SURAKARTA (SUARABARU.ID) – Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak) RI, Pujiyono Suwadi, menegaskan, revisi Undang-Undang (UU) Kejaksaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang mencakup penambahan kewenangan penyidikan tidak akan membuat jaksa kebal hukum, menyalahgunakan kekuasaan, atau mengambil peran penyidik kepolisian.
Hal tersebut disampaikan Pujiyono dalam diskusi yang digelar oleh Lembaga Jarcomm di Kota Surakarta, Jawa Tengah pada Selasa (11/2/2025) dengan tema “Menguji Urgensi Penguatan Lembaga Kejaksaan terhadap Revisi UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan”.
Pujiyono menjelaskan, meskipun revisi ini menuai perdebatan setelah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025, tuduhan bahwa jaksa akan mengambil alih peran penyidik kepolisian dan mendapatkan hak imunitas adalah tidak benar.
Menurutnya, revisi ini tidak mencakup pasal yang memberikan kewenangan jaksa untuk menggantikan peran penyidik kepolisian. Justru, revisi ini bertujuan untuk meningkatkan koordinasi dan supervisi antara kejaksaan dan kepolisian dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang merupakan bagian dari Integrated Criminal Justice System (ICJS).
Dengan adanya distribusi kewenangan dalam ICJS, kedua pilar penegak hukum kepolisian dan kejaksaan dapat bekerja sama lebih erat, mengurangi ego sektoral, dan meningkatkan efektivitas sistem peradilan pidana.
Pujiyono juga menanggapi kekhawatiran bahwa revisi ini memberikan hak imunitas kepada jaksa, yang berarti jaksa tidak bisa diperiksa atau dihukum. Menurutnya, tidak ada perubahan signifikan dalam aturan mengenai “izin Jaksa Agung” yang sudah tercantum dalam UU No. 16 Tahun 2004 dan UU No. 11 Tahun 2021.
Pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa tetap harus mendapatkan izin dari Jaksa Agung. Ketentuan ini sudah ada dalam UU sebelumnya dan tidak bertujuan untuk memberi kekebalan hukum kepada jaksa.
Pujiyono juga mengingatkan bahwa meskipun ada ketentuan tersebut, jaksa yang melakukan kesalahan atau tindak pidana tetap dapat dihukum. Dia mencontohkan kasus jaksa yang pernah diproses hukum, seperti Kajari Bondowoso dan Jaksa Urip, yang membuktikan bahwa tidak ada satu pun jaksa yang kebal hukum.
Pujiyono mengungkapkan, Kejaksaan Agung saat ini mendapatkan tingkat kepercayaan yang tinggi dari masyarakat. Berdasarkan survei dari Lembaga Survei Indonesia (LSI), Kejaksaan Agung menempati posisi tertinggi sebagai lembaga penegak hukum yang dipercaya masyarakat dengan tingkat kepercayaan mencapai 77 persen. Keberhasilan Kejaksaan Agung dalam mengungkap kasus korupsi besar dan mengembalikan uang negara yang dikorupsi turut mendukung tingkat kepercayaan ini.
Pengamat Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Rahayu Subekti juga menanggapi kritik terhadap pasal 8 ayat 5 yang dianggap memberikan hak imunitas pada jaksa.
Rahayu menegaskan bahwa pasal tersebut merujuk pada asas hirarki dalam organisasi, yang mengatur bahwa yang lebih tinggi mengawasi yang lebih rendah, bukan memberi hak imunitas pada jaksa.
Sementara itu, pegiat anti-korupsi, Alif Basuki, menilai revisi UU Kejaksaan merupakan langkah penting untuk memperbarui sistem koordinasi antara Kejaksaan dan kepolisian dalam penanganan perkara hukum.
Ia berharap revisi ini dapat memperkuat posisi Kejaksaan, mengingat kinerjanya yang sudah diapresiasi dalam mengungkap berbagai kasus korupsi besar.
Ning S