blank
Hakim Bao Zheng yang adil, berani, dan berpegang pada kebenaran untuk menegakan keadilan.

Oleh : Hadi Priyanto

Saya mengikuti persidangan yang memeriksa dan mengadili aktivis lingkungan hidup Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan di Pengadilan Negeri Jepara mulai sidang pertama digelar tanggal 1 Februari 2024 hingga dibacakan vonis dalam persidangan ke – 16 pada tanggal 4 April 2023.

Bukan hanya di dalam ruang persidangan, tetapi juga aksi di depan Pengadilan Negeri Jepara yang digelar dua kelompok. Kelompok pertama digelar para aktivis lingkungan, budayawan, dan mahasiswa. Tuntutannya, agar terdakwa dibebaskan. Sementara kelompok lainnya adalah aksi yang dimobilisir untuk mendukung agar terdakwa  Daniel dihukum dengan jerat UU ITE. Namun mereka tidak melakukan  orasi. Mereka hanya duduk – duduk di trotoar.

Pada kelompok kedua ini setiap persidangan memang dikerahkan sekelompok orang dengan mengenakan kaos lengan panjang berwarna biru laut bertuliskan “Pemecah Belah Karimunjawa Diadili” . Padahal sebagian besar dari mereka, bukan orang Karimunjawa. Siapakah kelompok ini ? Siapakah di balik kasus “otak udang” yang demikian menyita perhatian publik  ini?

Unggahan Tik Tok tanggal 1 Februari 2024 mungkin dapat menjawab. Sebelum berangkat menjalankan aksi pertama di depan Pengadilan Negeri Jepara, dengan mengenakan kaos “kebesaran” berwarna biru laut   mereka berkumpul di sebuah rumah mewah di jalan Pemuda, Rumah itu  milik seorang petambak yang juga nampak di platform Tik Tok yang diunggah.

Jauh sebelum itu saya juga mengikuti kasus Gugatan PTUN yang diajukan oleh Sutrisno, petambak udang Karimunjawa terhadap Sekda Jepara Edy Sujatmiko yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Tim Penataan Ruang. Edy digugat karena tidak menerbitkan informasi tata ruang yang diminta petambak untuk mengurus perijinan tambak. Sebab Karimunjawa memang  tertutup dan dilarang untuk tambak udang intensif.

Juga   kasus pelaporan Datang AR, Rofiun dan Hasanudin,  tiga orang aktifis lingkungan  Karimunjawa ke Polda Jateng pada tanggal 28 November 2023 oleh Sutrisno melalui kuasa hukumnya. Demikian juga berlarut-larutnya pembahasan Perda RT RW di DPRD Jepara dan siapa yang bermain,  hingga  lambatnya penanganan kasus tambak udang ilegal yang terkesan adanya pembiaran oleh para pemangku kepentingan.

Akibatnya terjadilah pro kontra tambak udang pada sebagian warga masyarakat di Karimunjawa sejak tahun 2022. Utamanya para pegiat lingkungan hidup dan pelaku wisata serta kelompok warga yang hidup dan dihidupi dari keberadaan tambak udang intensi ilegal ini.

Saya juga mengamati perjalanan kasus  pelaporan Daniel oleh Ridwan, Ketua Perkumpulan Masyarakat Karimunjawa Bersatu. Perkumpulan yang terdiri dari beberapa orang ini kemudian di akta notariskan di notaris Debby pada bulan Januari 2023 dan pada tanggal 6 Februari 2023 mendapatkan pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM.  Selanjutnya, pada tanggal 8 Februari 2023 Ridwan melaporkan  Daniel ke Polres Jepara dengan sangkaan melanggar UU ITE.

Ibarat kendaraan, laporan ini  berjalan di jalan bebas hambatan. Penyerahan Daniel dan BAP dari Polres ke Kejaksaan Negeri Jepara dilakukan tanggal 23 Januari 2024 jam 14.30 Wib. Tak ada dua puluh empat jam, berkas dan tersangka Daniel sudah diserahkan ke Pengadilan Negeri Jepara dan mendapatkan register perkara. Tangfal 1 Februari 2024 digelar sidang perdana.

