“Cepat ke sini! Hei bodoh!” teriak wanita tua dari kursi depan tv.
“Iya sebentar.”
Kuhela nafasku yang berat sedalam mungkin sebelum aku menghampirinya dan melihat wajahnya.
“Ambilkan aku makan sekarang! Anak seperti apa kamu itu, sudah tau ibunya lapar kamu tidak ada pikiran untuk mengambilkan makananku!” umpat wanita tua dari balik kursinya ketika mendengar langkah kakiku.
“Tapi, baru saja ibu kan sudah makan,” Kataku pelan
“Makan? Makan apa? Ibu dari tadi hanya duduk melamun di kursi ini. Sudahlah jika memang tak mau merawatku biarkan aku menjadi bangkai disini saja.”
Benar, wanita tua itu ibuku. Ibuku dulunya seorang penari, gerakannya yang indah dan parasnya yang menawan menarik siapa saja yang melihatnya, terlebih lagi ibuku adalah seorang janda. Termasuk saudagar-saudagar kaya yang pernah memanggil ibuku dan teman-teman penarinya untuk menghibur suatu acaranya. Aku sudah ditinggal pergi ayahku sejak aku masih berumur lima tahun, sebenarnya aku memiliki kakak perempuan yang usianya tak jauh beda denganku. Hanya saja dia sekarang lebih memilih kerja di pulau seberang dan hanya mengirimiku uang untuk biaya makan aku dan ibuku di sini. Jika aku bisa seperti kakakku aku juga akan pergi meninggalkan ibu. Siapa yang tahan hidup dengannya seperti ini, setiap hariku hanya diisi umpatan-umpatan kurang sopan yang keluar dari mulutnya. Itu juga yang menjadi alasan mengapa kakakku memilih pergi bekerja di pulau sana.
“Ini bu makanannya,” kataku pelan
“Dini kamu ngapain bawa makanan kan ibu tadi sudah makan memangnya kamu lupa.Tapi tak apalah biar sini ibu makan,” sahut ibuku lembut.
Begitulah keseharianku, ibuku kerap kali tiba-tiba menjadi sosok pemarah seperti macan yang hilang kesabaran, terkadang menjadi sosok lembut halus bagai tumpukan serat kapas. Entah mengapa ibu menjadi sosok seperti ini, walaupun aku dan kakakku sudah memaksa ibu untuk memeriksakan kesehatannya ibu selalu menolak dan mengumpat kami berdua.
Sepeninggal ayahku tadi, ibuku selalu bekerja keras menari dari kampung ke kampung demi mencukupi hidupku dan kakakku. Hingga suatu ketika aku melihat ada lelaki tidak lebih tua dari ibuku, tetapi juga tidak terlalu muda dari ibuku. Panggil saja om Ferdi. Entah mengapa setiap ibu menerima panggilan menari ke kampung-kampung om Ferdi selalu menjemput ibu di rumah, tak jarang Om Ferdi tidur di gubuk sederhana yang jauh dari pemukiman warga milik kami. Om Ferdi juga akrab dengan aku dan kakakku, tak jarang ia membelikan kami mainan-mainan baru yang jarang kami dapatkan dari ibu.
Kata ibu aku dan kakakku harus memanggil om Ferdi dengan sebutan “ayah”, karena masih kecil aku dan kakakku selalu menuruti kemauan ibu untuk memanggilnya dengan sebutan “ayah”, walaupun sebenarnya gelar ayah itu sama sekali tidak cocok untuk diberikan padanya. Tapi biarlah asal ibu senang.
