blank
Di halaman Masjid Agung Taqwa (sekarang At Taqwa) sisi barat Alun-alun Krida Bakti Kabupaten Wonogiri ini, dulu setiap petang disulut Blanggur sebagai tanda waktu saatnya berbuka.(Dok.Ist)

BLANGGUR atau blenggur, dulu dipakai untuk penanda datangnya waktu berbuka puasa di Bulan Suci Ramadan. Setiap tiba Mahgrib, mercon ukuran besar berbentuk bulat yang dilengkapi sumbu ini, selalu disulut di halaman Masjid Agung Taqwa (sekarang At Taqwa) Kabupaten Wonogiri.

Mampu menimbulkan ledakan dua kali. Yakni saat menjelang mengangkasa bersuara blang (bleng) dengan memijarkan kilatan nyala api, dan di ketinggian guuuur. Ledakan petasan raksasa ini, suaranya menggelegar bagai bom udara, terdengar menyebar sampai radius sekitar 15 Kilometer (KM).

Begitu mendengar suara ledakan Blanggur, umat muslim di Kota Wonogiri dan sekitarnya pun sontak berkata: ”Wis (sudah) Duuul.” Begitulah tradisi Blanggur, yang dulu seakan telah menjadi bagian dari budaya, untuk menandai saat tiba waktunya berbuka puasa.

Bagi warga yang sekarang sudah Lansia, kiranya tidak asing dengan Blanggur. Karena dulu, setiap petang selalu disulut di hampir semua Masjid Agung yang ada di hampir setiap ibukota kabupaten/kota di Indonesia.

Di era Tahun 1960-an, banyak warga yang datang ke Masjid Agung Taqwa Wonogiri, untuk melakukan wisata ngabuburit dan sekaligus melihat teknis penyulutan Blanggur. Tokoh Umat Muslim Wonogiri, Katibin, dikenal sebagai petugas yang ahli menyulut Blanggur.

Blanggur juga disebut Degling, adalah mercon besar berbentuk bulat Memiliki garis tengah 15 CM dengan berat 8 Ons. Teknis penyulutannya, lebih dulu dimasukkan pada lubang tabung pipa besi (potongan tiang telepon) panjang sekitar 1,5 M, yang ditancapkan tegak lurus ke atas di halaman masjid.

Saat ujung sumbunya dinyalakan dengan korek api, menimbulkan suara ledakan dua kali. Yakni saat masih di bawah berusara blang yang kemudian mengangkasa dengan gerak ugil-ugil (goyang-goyang), dan pada ketinggian sekitar 300 M akan meledak lagi dengan suara guuuur menggelegar keras.

Dinasti Tang

Dalam buku ”Di Bawah Pendudukan Jepang: Kenangan Empat Puluh Orang yang Mengalaminya,” dituliskan, ada dua masjid di Jakarta yang rutin menyulut Blanggur selama Bulan Puasa. Yakni Masjid Kwitang dan Masjid Baitul Rahman Tanah Abang. Suara ledakannya terdengar sampai ke Senen, Kwitang, Kramat dan sekitarnya.

blank
Wartawan Bambang Pur (kiri) saat ke Cina Tahun 2007 bersama Bupati Wonogiri dua periode (2000-2010) Begug Poernomosidi dan Ketua DPRD Wonogiri Sugimin Djoko Suwondo (keempat dan ketiga dari kiri) serta Ketua Bappeda Pranoto (kanan).(SB/Bambang Pur)

Di Solo, penanda waktu berbuka puasa awalnya dengan tembakan salvo meriam Keraton Kasunanan Surakarta. Sebelum kemudian, dialihkan dengan Blanggur di Masjid Agung Surakarta dan di Masjid Tegalsari.

Blanggur yang disulut di Masjid-masjid Jami’ (Agung) di Tanah Air, awalnya diimpor dari Cina. Kemudian diproduksi oleh Cina Perantauan yang bermukim di Pantai Utara Jawa. Yakni di Cirebon (Jabar), Tegal (Jateng) dan Tuban (Jatim).

Wartawan Bambang Pur yang pernah dua kali melakukan tugas jurnalis ke Cina (Tahun 1990 dan Tahun 2007), memperoleh pemahaman bahwa bangsa Tionghoa ahli membuat mercon (termasuk Blanggur) dan kembang api. Itu dilakukan sejak dari Zaman Dinasti Tang (618-907 M) dan berkembang selama Dinasti Song.

Cina, awalnya memakai teknologi bambu dan serbuk mesiu. Seorang Biksu Cina, Li Tian, mengisi lubang bambu dengan bubuk mesiu bercampur garam dan membakarnya. Maka, timbullah suara ledakan bersama semburan pijar cahaya putih terang ke langit malam.

Selanjutnya, Cina memproduksi mercon bersuara ledakan yang keras dan kembang api. Ini untuk perayaan Tahun Baru Imlek. Tradisi Cina kuno, menyebutkan, bunyi ledakan mercon awalnya untuk menakuti roh jahat. Namun seiring perkembangan zaman, petasan dan kembang api, menjadi komoditas untuk memeriahkan aneka pesta perayaan.
Bambang Pur