blank
: DR. Djoko T. Purnomo, S.H, M.H.

Oleh : DR. Djoko T. Purnomo, S.H, M.H.
SARA kepanjangan dari Suku, Agama, Ras dan Antargolongan telah menjadi salah satu pokok konflik sosial. Sebab isu SARA sangat sensitif bagi sebagian besar masyarakat kita. Bahkan kemudian SARA dipandang sebagai sumber perpecahan dan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat. Salah satu alasannya karena multikulturalisme yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Istilah SARA sendiri mungkin sudah tidak asing lagi didengar karena istilah ini sering muncul di berbagai bacaan, tayangan TV, maupun obrolan sehari-hari. Namun, masih banyak orang yang belum memahami arti SARA sepenuhnya. Hal ini karena pembahasan mengenai SARA terkadang kerap dihindari untuk menghindari perpecahan.

Padahal makna SARA tidak berhubungan dengan tindakan yang merujuk pada konflik negatif yang menyebar di masyarakat saat ini. Selain itu, mengetahui definisi SARA sebenarnya juga bisa membantu masyarakat untuk menghindari konflik yang berkaitan dengan SARA

Apa yang Dimaksud dengan SARA?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), SARA adalah akronim dari suku, agama, ras, dan antargolongan. Sementara itu, menurut buku Pengaruh Politisasi SARA Terhadap Partisipasi Masyarakat Mengikuti Pilpres 2019, SARA adalah sebuah pandangan atau tindakan yang berhubungan dengan sentimen identitas diri yang menyangkut agama, keturunan, suku, kebangsaan, dan golongan.

Pembahasan mengenai SARA kerap kali berujung pada konflik. Padahal SARA bukanlah hal negatif yang patut dihindari. SARA membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara yang kaya karena terdiri dari berbagai macam budaya dan adat istiadat. Akan tetapi, tidak bisa dipungkiri bahwa pembahasan SARA yang didasari karena sentimen negatif tentu bisa berpotensi untuk menimbulkan konflik. Oleh karena itu, diperlukan regulasi hukum serta tindakan pencegahan yang tepat untuk menghindari konflik berkepanjangan akibat SARA.

Tiga Kategori Tindakan yang Menyinggung SARA

Tindakan yang menyinggung SARA terbagi menjadi tiga kategori, yaitu sebagai berikut.
1. Kategori Individual; meliputi tindakan SARA yang dilakukan oleh individu atau kelompok yang bersifat menyerang, melecehkan, menghina, dan mengintimidasi diri maupun golongan lainnya

2. Kategori Institusional; merupakan tindakan S8ijARA yang dilakukan oleh sebuah institusi, termasuk institusi negara atau swasta yang secara sengaja dan tidak sengaja membuat peraturan diskriminatif terhadap sebuah golongan.

3. Kategori Kultural, ini meliputi penyebaran ide-ide diskriminatif serta mitos yang berhubungan dengan suatu golongan masyarakat. Penyebaran ide ini dapat berujung kepada konflik yang sulit untuk dihindari. Oleh karena itu, perlu dilakukan pencegahan dan tindakan tegas terhadap pelaku untuk menghindari tersebarnya isu negatif yang bisa menimbulkan perpecahan.

Konsep Antar Golongan dalam Tindak Pidana Ujaran Kebencian Berkaitan Dengan “Sara”

Regulasi atau ketentuan pidana berkaitan dengan SARA khususnya Antar-golongan di Indonesia, secara normatif maupun penerapannya banyak permasalahan antara lain ketidakjelasan unsur delik “kebencian” dan unsur objek yang dituju “Antargolongan”. Ketidakjelasan rumusan berimplikasi pada makna seluruh ketentuan pasal menjadi tidak jelas dan menjadi aturan hukum yang kabur (vage normen). Dampaknya adalah kesulitan penafsiran hukum yang berbeda-beda. Dapat ditafsirkan secara meluas atau menyempit, sehingga penerapan hukumnya sulit untuk dilakukan.

Rumusan masalah penelitian ini yakni; Pertama, Hakikat konsep “antargolongan” dalam tindak pidana ujaran kebencian berkaitan dengan SARA; Kedua, rumusan yang tepat konsep “antargolongan” dalam tindak pidana ujaran kebencian berkaitan dengan SARA.

Adapaun pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah meliputi: pendekatan perundang-undangan (statute approach), konseptual (conceptual approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan histori (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach)

Berdasarkan penelitian yang dilakukan terdapat dua temuan penting; Pertama, Hakikat Antargolongan adalah keragaman entitas bangsa Indonesia dengan segala perbedaannya tetapi satu, yakni Bhinneka Tunggal Ika, mengikatkan diri dalam suatu persatuan; Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melindungi harkat martabat manusia dan persatuan nasional dari perbuatan ujaran kebencian yang berpotensi memecah belah persatuan.

Namun pidana ujaran kebencian berkaitan dengan SARA perumusannya tidak jelas dan bersifat multitafsir berimplikasi kurang terjaminnya kepastian hukum dan keadilan.

Kedua, untuk memenuhi kejelasan rumusan, terhadap unsur “kebencian” diberi penjelasan atau batasan dengan memasukkan elemen intoleransi dan penghasutan. Sedangkan terhadap unsur Antargolongan diberi batasan atas dasar anugerah kodrati, yakni anugerah Tuhan kepada manusia sejak kelahirannya meliputi suku, ras, keturunan, kebangsaan, warna kulit, jenis kelamin dan penyandang disabilitas ditempatkan dalam ketentuan umum atau penjelasan pasal.

