Pantai Banyutowo, perbatasan desa Balong dan Bumiharjo, Jepara

Oleh : Tri Hutomo

Pasir laut merupakan sumber daya alam yang penting bagi kehidupan. Tidak hanya bermanfaat bagi manusia, tapi penting juga bagi ekosistem di perairan seperti habitat biota laut yang membutuhkan pasir untuk kelangsungan hidup.

Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai laut yang luas dan wilayah pesisir pantai yang banyak dan beragam. Untuk itu, pemerintah membuat peraturan untuk melindungi perairan Indonesia melalui UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Pantai dan Pulau-Pulau Kecil.

Lingkungan Hidup yang baik dan sehat merupakan hak konstitusional bagi setiap warga Negara Indonesia yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

Pemerintah dan Negara wajib mengatur bagaimana pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup untuk mendukung Pembangunan berkelanjutan yang menopang kehidupan warga negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang menegaskan bahwa : “Setiap orang berhak hidup Sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan”.

Salah satu lingkungan adalah pulau kecil dan/atau wilayah pesisir, yang dimana diwilayah tersebut biasanya masyarakat bekerja sebagai nelayan yang mendapatkan hasil dari laut.

Sebagai sebuah wilayah yang mempunyai potensi kekayaan alam, haruslah dikelola dengan baik sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, sesuai dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa: “Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalmnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Namun dalam pengelolaannya bukan memberikan kemakmuran kepada rakyat tetapi merugikan rakyat akibat dampak terhadap lingkungan hidup dari pengelolaan lingkungan, salah satunya adalah akibat dari sedimentasi laut.  Pengaturan pengelolaan wilayah pesisir selain diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan lainnya sebagai payung hukum dari Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023.

Sebagai payung hukum dalam hukum internasional berdasarkan Chapter 17 Agenda 21, Deklarasi Johannesburg 2022, Plan of Action 2005. Integrated coastal management merupakan pedoman dalam pengaturan dan pemanfaatan dan pengelolaan suberdaya alam di wilayah pesisir dan laut dengan memperhatikan lingkungan.

Ekosistem pesisir mempunyai peranan yang sangat penting dalam melindungi ekosistem laut sekaligus melestarikan sumber daya alam yang ada di dalamnya. Keberlanjutan ekosistem pesisir sangat bergantung pada pengelolaan yang baik oleh manusia. Namun, adanya aktivitas manusia yang meningkat di daerah pesisir, termasuk penambangan pasir laut, dikhawatirkan berdampak negatif pada keberlanjutan ekosistem

Kawasan pantai Banyutowo Jepara

Kabupaten Jepara

Wilayah Kab. Jepara memiliki garis pantai kurang lebih 85 Km dan ekosistem pesisir yang lengkap, terdiri dari ekosistem mangrove, ekosistem lamun, dan ekosistem terumbu karang. Sehingga tidak sedikit masyarakat yang bergantung pada manfaat langsung yang berasal dari ekosistem pesisir. Jika memang terjadi, penambangan pasir laut dapat menyebabkan kerusakan fisik pada habitat pesisir seperti terumbu karang, padang lamun, hutan mangrove.

Berdasarkan Permen KKP Nomor 56 Tahun 2016, penambangan pasir laut hanya dapat dilakukan dengan menggunakan alat tradisional dan tidak diperbolehkan menggunakan alat berat seperti excavator dan suction pump.Selain itu, penambangan pasir laut hanya dapat dilakukan pada lokasi yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah.

Penambangan pasir laut berpotensi besar menyebabkan kerusakan terhadap ekosisitem pesisir, seperti hilangnya habitat ikan dan biota laut lainnya, serta terjadinya erosi pantai. Selain itu, penambangan pasir laut juga dapat memicu terjadinya intrusi air laut ke daratan dan mengurangi ketersediaan air tanah. Yang mengalami kerugian tentu pengusaha, pemerintah dan masyarakat.

Penambangan pasir laut juga diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Pokok Pertambangan. Dalam UU Pokok Pertambangan, pengusahaan penambangan pasir laut diatur oleh Pemerintah Daerah Tingkat I di mana pasir laut tersebut berada.

Kerusakan Lingkungan

Jika kita melihat historis, Pemerintah Indonesia pernah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut. Yang salah satu alasan penerbitannya adalah, disebabkan kegiatan penambangan, pengerukan, pengangkutan, dan perdagangan pasir laut, waktu itu berlangsung tak terkendali, sehingga menyebabkan kerusakan ekosistem pesisir dan laut, keterpurukan nelayan dan pembudidaya ikan, serta jatuhnya harga pasir laut. Keppres tersebut bisa menjadi bukti bahwa pemerintah (pernah) paham potensi kerusakan lingkungan dari kegiatan pemanfaatan pasir laut.

Dan Keppres tersebut ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan tahun 2003 yang melarang ekspor pasir laut. Akan tetapi, Keppres tersebut kemudian dicabut dengan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 yang, tujuannya tidak untuk pengusahaan pasir laut, tetapi pengelolaan sedimentasi laut.

Memahami sebuah pasal dalam UU sepatutnya dilakukan dengan memahami teks dan konteks pasal tersebut. Ini berarti sebuah pasal tidak dapat dibaca terlepas dari substansi bab di mana pasal itu berada, ketentuan umum, penjelasan umum, dan penjelasan pasal demi pasal UU tersebut. Berangkat dari pemahaman ini, terdapat beberapa hal yang perlu dicermati dari PP No 26 Tahun 2023.

Pasal 56 UU Kelautan disebut sebagai dasar hukum pembentukan PP No 26 Tahun 2023. Pembacaan yang utuh terhadap teks dan konteks Pasal 56 akan menghasilkan kesimpulan bahwa PP ini bukanlah peraturan turunan yang dikehendaki UU Kelautan.

Dalam Pasal 56 Ayat (2) UU Kelautan menyebutkan, pemerintah bertanggung jawab melindungi dan melestarikan laut dengan pencegahan, pengurangan, dan pengendalian dari setiap bentuk pencemaran serta penanganan kerusakannya. Pasal 1 angka 10 UU Kelautan juga menyebutkan, pelindungan lingkungan laut adalah ”upaya yang sistematis dan terpadu”. Bagaimana mungkin tema besar ini direduksi maknanya jadi pengelolaan sedimentasi laut?

Sementara Pasal 50 UU Kelautan menyebutkan pelindungan laut dilaksanakan melalui empat hal yaitu (a) konservasi laut; (b) pengendalian pencemaran laut; (c) penanggulangan bencana kelautan; dan (d) pencegahan dan penanggulangan pencemaran, kerusakan, dan bencana. Pengelolaan sedimentasi jelas bukan konservasi laut merujuk penjelasan Pasal 50 UU Kelautan; bukan pencemaran, bencana, ataupun kerusakan.

Berdasarkan UU Kelautan, elemen penting ”pencemaran” adalah ”kegiatan manusia dan terlampauinya baku mutu lingkungan laut” dan elemen ”kerusakan” adalah ”berdampak merugikan bagi sumber daya laut, kesehatan manusia, dan kegiatan kelautan lainnya”.

Sedimentasi laut, yang pada konsiderans PP No 26/2023 disebut sebagai ”proses alami”, jelas bukan ”pencemaran” dan bukan ”kerusakan”. Lebih lanjut, jenis-jenis bencana sudah diatur di Pasal 53 UU Kelautan dan terbentuknya sedimentasi jelas bukan salah satunya.

Kemudian PP No 26 Tahun 2023 inkonsisten dengan PP No 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko yang mengatur kegiatan penggalian pasir laut (KBLI 08104) sebagai kegiatan berisiko tinggi (wajib amdal) dan dilarang dilaksanakan, antara lain, di pulau kecil terluar, pulau kecil dengan luas kurang dari 100 hektar, dan dilarang menyebabkan pulau kecil kehilangan 10 persen luasannya.

