daerah (pilkada).
Sumbangan donatur yang kebanyakan adalah pengusaha, yang mempunyai konsekuensi pamrih untuk mendapatkan kemudahan perizinan dalam menjalankan bisnis.
Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango seperti dikutip siberindo.co mengatakan, pembiayaan oleh sponsor tidak hanya terbatas pada masa kampanye. Karena itu, dia memperingatkan cakada cermat atas kepentingan ekonomi donatur yang mensponsori dalam pilkada serentak.
Survei KPK di 2018 itu, kata dia, bertanya kepada calon kepla daerah, apakah orang yang menyumbang atau donatur ini mengharapkan balasan di kemudian hari saat para cakada menjabat?
”Jawabannya, sebagian besar cakada atau sebesar 83,80 persen dari 198 responden menyatakan akan memenuhi harapan tersebut ketika dia menjabat,” lanjut pria yang lahir dan besar di Manado itu.
Nawawi menambahkan, KPK harus ikut-ikutan bicara mengenai pilkada yang berintegritas karena dilatarbelakangi beberapa hasil penelitian yang dilakukan pada kegiatan Pilkada yang berlangsung di antara 2015, 2017, dan 2018.
KPK memiliki enam tugas pokok tugas pencegahan (melakukan tindakan-tindakan yang berusaha mencegah timbulnya tindak pidana korupsi), koordinasi, monitoring, supervisi, selanjutnya penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, serta melaksanakan putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
”Paling tidak ada empat tugas utama KPK yang relevan dengan keikutsertaan KPK soal pilkada yang berintegritas,” pungkasnya.
Selanjutnya, keleluasaan mengikuti pengadaan barang dan jasa pemerintah, dan keamanan dalam menjalankan bisnisnya.
Ini ditunjukan pula oleh hasil survei KPK di tahun 2018. Bahwa sebanyak 82,3 persen dari cakada yang diwawancarai menyatakan adanya donatur dalam pendanaan peserta pilkada.
Bukti Konkret
Ahmad Sudibyo Calon Wakil Bupati Lampung Timur mengatakan hasil survei yang ditunjukan KPK merupakan fakta dan bukti konkret adanya keterlibatan koorporasi yang terkesan ingin mengambil keuntungan dari peta politik yang dibangun.
Ada aturan yang mengatur tentang batasan sumbangan maupun pemberian dari pihak ketiga. Maka sebaiknya ini pun diperjelas kerangka dan konsekuensinya jika dilanggar.
”Aturan yang ada akan menjadi batasan, agar demokrasi kita benar-benar mengedepankan program. Apa jadinya jika calon yang memiliki integritas tapi kalah, karena faktor mininya modal,” papar Sudibyo, Jumat (6/11).
Bagi dirinya, siapa pun boleh menyumbang, termasuk pemikiran dan modal kampanye. Namun KPK, KPU dan Bawaslu sangat paham kondisi ini.
”Alhamdulillahnya, kami ini banyak yang nyumbang. Dari spanduk sampai kerja-kerja politik lainnya oleh relawan. Tapi itu tanpa sepengetahuan kami,” timpal Mas Dibyo sapaan akrab Ahmad Sudibyo.
”Mereka bergerak sendiri bahkan terkesan tak mau diketahui. Itu modal kami, kalau ditanya berapa modal untuk nyalon, mas bisa lihat harga rokok saya yang saya hisap saja, terkesan tidak sebanding dengan bandrol calon wakil bupati. Itulah saya, apa adanya saja,” imbuh Mas Dibyo.
Atas kondisi ini, Mas Dibyo prihatin. Jika koorporasi hanya berupaya menarik keuntungan dari geliat demokrasi yang dibangun untuk kemajuan bangsa.
”Yang memiliki potensi maju. Punya dedikasi dan integritas, bisa malu hati. Mundur teratur karena tak punya modal kampanye. KPK dan lembaga lain, harus segera bersikap,” harapnya.
oke/sep-trs