Oleh: Dr. Muh Khamdan
JEPARA (SUARABARU.ID)- Debat kandidat calon bupati dan calon wakil bupati Jepara yang dihelat oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jepara untuk kedua kalinya, memunculkan sejumlah gagasan. Tema berkaitan ekonomi, sosial, budaya, serta lingkungan hidup, pada akhirnya tak bisa lepas dari isu laut dan pesisir.
Lagi-lagi isu perdebatan mengarah pada eksploitasi sedimentasi laut yang dapat berwujud pasir laut dan pasir besi ke luar negeri. Pasalnya, Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, yang disusul terbitnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 21 Tahun 2024 tentang perubahan kebijakan dan pengaturan ekspor.
Peraturan ini telah memberikan ijin sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dan sedimentasi laut guna diekspor ke luar negeri, setelah lebih dari 20 tahun dilarang. Ironisnya, perairan Jepara menjadi salah satu kawasan yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk dapat dieksploitasi.
Mesti diakui, pengerukan sedimen laut memang dapat memberi manfaat ekonomi jangka pendek sebagaimana potensi penerimaan keuangan daerah. Akan tetapi, sejumlah kerusakan lingkungan secara jangka panjang akan dialami masyarakat.
Kerusakan itu mencakup hancurnya habitat laut dari terumbu karang, padang lamun, serta komunitas bentik, sehingga berdampak pada ketiadaan hasil tangkap nelayan. Aktivitas pengerukan tentu meningkatkan kekeruhan air yang berakibat pada pengurangan penetrasi cahaya matahari ke dalam air, dan berujung pada ketidakberimbangan produktivitas hayati laut. Termasuk juga dampak kontaminasi logam berat dan bahan organik beracun sehingga meningkatkan risiko pencemaran.
Politik keberpihakan atas pesisir dan perairan Jepara menjadi menarik, kendati masih sangat minim dalam pembahasan debat kandidat yang berlangsung. Pengelolaan pesisir terpadu jelas menjadi salah satu terobosan alternatif dalam mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) daripada mengandalkan reklame dan pajak hiburan. Pembagian kewenangan yang tegas antara provinsi dan kabupaten berkaitan dengan pesisir dan perairan laut, menjadi kunci dalam proses menuju pesisir terpadu.
Klasterisasi pesisir misalnya, dapat dikembangkan menjadi sejumlah kawasan terpadu. Keberadaan Marine Science Techno Park (MTSP) Universitas Diponegoro di Teluk Awur, Tahunan, setidaknya menjadi pintu masuk pengembangan technopark perikanan di Jepara.
Inkubasi penumbuhan wirausaha berbasis perikanan dan komersialisasi riset perikanan akan mengembangkan Jepara sebagai destinasi perikanan terbaik di Pantura. Terlebih untuk membangkitkan kembali Jepara sebagai kota bahari yang berbasis akademis dan riset kelautan.
Pengembangan lainnya berupa pariwisata bahari atau marine ecotourism. Hal itu adalah kekuatan tersembunyi yang dimiliki oleh Jepara. Kota yang masih terkenal karena ukiran yang justru “mati suri” itu, memiliki potensi wisata bahari sangat besar dengan adanya puluhan pantai. Sebutlah Pantai Kartini, Pantai Teluk Awur, Pantai Bandengan, Pantai Pungkruk, Pantai Ombak Mati, Pantai Suweru, Pantau Gua Manik, Pantai Ujung Ngelom, Pantai Ujung Piring, Pantai Empu Rancak, Pantai Blebak, Pantai Pailus, Pantai Bondo, dan Pantai Panjang. Masing-masing pantai dapat didesain sesuai tema, sebagaimana pantai kuliner, pantai olahraga, pantai produk kreativitas, pantai riset, pantai keluarga, pantai restorasi, pantai industri, dan tema-tema lainnya. Hal yang terpenting adalah tidak adanya monopoli pihak tertentu untuk menikmati pantai.
Sebuah tantangan dalam pengelolaan pontensi alam dan lingkungan, industri pengembangannya seringkali berslogan ”keruk habis jual murah”.
Pernyataan itu setidaknya terjadi dalam kasus tambak udang di Karimunjawa yang berujung konflik hukum di peradilan. Demikian juga “penguasaan” sejumlah pulau di kawasan Karimunjawa yang berdampak pada masyarakat setempat mengalami keterbatasan akses di daerahnya sendiri.
Realitas konflik yang pernah melibatkan sebuah perusahaan properti asing, VA Real Estate yang telah menguasai 7 pulau dari 27 pulau di gugusan Kepulauan Karimunjawa, tentu menjadi catatan penting bagi calon pemimpin Jepara nantinya.
Dari sisi kepentingan tersebut, pengembangan kawasan pesisir dan kelautan yang di dalamnya juga menyangkut keberadaan pulau-pulau kecil harus dilaksanakan secara transparan. Misalnya kejelasan pengembangan sebuah pantai, tidak bisa digunakan sebagai lahan pembangunan hotel dan bungalow karena masyarakat justru kehilangan khasanah dan ruang publik. Daerah pesisir harus diperuntukkan bagi rekreasi pantai, taman, dan hutan pantai, baik sebagai cagar alam maupun hutan wisata.
Pesisir sebagai kepentingan publik mesti mampu menjadi counter budaya masyarakat karena posisinya sebagai salah satu kepentingan publik. Dalam kepentingan tersebut, pesisir dapat menjelma menjadi ruang publik (public space) dan khasanah publik (public sphare).
Ruang publik sebagai tempat fisik dapat dijadikan sebagai ruang kajian bersama atau ruang pendidikan. Sedangkan khasanah publik adalah suatu konsep abstrak atau gagasan-gagasan yang secara kompetitif jangan sampai terkalahkan oleh ruang publik lain yang menyuplai kesenangan sesuai gaya modernitas, semacam hotel dan restoran komersial yang menjaga privasi.
Dalam upaya demikian, kandidat cabup dan cawabup mesti memiliki kesadaran pentingnya grand design rencana pengembangan sekaligus pelestarian yang memperjelas zonasi pesisir dan kelautan, yaitu zona inti, konservasi, penyangga, serta pemanfaatan.
Skenario pembangunan sumber daya alam Indonesia yang termaktub dalam pasal 33 UUD 1945 menyatakan bahwa semuanya diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi di mana produksi dikerjakan semua masyarakat, untuk masyarakat, dan di bawah pimpinan kepemilikan anggota masyarakat sebagai pencapaian kemakmuran bagi semua masyarakat, bukan sekelompok masyarakat tertentu.
Pada perspektif ini, pasal 33 (4) lebih tegas mengakui wawasan lingkungan sebagai salah satu dasar dari demokrasi ekonomi.
Di tengah kemandulan legislasi itu, kekhawatiran atas politik keberpihakan terhadap golongan elit pengusaha dalam pembangunan perikanan dan pesisir Jepara semakin mendapatkan pembenaran.
Tentu masing-masing dari kita punya nalar memilih, strategi dan keberpihakan politik mana yang kiranya mampu mendorong Jepara sebagai destinasi bahari terbaik di kawasan Pantura.
(Penulis adalah Doktor Agama dan Studi Perdamaian UIN Syarif Hidyatullah Jakarta dan Penikmat Kuliner Laut)