Oleh: Amir Machmud NS
//… sepak bolakah itu// yang mengusung hidup// mengalirkan daya // sepak bolakah itu// yang menggerakkan sejarah// yang menanda bangsa// yang bergolak dalam politik// yang bergerak di roda ekonomi// yang melukis eksotika budaya// sepak bolakah itu// yang menanda// tak henti berburu// dan tak henti diburu?// (Sajak “El Clasico”, 2020)
EL Clasico, atas nama sejarah dan dinamikanya, menjadi panggung sepak bola paling sempurna. Dia menyatukan kedahsyatan, ketegangan, kualitas, dan komprehensivitas. Toh, ada satu rentang masa yang “makin menyempurnakan” semua yang sebenarnya sudah sangat eksepsional itu.
Ya, satu dasawarsa terakhir kemarin menyuguhkan El Clasico paling exellent, sebelum Cristiano Ronaldo mengakhiri kebersamaan dengan Real Madrid untuk menuju Liga Serie A. Perseteruannya dengan Lionel Messi akan dicatat khusus sebagai “El Clasico di dalam El Clasico”. Itulah duel personal paling akbar di tengah pertarungan klasik itu: dua klub dengan latar sejarah politik bangsa Spanyol dan harga diri pengusung dua karakter ekstrem sepak bola di muka bumi ini.
Sulit dibantah, keduanya merupakan pesepak bola terbaik abad ini. Sebelas trofi Ballon d’Or yang dikoleksi, enam untuk La Pulga dan lima untuk CR7 sejak 2008; hanya terselip nama Luka Modric pada 2018. Bukankah itu bumbu penyedap paling lezat dalam sejarah El Clasico?
Nama-nama besar Alfredo Di Stefano, Telmo Zara, Johan Cruyff, Diego Maradona, Michael Laudrup, Luis Figo, Raul Gonzales, Ronaldo Luis Nazario, Rivaldo, hingga Ronaldinho pernah merasakan atmosfer gila pertarungan Real Madrid vs Barcelona itu, namun dalam urusan rivalitas personal, El Clasico era Ronaldo dan Messi tetaplah yang paling dahsyat.
Nuansa historis-politik dan harga diri dua komunitas di balik pertarungan dua klub terhebat di Spanyol itu, pada era Messi dan Ronaldo bertambah dengan politik intrik pembuktian siapa sejatinya pemain terbaik di muka bumi ini. Media, dengan filosofi mediatikanya, menemukan elemen-elemen viralitas di balik medan perseteruan paling ketat dalam sejarah sepak bola itu. Media tak lagi mengemas laga ini sekadar sebagai peristiwa olahraga dan kompetisi sepak bola, melainkan sebagai salah satu momen sosial-politik terpenting di panggung global.
Maka ketika jilid pertama El Clasico 2020-2021 digelar di Stadion Camp Nou pada 25 Oktober ini, yang pertama-tama akan dirasakan oleh siapa pun yang terlibat secara emosional terhadap laga tersebut, adalah suasana yang tak lagi seingar-bingar duel antara Messi dan Ronaldo. Pertemuan kedua bintang sudah tidak lagi tersaji dalam El Clasico pada musim 2019-2020 ketika Ronaldo sudah melanjutkan petualangan bersama Juventus.
Di pelataran liga yang lain, panggung sekarismatis El Clasico juga ada. Bundesliga melabeli pertarungan Bayern Muenchen versus Borussia Dortmund sebagai Der Klasiker. Di Liga Serie A, duel sesama tim Milano antara AC Milan vs Internazionale diberi tajuk Derby de la Madonnina. Liga Primer juga punya pertemuan klasik, Derby Manchester antara United versus City, atau pertarungan sarat emosi antara dua pemegang rekor liga, Liverpool vs Manchester United.
* * *
SEMULA siapa pun tentu berpikir, posisi Ronaldo akan digantikan oleh Eden Hazard, rekrutan paling menjanjikan dari Chelsea pada dua musim silam. Namun hampir di sepanjang musim Hazard dibekap cedera, sehingga gagal unjuk kontribusi untuk klub barunya. Padahal pemain asal Belgia itu, oleh pelatih Zinedine Zidane digadang-gadang untuk menjadi pengganti Ronaldo.
Praktis dalam berbagai El Clasio musim 2019-2020 Lionel Messi tidak mendapat seteru yang sepadan dengan Ronaldo. Proyeksi Messi vs Hazard urung terealisasi, termasuk gambaran-gambaran lain yang bisa meneruskan tensi panas duel personal yang mendekati Messi vs Ronaldo.
Duel klasik sebenarnya juga bisa diharapkan muncul dari Ansu Fati versus Vinicius Junior atau Rodrygo, dua pemain muda paling menjanjikan di kubu Barcelona dan Real Madrid. Namun gaung potensi perseteruan itu rupanya belum terlalu memikat bagi media-media, padahal sangat mungkin proyeksi itulah yang bakal memberi warna dalam berbagai kemungkinan magnet El Clasico nantinya, apakah di La Liga, turnamen Copa del Rey, atau juga yang selama ini beberapa kali berlangsung di panggung Eropa.
Bagi Messi dan Ronaldo, El Clasico telah memberi mereka kehormatan, pengalaman “spiritual”, juga beraneka sejarah yang tak didapat dari ajang mana pun. Pergolakan emosi di tengah rule of the game yang penuh sportmanship, rasa kemanusiaan di antara letupan-letupan “perang”, body charge yang konon lebih mudah menyulut “baper”, cepat menggelegakkan kemarahan dibandingkan dengan tensi senggolan di laga-laga biasa; semua menggambarkan sebuah atmosfer “ini bukan sepak bola biasa”.
Messi boleh jadi sudah menganggap El Clasico sebagai laga dengan tensi yang biasa-biasa saja, namun pastilah berbeda untuk Eden Hazard, andai dia masih punya kesempatan untuk merasakan dan menikmati aura ketegangannya. Juga pasti untuk bocah-bocah masa depan seperti Fati, Ruigi Puig, Vinicius, atau Rodrygo.
Rivalitas sedahsyat Messi dan Ronaldo sudah berlalu dan sudah menjadi sejarah. Apakah dengan sejumlah perubahan yang berlangsung di Real Madrid maupun Barcelona, dari aspek kepelatihan, manajemen, dan regenerasi pemain, El Clasico akan hadir dengan nuansa baru?
Sejarah tidak akan serta-merta kehilangan tuah ketika satu-dua atau beberapa anak kandungnya menepi. Yang pasti hilang, boleh jadi adalah nilai pertunjukan sepak bola di luar nalar kemampuan manusia, yang dalam satu dasawarsa terakhir diusung Messi dan Ronaldo.
Kalaupun La Pulga masih eredar dalam sejumlah El Clasico ke depan, bagaimanapun kini dia sudah 33 tahun, yang dari sisi kesegaran boleh jadi menjadi bagian dari kendala untuk memamerkan seni dan maginya. Toh, Messi sendiri terbukti acap tampil dengan energitas ekstra dengan show-show luar biasa setiap kali menghadapi Madrid, di Camp Nou maupun di Santiago Bernabeu.
Amir Machud NS, wartawan suarabaru.id, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng