blank
Menyambut Ramadan, masyarakat di lingkup RT 1/RW 4 Lingkungan Cubluk, Kelurahan Giritirto, Kecamatan dan Kabupaten Wonogiri, melakukan kerja bakti Resi-resik lingkungan perkampungannya.(SB/Bambang Pur)

WONOGIRI (SUARABARU.ID) – Megengan, merupakan tradisi turun temurun yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Menjadi puncak persiapan dalam menyongsong hari pertama puasa di Bulan Suci Ramadan.

Dalam Buku Adat Tata Cara Jawa Yayasan Suryasumirat Jakarta-2000, Karya Drs R Harmanto Bratasiswara, disebutkan, setidak-tidaknya ada tiga tradisi yang dipersiapkan masyarakat Jawa, sebelum menjalani ibadah puasa di Bulan Suci Ramadan.

Ketiga hal tersebut terdiri atas tradisi Resik-resik, Padusan dan Megengan. Pertama, Resik-resik dilakukan dalam upaya membersihkan rumah, pekarangan dan lingkungan pemukiman. Ini dilakukan secara individual, dan melalui kerja bakti bersama masyarakat di komunitasnya masing-masing.

Sebagaimana yang dilakukan warga masyarakat di lingkup RT 1/RW 4 Lingkungan Cubluk, Kelurahan Giritirto, Kecamatan dan Kabupaten Wonogiri, Minggu (10/3), mengadakan kerja bakti Resik-resik bersama. Kegiatan ini, dipimpin Ketua RT setempat, Suwarto.

Kedua, Padusan, yakni mandi keramas sebagai upaya sesuci diri, di rumahnya masing-masing, atau di sumber air pemandian yang diyakini bertuah. Ketiga, Megengan, yakni menyediakan sesaji di rumah, untuk memaknai ruh arwah para leluhur.

Kahyangan

Di Wonogiri, ada sumber air yang diyakini bertuah. Yakni di Kali Kahyangan di Hutan Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo dan di Sendang Siwani di Kecamatan Selogiri. Kahyangan Dlepih, dikenal sebagai petilasan pertapaan Danang Sutawijaya atau Panembahan Senapati, tokoh pendiri Dinasti Mataram Islam Tanah Jawa.

Kemudian di Sendnag Siwani di Kecamatan Selogiri, dikenal sebagai petilasan pertapaan RM Said Pangeran Sambernyawa. Yakni tokoh pendiri Dinasti Mangkunegaran Surakarta, yang mendapat kekuatan baru dari air Sendang Siwani, untuk memenangi perang melawan ketidakadilan keraton dan penjajah Belanda.

Selanjutnya, Megengan, yang sudah mentradisi sejak Kakek Moyang, merupakan acara penutup Pamulen Ruwahan dan Unggah-ungahan Mapak Tanggal. Yakni ritual menutup Bulan Ruwah dan menyambut Bulan Ramadan (Pasa).

Dalam ritual Megengan ini, dilakukan pemanjatan doa disertai sesaji kue Apem dan Kolak Ketan. Ini sebagai sarana mendoakan ruh arwah para leluhur agar diampuni dosa dan kesalahannya, agar diterima di sisi Nya dan dianugerahi Kaswargan Jati (Surga).

Budayawan Jawa peraih Anugerah Bintang Budaya, Kanjeng Raden Arya (KRA) Pranoto Adiningrat, menyatakan, Megengan merupakan akulturasi dari kearifan lokal budaya Jawa, dengan nilai-nilai Islami yang diajarkan para Wali.

Megengan, berasal dari kata Megeng, artinya adalah menahan. Yakni menahan sikap untuk tidak sombong dan merasa paling benar sendiri, sebagai cerminan dari nilai-nilai budi luhur dalam Kejawen. Yang nilai-nilai budi luhur itu, menjadi bekal dalam melaksanakan ibadah puasa (pasa) di Bulan Suci Ramadan, untuk kiat mendekatkan diri kepada Tuhan.
Bambang Pur