Eksotika Candi Angin dan kawasan Pegunungan Muria. Foto: Dok Pribadi penulis

Oleh : Denting Azzahra P

Langit pagi di Pegunungan Muria saat itu terlihat begitu cerah, saya dan beberapa teman mencoba untuk menyusuri jejak- jejak warisan sejarah yang tersembunyi di sebuah bukti yang terletak di Dusun Duplak, Desa Tempur, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Desa Tempur memang terkenal memiliki cukup banyak situs bersejarah salah satunya reruntuhan batu yang membentuk sebuah candi. Tak hanya satu candi saja, namun terdapat tiga buah candi yang dinamakan sebagai Candi Aso, Candi Bubrah dan Candi Angin. Candi- candi memiliki kaitan satu sama lain dan termasuk kedalam satu kawasan situs yang telah dijadikan sebagai kawasan cagar budaya oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Tengah.

Rasa penasaran membawa kami untuk menapaki setiap langkah menuju puncak Candi Angin. Perjalanan dimulai dari titik parkir sepeda motor, dengan medan yang menanjak dan dikelilingi oleh hutan yang lebat. Di sepanjang jalan, kicauan burung dan desiran angin menjadi teman setia, memberikan rasa damai di tengah hiruk-pikuk pikiran. Saya merasa seperti berada dalam sebuah perjalanan spiritual, di mana alam dan sejarah bergandengan tangan menciptakan harmoni yang tak tergoyahkan.

Penulis ( kanan) bersama tim KKN UGM di Desa Tempur. Foto: Dok Pribadi penulis

Setelah sekitar 2 jam berjalan mendaki, saya tiba di Candi Aso, yang merupakan salah satu dari tiga candi yang ada di kawasan ini. Candi ini adalah penanda bahwa saya sudah semakin dekat dengan tujuan. Tidak jauh dari Candi Aso, saya menemukan Candi Bubrah, yang meskipun sudah menjadi reruntuhan, tetap menunjukkan keindahan dan keagungan masa lalu. Setelah melewati kedua candi ini, saya melanjutkan perjalanan menuju puncak Candi Angin, yang letaknya sekitar 20 menit berjalan kaki lagi.

Saat akhirnya mencapai Candi Angin, saya disambut oleh reruntuhan batu yang disusun rapi membentuk sebuah piramid kecil di atas permukaan tanah. Saya juga mewawancarai juru kunci Candi Angin yakni Bapak Ahmad Junaedi, beliau menuturkan bahawa candi ini diyakini telah ada sejak abad ke-7, jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri. Konon, candi ini bukanlah tempat tinggal, melainkan sebuah tempat beribadah yang digunakan oleh masyarakat sekitar pada masanya.

Lubang batu, tempat bagi warga untuk membaakar dupo. Foto: Dok Penulis

Kesan pertama yang saya dapatkan saat berdiri di depan Candi Angin adalah betapa hebatnya peradaban yang pernah ada di sini. Saya bisa membayangkan bagaimana masyarakat dahulu datang ke tempat ini untuk berdoa, membawa persembahan, dan berharap restu kepada Tuhan dengan mendaki bukit yang cukup terjal dan berliku. Hingga kini, candi ini juga masih digunakan sebagai tempat beribadah atau berdoa beberapa masyarakat. Tak hanya sebagai tempat untuk berdoa saja, pada masa kini Candi Angin juga masih digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan tradisi rutin yang diadakan oleh tak hanya masyarakat lokal Desa Tempur saja tetapi juga masyarakat di luar Desa. Tradisi tersebut yakni ritual Sedekah Bumi, serta “kondangan” atau “kenduren” yang diadakan bertepatan saat tahun baru Jawa atau Suro, dan menjelang Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha.

Di antara banyak hal yang membuat kunjungan ini berkesan, interaksi dengan masyarakat lokal adalah salah satunya. Mereka begitu ramah dan terbuka untuk berbagi cerita tentang sejarah dan tradisi yang masih mereka lestarikan. Saya belajar bahwa Dukuh Duplak, tempat candi ini berada, tidak hanya memiliki Candi Angin, tetapi juga banyak situs lainnya yang kaya akan nilai sejarah dan spiritual. Salah satu yang menarik perhatian saya adalah Watu Duplak, sebuah sumur batu kuno yang dahulu digunakan sebagai tempat persinggahan sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak Candi Angin. Tak jauh dari sana, terdapat petilasan yang disebut sebagai Petilasan “Mbah Dono” dan “Mbah Robyong”, yang menambah kekayaan sejarah dari wilayah ini.

Meninggalkan Candi Angin, saya membawa serta sebuah pengalaman yang penuh dengan refleksi dan kekaguman. Tempat ini bukan sekadar situs sejarah; ini adalah saksi bisu dari kehidupan masa lalu yang kini menjadi bagian dari identitas masyarakat Desa Tempur. Dengan kombinasi keindahan alam dan nilai-nilai budaya yang kuat, Candi Angin menawarkan lebih dari sekadar pemandangan indah. Ia menawarkan sebuah perjalanan batin, di mana setiap langkah adalah kesempatan untuk merenung dan menghargai warisan yang telah ditinggalkan oleh leluhur kita.

Bagi siapa pun yang mencari ketenangan, inspirasi, atau sekadar ingin belajar lebih banyak tentang sejarah dan budaya Jawa, Candi Angin adalah destinasi yang sempurna. Di sini, di puncak sebuah gunung, Anda akan menemukan lebih dari sekadar pemandangan. Namun Anda akan menemukan diri Anda sendiri.

Penulis adalah Mahasiswa KKN-PPM UGM Unit Keling Desa Tempur