****

Saat mulai sidang Daniel ini digelar, saya membayangkan kisah seorang hakim yang legendaris Bao Zheng yang hidup tahun   9991062.  Di kalangan rakyat, Bao Zheng dikenal sebagai hakim yang adil dan berani memutuskan segala sesuatu berdasarkan keadilan tanpa rasa takut. Juga mampu membedakan mana yang benar dan yang salah

Bao Zheng adalah hakim yang  terkenal pada zaman Dinasti Song Utara. Karena kejujurannya dia mendapat julukan Bao Qingtian yang berarti Bao si Langit Biru, sebuah nama pujian bagi pejabat bersih, jujur dan adil. Namun musuh-musuhnya, para pejabat yang korup  menjulukinya Bao Heizi yang artinya si hitam Bao. Julukan ini diberikan  karena warna kulitnya yang gelap.

Bao dilahirkan dalam keluarga sarjana di Luzhou. Di kampungnya dia banyak berteman dengan rakyat jelata sehingga dia mengerti beban hidup dan masalah mereka. Hal ini membuatnya membenci korupsi dan bertekad untuk menegakkan keadilan dan kejujuran. Bao bertekad untuk memberikan kesetiaannya terhadap kerajaan dan cintanya pada negara dan rakyat

Pada usia 29 tahun, dia lulus ujian kerajaan tingkat tertinggi dibawah pengujian langsung dari kaisar hingga menyandang gelar Jinshi. Sesuai hukum dan peraturan saat itu yang mengatakan bahwa seorang sarjana Jinshi dapat ditunjuk menempati posisi penting dalam pemerintahan. Oleh kaisar Bao diangkat sebagai pejabat kehakiman mengepalai Kabupaten Jianchang.

Namun dia mengundurkan diri tak lama kemudian karena sebagai anak berbakti dia memilih pulang kampung untuk merawat orang tuanya yang sudah tua dan lemah selama sepuluh tahun. Baru setelah kematian orang tuanya, dia kembali diangkat sebagai pejabat, kali ini sebagai pejabat kehakiman Provinsi Tianchang. Ketika itu dia telah berumur 40 tahun.

Sebagai pejabat, Bao bekerja dengan adil, berani, dan berpegang pada kebenaran. Kecerdasan dan bakatnya membuat banyak orang kagum, termasuk Kaisar Song Renzong yang mempromosikannya dan memberikannya jabatan penting termasuk sebagai hakim di Bian, ibu kota Dinasti Song.

Dia terkenal karena pendiriannya yang tak kenal kompromi terhadap korupsi. Dia menegakkan keadilan bahkan menolak untuk tunduk pada kekuasaan yang lebih tinggi darinya bila itu tidak benar. Dia sangat berpegang teguh pada pendiriannya dan tidak akan menyerah selama dianggapnya sesuai kebenaran.

Dalam legenda disebutkan, kaisar menganugerahi Bao tiga gilotin (alat penggal kepala) dalam tugasnya sebagai hakim. Ketiga gilotin itu mempunyai dekorasi yang berbeda dan digunakan untuk menghukum orang sesuai statusnya. Guilotine kepala anjing untuk menghukum rakyat jelata, kepala macan untuk menghukum pejabat korup, dan kepala naga untuk menghukum bangsawan jahat.

Di kalangan rakyat, Bao Zheng dikenal sebagai hakim yang adil dan berani memutuskan segala sesuatu berdasarkan keadilan tanpa rasa takut, juga mampu membedakan mana yang benar dan yang salah. Baginya siapapun yang  terbukti bersalah melakukan pelanggaran harus dihukum. Bao meninggal tahun 1062 dan dimakamkan di makam keluarganya di Hefei, di kota itu juga dibangun kuil untuk mengenangnya

******

Namun bayangan saya tentang kehadiran hakim dengan kearifin seperti hakim  Bao Zheng yang dikenal mampu membedakan mana yang benar dan mana yang  salah pupus saat hakim membacakan putusannya.

Nampak hakim mengabaikan konteks persoalan utama, soal kerusakan lingkungan hidup oleh tambak udang intensif ilegal yang dikritisi oleh  terdakwa Daniel dalam unggahan fb nya tanggal 12 November 2024. Sikap pro kontra yang terjadi  lebih dikarenakan kepentingan pemilik tambak udang intensif dengan upaya pelestarian lingkungan hidup dan pelaku wisata. Bukan karena unggahan fb Daniel.

