Oleh: Amir Machmud NS
//… puncak tak hanya milik para pemuncak// kau yang di pinggir pun berhak meraihnya// bukankah ini urusan pendakian// tentu dengan sedikit keberuntungan// etos selalu mengajarkan// tentang seribu kemungkinan// yang kau raih dengan keyakinan// kau bangun keyakinan dengan kepercayaan// juga dengan aura kegembiraan…// (Sajak “Seribu Kemungkinan”, 2020)
BAHKAN bisa jadi Olympique Lyonnais dan RB Leipzig pun tak mengira mampu melangkah sejauh itu. Semifinal Liga Champions jelas bukan maqam yang patut diremehkan. Kalau klub segemerlap Manchester City dengan pelatih jempolan Pep Guardiola saja tak mampu meraihnya, sudah pasti kekuatan semenjana yang dimarginalkan pun pantas luar biasa berbangga.
Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo absen. Serta-mertakah semifinal Liga Champions kehilangan sebagian sinar benderangnya? Namun, bukankah menikmati Neymar Junior, Kylian Mbappe, dan Angel Di Maria menari-nari di perhelatan pamungkas juga bukan momen sembarangan?
Paris St Germain punya forum pembuktian yang nyata, bahwa mereka bukan sekadar klub elite “kaleng-kaleng” bermodal gelontoran riyal Syekh Nasser Al-Khelaifi dari Qatar Sports Investment. Berkat laju Les Parisiens, harga diri Liga Prancis juga ikut terkerek, karena sejauh ini selalu dibilang sebagai kompetisi di bawah kerlap Liga Primer, La Liga, Bundesliga, dan Liga Serie A.
Sejarah mulai bicara. Sejarah telah menoreh kisah dalam dokumentasi besarnya, meskipun sisi lain yang bernama “tradisi” tetap hadir di celah romantisme historika. Bayern Muenchen mewakili sisi tradisi, yang tercermin dari catatan lima kali meraih trofi Si Kuping Besar pada 1974, 1975, 1976, 2001, dan 2013. Apakah dalam final Senin lusa PSG mampu membongkar tembok status quo itu, sisi inilah yang menjadi daya tarik utama partai puncak Liga Champions 2020.
Bayern berjalan di sepanjang rute Liga Champions musim ini dengan sangat menakutkan. Pelatih Hans-Dieter Flick menciptakan keseimbangan pertahanan dan kehebatan daya gedor. Pengalaman di turnamen ini juga merupakan indikator lain mereka lebih diunggulkan ketimbang PSG. Tetapi, langkah Neymar dkk yang “kepalang basah” ke final pastilah juga membuat Die Roten takkan berani meremehkan. Bagaimanapun, di bawah sentuhan Thomas Tuchel, PSG telah menunjukkan impresivitas dan kesiapan untuk menoreh sejarah yang baru bisa direngkuh setelah mereka melakoni 110 laga selama 50 tahun dalam turnamen ini.
* * *
PANGGUNG Liga Champions di masa pandemi Covid-19 ini memang memaksakan realitas perubahan, antara lain jadwal resart yang dipadatkan, termasuk perempat final dan semifinal yang digelar tidak dalam format home and away seperti biasa. Namun produk darurat penjadwalan ini tetap saja menjanjikan pertunjukan yang sempurna di laga pemuncak.
Deret nama seperti Neymar, Di Maria, Mbappe, Mauro Iccardi, Presnel Kimpembe, Julian Draxler, atau Ander Herrera berada di antara kilau Robert Lewandowski, Serge Gnabry, Thomas Mueller, Ivan Perisic, Leon Goretzka, David Alaba, dan kiper Manuel Neuer. Tak kalah penting disebut adalah Philippe Coutinho, pemain pinjaman dari Barcelona yang ikut-ikutan bermain bagus untuk FC Hollywood.
Saya membayangkan pertarungan akhir dengan sajian permainan terbuka seperti di semifinal ketika Bayern memungkasi petualangan Lyon 3-0. Skor telak itu tidak menggambarkan ketimpangan pertandingan. Lyon mengimbangi Bayern dengan permainan gagah berani, namun antara lain karena ketangguhan kiper senior Neuer-lah mereka gagal menggelontorkan gol.
Bayern telah membuktikan mampu meredam ketajaman Lionel Messi dan Luis Suarez, bahkan memelontosi Barcelona dengan kemenangan menakjubkan 8-2. Akan tetapi “kegembiraan bermain” PSG pastilah memberi atmosfer berbeda. Mereka bakal menghadirkan aura perlawanan positif dibandingkan dengan Barca yang memang tengah mengarungi hari-hari muram. Sisi inilah yang secara psikologis dipahami Bayern agar tidak terjebak dalam konfidensi berlebihan.
PSG punya modal pembeda. Selain motivasi membuat sejarah juga fakta bahwa para pemain mereka berkualifikasi “bukan bintang biasa”. Menghadang aksi-aksi Neymar, Mbappe, dan Di Maria jelas bukan perkara mudah bagi pertahanan Bayern.
Sepak bola sering menghadirkan romantisme kemenangan mengejutkan (yang artinya juga kekalahan mengagetkan), atau gelar juara untuk tim-tim yang tidak diperhitungkan. Romantisme inilah yang diharapkan meruntuhkan kemapanan dengan dekonstruksi penampilan.
Anda ingat Korea Utara yang mengakhiri harapan Italia di Piala Dunia 1966? Kamerun yang menyita perhatian di Italia 1990? Atau impresivitas Nigeria di Piala Dunia 1994? Juga kisah petualangan Porto “yang bukan siapa-siapa” menaklukkan Bayern Muenchen untuk meraih Piala Champions 1987. Catat pula, Korea Selatan yang menghadirkan romantisme sejarah dengan lolos ke semifinal 2020, lalu di Rusia 2018 Kesatria Taeguk memberi kejutan dengan mengkotakkan juara bertahan Jerman 2-0.
Cabang olahraga ini acapkali menyuguhkan refleksi perlawanan dan unjuk diri “orang-orang kecil” di hadapan kemapanan kaum jetset yang diwakili tim-tim gemerlap. PSG jelas tidak layak dimasukkan dalam kelompok marginal, baik dalam modal finansial maupun kalkulasi peluang di Liga Champions musim ini, sedangkan statistik sejarah lebih memihak Bayern Muenchen.
Dengan kata lain, elemen-elemen yang terkemas dari berbagai kemungkinan varian laga puncak di Estadio da Luz, Lisboa, Portugal nanti bakal memberikan aura ketegangan tersendiri yang pasti ditunggu fans PSG, penggemar Die Roten, dan pecinta sepak bola sejagat.
Amatilah nanti: pameran kekuatan Die Roten, dan pancaran kegembiraan Les Parisiens dari refleksi kerut dahi skema taktik Hansi Flick dan Thomas Tuchel…
Amir Machmud NS wartawan SUARABARU.ID, kolumnis olahraga, Ketua PWI Jateng