Sehingga, aktivitas penambangan pasir, terutama di pesisir dan pantai, hendaknya didahului dan didasarkan pada izin prinsip dan analis dampak lingkungan (AMDAL), sebagaimana berdasarkan Pasal 262 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU No. 9 Tahun 2015), mengatur bahwa “Rencana pembangunan Daerah dirumuskan secara transparan, responsif, efisien, efektif, akuntabel, partisipatif, terukur, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan.”

Tak ada larangan untuk mengisap pasir dari pulau-pulau kecil di PP No 26 Tahun 2023, padahal obyeknya sama, yaitu pasir laut. Tak ada pula kewajiban amdal di PP No 26/2023, padahal PP No 5 Tahun 2021 mengatur penggalian pasir laut adalah kegiatan dengan risiko tinggi.

Selain itu, mengenai ekspor pasir, Pasal 9 Ayat (2) PP No 26 Tahun 2023 menyebutkan, ekspor dapat dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Peraturan Menteri Perdagangan No 18 Tahun 2021 jo 40 Tahun 2022 telah menyebutkan pasir silika dan pasir kuarsa yang belum diolah serta pasir alam lain sebagai barang yang dilarang untuk ekspor.

Laporan kegiatan, Mungkinkah ?

Pelaku usaha yang akan melakukan penjualan hasil sedimentasi di laut dapat dilakukan setelah mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan, yang dikeluarkan oleh Kementerian terkait. Mengutip Pasal 21 ayat (1) PP No.26 Tahun 2023, pelaku usaha telah memiliki izin pemanfaatan pasir wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri setiap tiga bulan sejak memulai kegiatan pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut tersebut.

Laporan tersebut setidaknya memuat mengenai lokasi dan volume pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut, kapal pengangkut apa yang digunakan, kapan waktunya, negara dan tujuan penempatan, serta realisasi pembayaran penerimaan negara bukan pajak dan pungutan lainnya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Sehingga bisa disimpulkan bahwa dalam pelaksanaannya, Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 membawa implikasi terhadap peraturan perundang-undangan terkait lainnya, karena sebagian besar peraturan perundang-undangan tersebut bersifat sektoral yang mengatur sektor-sektor pembangunan tertentu, yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan pengelolaan sumber daya pesisir sehingga menimbulkan konflik norma dan tumpang tindih wewenang dalam hal ini kepastian terkait dengan Lembaga atau instansi mana yang akan melakukan pengawasan maupun penegakan terhadap perkara pengelolaan hasil sedimentasi laut.

Jika penambangan tetap dilakukan, maka pemerintah harus bisa memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat Pulau kecil yang merupakan wilayah pesisir terhadap kegiatan pertambangan sebagaimana diatur didalam Pasal 35 Huruf K Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 sebagaimana  telah diubah dan ditambahkan  didalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil (UU WP3K).

Mengganggu hak masyarakat?

Karena pertambangan juga tidak bisa memenuhi hak kesejahteraan masyarakat, karena pertambangan di pulau kecil hanyalah suatu aktivitas yang mengancam hidup masyarakat dan tidak memiliki keuntungan untuk masyarakat. Selain dari hak hidup dan hak atas rasa aman yang direnggut, hak untuk sejahtera yang merupakan hak memiliki demi pengembangan diri sendiri maupun masyarakat umum menjadi terganggu.

Masyarakat berhak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Hal ini telah diatur didalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28H ayat (1): “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan” Pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi (to protect), menghormati (to respect), dan memenuhi (to fulfil) hak-hak dasar warga Negaranya.

Pengaturan terhadap Dampak Pengambilan Pasir di Pulau Kecil menurut PP 26 Tahun 2023 di Pulau Kecil Berdasarkan Pasal 1 Angka 2 UU No 32  Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, mendefinisikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.

Penulis adalah Ketua Ajicakra Indonesia