Padahal kalau mengacu pada  asas hukum acara, maka hakim wajib menggali sedalam – dalamnya, semua fakta. Karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah keadilan substansi, keadilan materiil yang harus diperhatikan oleh hakim saat memeriksa, mengadili dan  memutus perkara  dengan berdasarkan pertimbangan rasionalitas, kejujuran, obyektifitas, tidak memihak, tanpa diskriminasi dan berdasarkan hati nurani dan keyakinan hakim. Waktu persidangan yang sangat pendek juga mengakibatkan perkara yang masuk pidana khusus ini tidak mendalam.

Hakim memang mempertimbangkan status terdakwa Daniel sebagai pembela HAM Lingkungan. Namun hanya dijadikan alasan meringankan putusan bukan menghapus putusan. Akibatnya pasal 66 UU PLH hanya dijadikan pertimbangan,  namun hakim berpendapat bahwa delik utamanya soal defamasi atau pencemaran nama baik telah tepenuhi unsurnya, sehingga hakim berpendapat bahwa terdakwa Daniel bersalah dan harus dihukum.

Juga nampak hakim mengesampingkan saksi yang jauh lebih kompeten dalam menafsirkan UU ITE,  yaitu saksi ahli dari Kementerian Komunikasi dan Informatika yang memahami benar sejarah pasal yang didakwakan. Sebaliknya hakim lebih  meyakini keterangan ahli yang tidak berkompeten.

Kejanggalan lain juga nampak soal tuduhan Daniel dengan sengaja menyebarkan ujaran kebencian. Padahal  tidak ada fakta satupun dalam persidangan bahwa Daniel menyebarkan ujaran kebencian pada masyarakat Karimunjawa.  Hanya akun fb nya yang bisa diakses oleh orang lain dan kemudian disebarkan oleh kelompok pelapor dan saksi yang diajukan dalam persidangan, yang sebagian besar adalah pengurus Perkumpulan Masyarakat Karimunjawa Bersatu.

Terkait dengan perbuatan  Daniel Frits terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, menurut daya ada kekeliruan dalam pertimbangan Majelis Hakim terhadap pasal tersebut, yang sebenarnya adalah materi hukum pidana yang sangat mendasar.

Sebenarnya pasal 28 ayat (2) UU ITE telah berubah rumusannya melalui UU No. 1 Tahun 2024. Dalam kondisi seperti ini, Majelis Hakim harus mempertimbangkan Pasal 1 ayat (2) KUHP tentang Asas keberlakuan wajib ketentuan yang paling menguntungkan bagi Terdakwa apabila terdapat perubahan undang-undang.

Makna dari ketentuan yang paling meringankan tidak terbatas pada adanya perubahan sanksi pidana maupun dekriminalisasi perbuatan tertentu. Ketentuan ini haruslah dimaknai secara luas termasuk adanya perubahan rumusan unsur tindak pidana seperti yang terjadi dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE terbaru, rumusan “berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)” telah diubah menjadi “berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik” yang ditujukan secara jelas menghapuskan ketidakjelasan unsur “antargolongan”

Di sini terlihat bahwa terdapat perubahan yang sangat signifikan yaitu adanya perumusan unsur yang lebih jelas terkait dengan kelompok yang dilindungi oleh pasal ini. Jika membandingkan rumusan pasal sebelum dan setelah diubah, jelas bahwa perubahan pasal dalam UU ITE terbaru meringankan bagi terdakwa karena adanya kejelasan terkait SARA.

Adanya perubahan tersebut sekaligus memperjelas bahwa ujaran kebencian yang dimaksud haruslah terbatas pada identitas yang sifatnya melekat dan permanen seperti yang disebutkan dalam rumusan Pasal 28 ayat (2) UU ITE terbaru. Artinya, ketentuan ini tidak dapat diberlakukan pada ujaran yang merujuk pada masyarakat umum.

