blank
Penonton dari berbagai suku berkumpul untuk menikmati sajian konser Sepnath Yambres. Foto: Vederico Magas

Sesi konser diisi dengan tiga movement, yang setiap movement berisikan sebuah komposisi musik yang menjadi sebuah cerita. Movement pertama menceritakan tentang dua buah kelompok yang berseteru dan akhirnya damai karena salah satu tokoh di sana. Namun kedamaian itu tidak berada selamanya karena ia dibunuh oleh salah satu kelompok lain yang berada di pihak damai tersebut.

Suasana mencekam begitu terasa ketika mendengar komposisi Yambres saat movement ini dimainkan. Begitu pula dengan movement kedua, yang dalam bagian ini diceritakan bagaimana kedua kelompok yang berdamai akhirnya kembali berperang di tanah Papua. Tak terelakkan, musik yang dibawakan begitu intens dan membawa saya seperti di medan peperangan yang ada di sana. Begitu memilukan dan menyayat hati.

Dan sebagai penutup movement ini, diceritakan bahwa lahir seorang anak diibaratkan sebagai sebuah manifestasi Tuhan Yesus.

Anak yang lahir ini diharapkan membawa kedamaian di tanah papua dan dengan begitu penginjilan di daerah papua, khusus nya Asmat memunculkan benih hingga sekarang bertumbuh besar menjadi sebuah pohon yang rindang dan damai.

Dengan selesainya movement ini, mengakhiri juga intisari konser tersebut dan ditutup dengan sepatah duapatah kata oleh Yambres.

Katong di tanah orang lain, katong tetap kembali ke tanah Papua. Burung cendrawasih di sana tidak bisa tinggal karena tidak ada lahan lagi. Katong di sini boleh menikmati semua, tapi ingat katong pu tanah, Tanah Papua.”

Vederico Magas