JEPARA (SUARABARU.ID) – Kontroversi keputusan majelis hakim yang memeriksa dan mengadili Daniel Frits Maurits Tangkilisan, aktivis lingkungan Karimunjawa dengan vonis pidana penjara selama 7 bulan dan denda 5 juta rupiah, telah memunculkan kegeraman sejumlah kalangan, utamanya para pegiat HAM dan aktivis lingkungan dari berbagai kota
Bukan hanya itu, usai vonis dibacakan, Daniel Frits Maurits Tangkilisan menegaskan ada yang harus harus di bongkar. Sementara dihalaman kantor Pengadilan Negeri Jepara digelar aksi yang menyebut PN Jepara telah terjual. Diantara yang berorasi adalah Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Unisnu Jepara, Mayadina Rohmi Musfiroh dan Muhnur Setyahaprabu, penasehat hukum Daniel dari Koalisi Advokat Pembela Pejuang Lingkungan
Mayadina menyebut, keputusan majelis hakim telah mengabaikan konteks persoalan utama. Saya juga berharap putusan hakim yang mengecewakan ini jadi momentum konsolidasi masyarakat Karimunjawa dan pejuang lingkungan serta aktivis HAM
“Kita harus tetap mengawal kasus ini. Semoga keadilan di Indonesia masih ada. Saya berharap mahasiswa Jepara dari manapun kampusnya untuk mengawal dan melawan ketidak adilan yang ada disekitar kita hingga tuntas,” tegas Mayadina.
Kasus ini tidak boleh berhenti disini tetapi harus ada upaya banding untuk membebaskan Daniel dan juga menyuarakan dengan lantang ketidak adilan yang terjadi disini, tambah Mayadina yang dikenal juga sebagai aktivis
Sementara Muhnur menyebut ada tiga kejanggalan dalam penangan kasus Daniel. “Pertama adalah soal waktu yang sangat singkat. Kasus undang – undang ITE ini masuk kategori pidana khusus. Sehingga logikanya harus didalami, karena pembuktiannya rumit. Ini terbukti dengan banyaknya saksi dan saksi ahli yanhg dihadirkan baik oleh JPU maupun oleh penasehat hukum. “Kalau dalam jangka waktu 2 bulan muncul keyakinan hakim, maka kecurigaan saya, jangan-jangan keyakinan hakim itu sudah ada sebelum perkara ini disidangkan,”ungkapnya.
Kejanggalan kedua Muhnur menyebut, kalau mengacu pada asas hukum acara, maka hakim wajib menggali sedalam – dalamnya, semua fakta. Karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah keadilan substansi, keadilan materiil.
“Hari ini kita melihat putusan yang jika dilihat pertimbangannya hanya tertumpu pada satu saksi ahli ahli yang tidak datang dari Unnes dan mengesampingkan saksi yang menurut kami jauh lebih kompeten yaitu saksi ahli dari Kementerian Komunikasi yang memahami benar sejarah pasal yang didakwakan. Juga mengabaikan saksi ahli Prof Dr M. A. R. G Andri Wibisana, SH, MLLM, Guru Besar Pidana Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang menurut kami lebih kompeten,” terang Muhnur. Kejanggalan kedua ini ternyata hakim a meyakini keterangan ahli yang tidak berkompeten, tambahnya
Sedangkan kejanggalan ketiga menurut Muhnur, putusan itu tidak lengkap. “Ada jumping conclusion yang banyak sekali diperlihatkan oleh majelis. Yang pertama soal menuduh Daniel dengan sengaja menyebarkan ujaran kebencian. Padahal tidak ada fakta satupun dalam persidangan bahwa Daniel menyebarkan ujaran kebencian. Hanya akun fb nya yang bisa diakses,” ungkap Muhnur.Tetapi i ada juga fakta bahwa komentar Daniel juga disebarkan oleh orang lain. Dan itu menjadi pemantik bahwa kebencian itu ada. Justru yang menyebarkan itu dari kelompok pelapor dan saksi yang diajukan,urainya
Selanjutnya jumping conclusion adalah tentang memaknai kebencian itu, yang di persyaratkan bahwa dalam putusannya adalah, kebencian individu dan atau kelompok. Nah ini bahaya, karena kalau kebencian diukur dari individu dan kelompok, maka pro kontra sedikitpun tidak boleh,.
Ia lantas menganalogikan pencalonan kepala desa ada pro dan kontra. Bisa juga kepala desa itu di pidana karena perbedaan visi misi mereka. “Nah itu menjadi bias, kejanggalan itu yang kami temukan dalam persidangan, ungkapnya.
Hadepe