Dalam hal ini, komentar Daniel Frits yang memuat frasa “otak udang” kepada masyarakat secara umum tidak lagi termasuk dalam lingkup Pasal 28 ayat (2) UU ITE.  Selanjutnya, dengan dihapuskannya unsur ‘antargolongan’, maka pendapat MK nomor 76/PUU-XV/2017 yang mendefinisikan “antargolongan’ tidak lagi dapat digunakan untuk menafsirkan Pasal 28 ayat (2) UU ITE dalam kasus ini.

Sayangnya, Majelis Hakim gagal dalam memaknai Pasal 1 ayat (2) KUHP. Majelis Hakim hanya memaknai ketentuan tersebut sebagai ada atau tidaknya perubahan sanksi serta ada atau tidaknya dekriminalisasi terhadap perbuatan tertentu. Artinya, hakim malah membatasi asas tersebut hanya pada kondisi suatu tindak pidana tidak lagi menjadi tindak pidana. Kekeliruan penafsiran Majelis Hakim ini melahirkan kekeliruan lainnya dalam pembuktian unsur Pasal 28 ayat (2) UU ITE.

Karena masih menggunakan frasa “antargolongan”, Majelis Hakim berusaha menarik fakta-fakta hukum berupa adanya pro dan kontra di masyarakat tentang kasus Daniel serta adanya laporan dari sekelompok warga sebagai bentuk “antargolongan”..  Hal ini jelas keliru. Diskursus atau perdebatan di masyarakat bukanlah tindak pidana.

Adanya kelompok pro dan kontra ini adalah konsekuensi logis dari sebuah pendapat yang dikeluarkan seseorang, sehingga pasti akan melahirkan adanya persetujuan maupun penolakan terhadap pendapat tersebut. Bentuk pro dan kontra di masyarakat yang lahir dari sebuah komentar, jelas tidak dapat ditafsirkan untuk memenuhi Pasal 28 ayat (2) UU ITE terbaru. Selain itu ada unsur penting perbuatan Pasal 28 ayat (2) ini yaitu harus berupa perbuatan “menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain.” Majelis hakim sama sekali tidak mempertimbangkan perbuatan ini, padahal ini arti penting ujaran kebencian.

Pertimbangan dalam putusan tersebut, memperlihatkan bahwa Majelis Hakim keliru dalam menafsirkan Pasal 1 ayat (2) KUHP karena tidak melihat adanya perubahan unsur yang berpengaruh secara signifikan terhadap Pasal 28 ayat (2).

Selain itu, Majelis Hakim juga gagal memahami maksud dari ujaran kebencian dalam pasal tersebut. Di sini, Majelis hakim hanya mempertimbangkan adanya pro dan kontra dari masyarakat umum terkait komentar Daniel tanpa mempertimbangkan lebih jauh terkait niat jahat dan ujaran yang memang dilontarkan atas dasar identitas yang sifatnya melekat dan permanen, bukan hanya masyarakat umum.

Putusan dengan penafsiran demikian telah memperpanjang daftar kriminalisasi terhadap masyarakat yang mengemukakan pendapatnya terkait masalah sosial yang terjadi. Kekeliruan ini membuat seorang Pembela Lingkungan Hidup yang aktif harus berakhir di dalam Penjara selama 7 bulan dan denda lima juta rupiah.

Wajar jika kemudian publik mempertanyakan, mengapa kesalahan mempertimbangkan materi pidana dapat terjadi dalam kasus ini hingga menganggap karena postingan Daniel menyebabkan konflik di Karimunjawa. Padahal konflik ini justru dibangun oleh sebagian kecil warga yang memang berada pada kelompok pro tambak.  Bukan masyarakat Desa Karimunjawa dan Kemujan.

Namun jika kita menelusuri seluruh kasus tambak udang ilegal intensif di Karimunjawa, pertanyaan itu akan terjawab tuntas. Siapaakah yang bermain dan melakukan kriminalisasi terhadap aktivis lingkungan dan kemudian memanjarakannya.

Menyedihkan melihat pertimbangan majelis hakim yang mereduksi asas paling dasar yaitu asas legalitas hukum pidana. Jauh dari kearifan hakim Bao Zheng yang adil, berani, dan berpegang pada kebenaran untuk menegakan keadilan.

Penulis adalah Wartawanh SUARABARU.ID dan pegiat budaya di Jepara

 

.