Oleh : Hadi Priyanto
Sidang kasus dugaan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik yang menyeret aktivis lingkungan hidup Karimunjawa Daniel Frits Maurits Tangkilisan telah memasuki babak akhir. Direncanakan Kamis 4 April 2024, majelis hakim akan membacakan putusan dalam persidangan ke-16.
Sebagian orang beranggapan, kasus ini tak layak untuk disidangkan. Bahkan sejumlah organisasi masyarakat sipil dan kampus, termasuk KOMNAS HAM telah mengirimkan Amicus Curiae Perkara Nomor: 14/Pid.Sus/2024/PN Jpa atas nama Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Komisi Yudisial juga memantau persidangan yang mulai digelar 1 Februari 2024 di Pengadilan Negeri Jepara.
Disamping itu terdapat 30 organisasi sipil internasional yang mengeluarkan Joint Statement pembebasan Daniel Frits Maurits Tangkilisan dan menyebut terdakwa sebagai pejuang HAM Lingkungan Hidup yang menjadi korban kriminalisasi.
Karena itu kelompok ini mendesak hakim untuk memperhatikan ketentuan pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Apalagi Mahkamah Agung telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup,
Juga pengabaian Pedoman Jaksa Agung Nomor 8 Tahun 2022 tentang Penanganan Perkara Tindak Pidana Di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup oleh Jaksa Penuntut Umum.
Disamping itu organisasi masyarakat sipil juga menyebut ada pengabaian SKB Nomor 229 Tahun 2021/ Nomor 154 Tahun 2021/ Nomor SKB/2/V1/2021 tentang Pedoman Implementasi Atas Pasal Tertentu Dalam UU ITE yang ditandatangani Jaksa Agung, Kapolri dan Menteri Komunikasi dan Informatika dalam penanganan perkara ini
Sementara, sebagian lagi mengatakan sebaliknya. Terdakwa harus dihukum. Kelompok ini dimotori oleh Perkumpulan Masyarakat Karimunjawa Bersatu yang dibentuk melalui Akta No. 30 Tahun 2023 Notaris Debby Ekawati. Perkumpulan yang diketuai oleh Ridwan sebagai pelapor ini terdiri dari beberapa orang yang sebagian menjadi saksi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
Sebenarnya kasus yang berlatar belakang pro kontra tambak udang intensif ilegal ini telah ramai diperbincangkan cukup lama di Jepara, sejak penetapan Daniel sebagai tersangka. Sebab para petambak udang yang dikritisi justru dibiarkan terus beroperasi dan menimbulkan kerusakan yang semakin nyata.
Namun kasus ini telah terlanjur bergulir di pengadilan. Jaksa Penuntut Umum telah menguraikan tuntutannya. Demikian juga terdakwa serta penasehat hukumnya telah menepis tuntutan jaksa melalui nota pembelaan. Juga telah menyampaikan duplik didepan persidangan untuk menjawab replik yang disampaikan jaksa penuntut umum.
Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutannya yang disampaikan tanggal 19 Maret 2024 menuntut Terdakwa Daniel Frits dengan dakwaan Pertama yaitu Pasal 45A ayat (2) juncto Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dan denda sebesar Rp. 5.000.000.- subsidier 1 (satu) bulan.
Kini majelis hakim yang menjadi penentunya. Di tangan ketiga “Wakil Tuhan” itu, nasib aktivis lingkungan hidup Karimunjawa Daniel Frits Maurits Tangkilisan dipertaruhkan. Apakah terbukti melanggar seperti yang dituduhkan jaksa penuntut umum, atau malah bebas dari segala tuntutan.
Menjadi tugas majelis hakim untuk menilai apakah seluruh unsur pasal-pasal tersebut terbukti atau tidak. Setidaknya, ada pegangan bagi majelis hakim untuk menentukan sikap dalam perkara ini. Pasal 183 KUHAP menyebutkan, hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan, alat bukti yang sah adalah; keterangan saksi; keterangan ahli; surat; petunjuk; keterangan terdakwa. Jika majelis ingin lebih yakin lagi, bisa dikaitkan dengan Pasal 185 dan Pasal 186 KUHAP.
Apapun putusan majelis hakim dalam perkara ini tetap harus dihormati semua pihak. Dalam hal ini, kita perlu mengingat kembali salah satu asas hukum penting yaitu, res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar, sampai memperoleh kekuatan hukum yang tetap atau diputus lain oleh pengadilan yang lebih tinggi (kalau diajukan banding atau kasasi).
Memang putusan pengadilan ini menjadi hak prerogatif majelis hakim yang menyidangkan perkara. Namun, hakim juga harus memiliki keyakinan bahwa terdakwa bersalah melakukan suatu tindak pidana berdasarkan fakta-fakta dan bukti di dalam proses persidangan. Prinsip hakim tidak boleh ada keraguan (beyond reasonable doubt), juga harus menjadi pegangan hakim dalam memutus perkara.
Hakim dalam memutus perkara juga tidak boleh di intervensi siapapun, karena putusan hakim murni dari hasil kebenaran yang di buktikan di dalam persidangan.
Dari perkara Daniel Frits Maurits Tangkilisan, nampak jelas masyarakat menanti kebijaksanaan dari hakim sebagai “Wakil Tuhan” dalam memutus perkara. Sebab, putusan hakim inilah yang akan menentukan nasib terdakwa, dan bahkan aktivis lingkungan hidup Karimunjawa lainnya yang kini, tiga diantaranya dilaporkan oleh petambak ke Polda Jateng dengan dugaan pelanggaran yang sama.
Kini masyarakat luas, aktivis lingkungan, aktivis HAM, organisasi masyarakat sipil dan para pemerhati hukum dan keadilan sedang menunggu putusan hakim. Karena hakim harus betul-betul memiliki alasan atau pendapat atau pertimbangan hukum yang jelas dan terukur dalam mengambil putusan yang harus . mengandung prinsip-prinsip keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
Ada adagium terkenal dalam sistem peradilan pidana, Res judikata pro veritate habitur. Adagium ini memberikan penegasan bahwa putusan hakim yang telah dibacakan di dalam persidangan harus dianggap benar dan tidak dapat dibantahkan terkecuali ada putusan atau pembuktian dalam putusan yang lain dapat membatalkan atau mencabutnya
Adagium tersebut menegaskan proses penangan pidana atas perbuatan seseorang yang melanggar hukum dilakukan demi keadilan. Karena itu tidak bisa dibuat main-main. Namun bukan lagi menjadi rahasia, beberapa putusan hakim mengandung keadilan bagi yang membayarnya. Ada banyaknya kasus hukum yang menjerat para hakim, mulai hakim di pengadilan negeri, pengadilan tinggi hingga Hakim Agung.
Padahal seharusnya, hakim yang dianggap sebagai Wakil Tuhan memutuskan hukuman seseorang hanya apabila ia terbukti secara sah bersalah atau membebaskan jika terbukti tidak bersalah. Bukan karena pesanan atau tekanan
Penulis adalah pegiat budaya tinggal di Jepara