Pengadilan Negeri Jepara, tempat 4 petambak Karimunjawa di sidangkan. Foto: Hadepe

JEPARA (SUARABARU.ID)- Sempat tertunda beberapa jam, sidang lanjutan kasus dugaan pelanggaran UU No.  Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup oleh 4 (empat) petambak di Karimunjawa, akhirnya digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jepara, Selasa (6/8/2024).

Dalam sidang ini Jaksa Penuntut Umum menghadirkan dua saksi ahli, yaitu Prof Dr Ir Etty Riani , ahli pencemaran lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Dr. Drs. Rudhi Pribadi ahli mangrove dari Universitas Diponegoro Semarang. Sedangkan dua terdakwa yang dihadirkan adalah Teguh Santoso dan Sutrisno.

Sidang dipimpin oleh ketua majelis hakim Meirina Dewi Setiawati, S.H., M.Hum. didampingi 2 hakim anggota Parlin Mangatas Bona Tua S.H., MH dan Joko Ciptanto S.H. Sedangkan Penuntut Umum dihadiri oleh  Linda Ayu Pralampita,S.H sementara para terdakwa  didampingi oleh 4 (empat) penasehat hukumnya.

Dalam persidangan tersebut Prof Dr Ir Etty Riani menyebutkan  bahwa sample yang diambil di 5 (lima) titik lokasi di sekitar tambak Sutrisno pada tanggal 1 April 2024, dari hasil laboratorium membuktikan adanya pencemaran.  Diantaranya mengandung Klorin, yang seharusnya tidak diperbolehkan terkandung di perairan.

Selain itu kadar  nitrogen juga disebut Etty Riani  lumayan tinggi. Padahal di perairan seharusnya tidak boleh ada nutrien yang masuk karena bisa mengganggu ekosistem terumbu karang. Sementara nutrient memang bagus untuk pertumbuhan mangrove. “Di sekitar lokasi tambak Sutrisno warna airnya hijau.  Itu artinya ada kandungan klorofil yang jika berlebihan bisa mengganggu ekosistem karang juga,” ujarnya

Ia juga menjelaskan, untuk menghitung kerugian lingkungan hidup berdasar konsentrasi setiap parameter yang melebihi baku mutu maka digunakan dengan system modeling. “Di lokasi tambak terdakwa Sutrisno, hitungan kerugian pencemaran ekosistem kurang lebih 15 miliar dan pencemaran sediman kurang lebih 1 miliar. “Kerugian dihitung dari modeling luas penyebaran pencemaran dan pemulihan,” jelasnya

Prof Dr Ir Etty Riani juga mengungkapkan, ketika ahli melihat secara langsung kolam di tambak Suitrisno yang ada di Legon Boyo, didapati kondisi pengelolaan IPAL yang tidak ideal dari segi ukuran maupun tahapan pengelolaannya, sehingga bisa menimbulkan masalah. “Salah satunya bisa berpengaruh pada PH air laut, meski tidak berdampak secara langsung, tapi akan berdampak secara tidak langsung, salah satunya berpotensi memperbanyak kutu air,” terangnya

“Ya, dari hasil uji laboratorium  yang kami ambil, terdapat diatas  ambang batas kewajaran baku mutu yang disesuaikan oleh ketentuan yang berlaku. Tentunya uji lab yang kami lakukan sesuai dengan pedoman berlaku, makanya kami menilai hasilnya sangat akurat,” ujarnya.

Sementara Dr. Drs. Rudhi Pribadi yang dimintai keterangan tentang kondisi mangrove di lokasi Legon Boyo dan Legon Lele menjelaskan, dalam memverifikasi dan identifikasi spesies mangrove,  kondisi secara umum baik dan sehat. Meski di Logon Lele ditemukan mangrove yang kurus dan kering. Untuk mengetahui penyebabnya memang diperlukan penelitian yang lebih dalam. “terang Rudhi.

Lebih lanjut Rudhi menjelaskan bahwa mangrove hidupnya ada di wilayah pasang surut air, sehingga mangrove bisa hidup di tempat yang tidak selalu berlumpur. Sedangkan  sifat pohon mangrove diantaranya  bisa menetralisir bahan an organik tapi tidak menyerap bahan organik. Sehingga bahan-bahan organik harus melalui proses dekomposisi, untuk bisa diserap oleh mangrove.

Mangrove berfungsi sangat bagus untuk menahan abrasi dan intrusi, tapi tidak bisa menahan banjir atau rob. Tingkat kerusakan mangrove bisa terjadi karena adanya alih fungsi, misal mangrove diubah alih fungsi menjadi tambak, sehingga bisa mengganggu habitat dan ekosistem yang awalnya ada di hutan mangrove tersebut,“ pungkas Rudhi.

Sidang akan dilanjutkan minggu depan, dengan menghadirkan saksi meringankan para terdakwa.

Hadepe