Hari-hari kami lewati berempat dengan kehidupan seadanya. Aku dan kakaku semakin beranjak dewasa, ibu masih menari dari kampung ke kampung, sedangkan lelaki baru dengan gelar ayah itu hanya duduk diam di rumah, dia pemalas sekali. Untuk sekadar mengambil makanan untuknya dan meletakkan baju kotornya di tempat yang sudah disiapkan pun ia enggan. Hidupnya seperti makhluk yang tak bertulang, semakin hari ia juga semakin menampakkan sikap aslinya yang kasar dan penuh amarah. Tak jarang ketika ia mengetahui ibuku pulang menari, ia begitu saja mengambil uang yang ada di tas milik ibu entah ia gunakan untuk apa uang-uang itu, yang jelas ia selalu pulang dengan keadaan mabuk. Ucapannya yang meracau kemana-mana dengan umpatan-umpatan yang ditujukan ke ibuku. Kerap kali aku melihat ibuku menangis dipojokkan dapur, tak tega rasanya melihat wanita setegar dan sekuat ibuku disakiti oleh lelaki seperti Ferdi.
Waktu yang terus bergulir, kehidupan yang masih berjalan, dan paras yang akan selalu berubah. Sudah lima tahun kami hidup dibawah bayang-bayang lelaki yang bergelar ayah itu, selama itu pula kelakuannya tidak ada yang berubah. Semakin hari-semakin menjadi, tak sungkan lagi ia mabuk di depan aku dan kakakku. Ibuku? Ibu sudah tidak lagi menjadi penari, mengingat usianya yang semakin bertambah, parasnya yang tak lagi ayu menawan seperti dulu, keriputnya yang sudah tak bisa disamarkan tetapi dengan begitu ibu tak pernah sedikit pun patah semangat mencari pundi-pundi rupiah, ibu bekerja menjadi buruh cuci dari rumah ke rumah yang lain. Dengan hasil itulah aku dan kakakku bisa bersekolah.
Entah bagaimana, langit malam yang gelap itu tak kalah membawa pesan yang gelap untuk kehidupan kami. Sepulangnya Ferdi dari mabuk-mabuk dengan teman-temannya ia mengetuk pintu dan jendela dengan keras sambil berteriak-teriak. Tak ada malunya memang lelaki ini. Sudah tidak sudi lagi aku menyematkan gelar ayah, yang ada hanya dia lelaki benalu di keluarga kami.
Ibu dengan setia selalu membukakan pintu untuknya, memang yang namanya benalu pasti merugikan. Ferdi pulang membawa wanita dirangkulannya dengan tak malu Ferdi mencium bibir wanita itu dengan dalam, badan kedua orang itu mengeluarkan bau alkohol yang sangat menyengat. Tak kalah hitamnya dengan malam ini, entah kenapa ibu yang biasanya tak pernah marah langsung mengusir Ferdi dan wanita itu dari hadapannya dihardiknya Ferdi dan wanita itu dengan cepat.
“Memangnya siapa juga yang mau tinggal di tempat ini dengan janda tua beranak dua.” Samar-samar kudengar benalu itu mengatai ibuku.
Kukira gelap malam itu akan segera berganti cerahnya mentari pagi, ternyata tidak. Setelah kejadian dibantingnya pintu pada malam itu, ibu mengunci dirinya di kamar. Sebulan lamanya aku hanya melihat ibu untuk sekadar pergi ke kamar mandi dan minum kemudian masuk dan mengunci pintu kamarnya lagi, tepat pada bulan kedua setelah kejadian malam gelap itu ibu sudah mau berbicara dengan aku dan kakakku.
Sedikit janggal kurasa, setiap aku atau kakakku melakukan kesalahan yang hanya seujung kotoran kuku ibu tak segan memarahi, mengumpat kami dengan sebutan anak bodoh, anak tidak tau diuntung, anak tidak tau diri, dan masih banyak lagi. Namun ketika hati ibu sedang senang ibu bisa menjadi manusia terbaik di muka bumi ini.
Kejadian itu berlangsung belasan tahun lamanya, kakakku yang sudah tidak kuat memilih pergi dan hanya sesekali melihat keadaan ibu. Sekarang hanya tinggal gubuk dengan umpatan yang ada. Aku sudah bekerja tak jauh dari tempat kakakku bekerja, dan ibu? Ibu sudah meninggal satu jam setelah memakan makanan yang kuberikan tempo hari itu. * * *