Putusan MK Nomor 76/PUU-XV/2017 menyatakan istilah antargolongan adalah semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi oleh istilah suku, agama dan ras tetap saja menimbulkan kekaburan hukum karena semua entitas yang tidak terwakili atau terwadahi tetap dapat ditafsirkan secara luas dan beragam

Keberagaman antargolongan ini dapat menimbulkan perselisihan dalam masyarakat apabila muncul perasaan etnosentrisme. Etnosentrime adalah cara pandang individu atau kelompok yang menganggap budaya atau kelompoknya lebih tinggi dari yang lain.

Cara Pencegahan Konflik SARA

Perilaku diskriminatif SARA merupakan tindakan yang perlu dicegah dan diatasi secara bersama-sama. Dikutip dari buku Modul Belajar Alta School, beberapa cara yang bisa dilakukan untuk mencegah konflik SARA adalah sebagai berikut.

1. Tindakan Preventif

Tindakan preventif atau pencegahan dilakukan sebelum munculnya konflik. Salah satunya adalah dengan memberikan edukasi dan pemahaman mengenai keberagaman suku, budaya, dan agama yang terdapat di Indonesia. Selain itu, bisa juga dilakukan dengan memupuk sikap toleransi, kerja sama, gotong royong, saling menghargai, dan menghormati antar sesama suku, agama, dan bangsa.

2. Tindakan Represif

Langkah kedua adalah dengan melakukan tindakan represif. Upaya ini dilakukan untuk menghentikan konflik yang telah terjadi. Salah satunya adalah dengan melakukan pembubaran paksa terhadap kelompok atau institusi yang melakukan tindakan diskriminatif, penangkapan pelaku yang melakukan tindakan tersebut, dan sebagainya. Upaya ini bertujuan untuk menghentikan penyebaran ide-ide negatif dan diskriminatif tentang SARA sehingga tidak berlanjut ke konflik yang lebih besar.

3. Tindakan Kuratif

Langkah yang terakhir adalah dengan melakukan tindakan kuratif. Kuratif dilakukan sebagai upaya untuk menangani akibat dari konflik SARA. Tindakan menanggulangi ini dapat berupa pendampingan bagi korban kekerasan atau diskriminatif, melakukan kerjasama perdamaian, dan sebagainya. Hal ini bertujuan untuk mencegah konflik yang sama terulang kembali

Pasal untuk Menjerat Penyebar Kebencian SARA di Jejaring Sosial

Interpretasi “Tanpa Hak”

Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”), unsur dengan sengaja dan tanpa hak selalu muncul dalam perumusan tindak pidana siber. ‘Tanpa hak’ maksudnya tidak memiliki alas hukum yang sah untuk melakukan perbuatan yang dimaksud.

Alas hak dapat lahir dari peraturan perundang-undangan, perjanjian, atau alas hukum yang lain. ‘Tanpa hak’ juga mengandung makna menyalahgunakan atau melampaui wewenang yang diberikan
Perbuatan yang dilarang dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE ialah dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal 28 ayat (2) UU ITE:
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan

Sanksi Pidana Penyebar Kebencian SARA dalam UU 1/2024

Pasal 28 ayat (2) UU 1 tahun 2024

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.

Kemudian, orang yang melanggar Pasal 28 ayat (2) UU 1/2024 berpotensi dipidana berdasarkan Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024 yang berbunyi:
Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Sebenarnya tujuan dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dan UU Nomor 1 Tahun 1013 Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45A ayat (2) UU 1/2024 tersebut adalah mencegah terjadinya permusuhan, kerusuhan, atau bahkan perpecahan yang didasarkan pada SARA akibat informasi negatif yang bersifat provokatif. Isu SARA dalam pandangan masyarakat merupakan isu yang cukup sensitif. Oleh karena itu, pasal ini diatur dalam delik formil, dan bukan delik materiel

Efektivitas Penerapan Pasal

Efektivitas pasal tentunya dapat dilihat dari setidaknya dua sisi, yaitu pengaturan dan penerapan/penegakan (law enforcement). Secara pengaturan, perumusan pasal ini sudah dinilai cukup. Sedangkan, dalam aspek penerapan/penegakan pasal yang dimaksud, tentu bergantung pada tiap-tiap kasus yang terjadi atau dengan kata lain penerapan pasal tersebut relatif sulit diukur parameter efektivitasnya.

Contoh Kasus

Sebagai contoh kasus dapat Anda lihat dalam Putusan Pengadian Negeri Kota Timika Nomor: 120/Pid.Sus/2017/PN.Tim, yang mana terdakwa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) melalui media internet Facebook dengan akun DEMMY DASKUNDA.

Perbuatan tersebut dilakukan dengan cara memposting gambar Pastor dengan kalimat mengandung unsur SARA (menghina Pastor). Sehingga hal ini yang mengundang kemarahan warga umat Khatolik Kabupaten Mimika karena menurut umat Katholik pastor adalah pimpinan gereja.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menjelaskan mengenai yang dimaksud dengan tanpa hak atau melawan hukum dapat dibedakan menjadi melawan hukum secara formil yaitu yang bersumber pada undang-undang yang berlaku dan melawan hukum secara materril yaitu melawan hukum bukan saja berdasarkan undang-undang yang berlaku tetapi juga didasarkan atas azas ketentuan umum, azas kesusilaan, azas kepatutan yang hidup di dalam masyarakat.

Perbuatan terdakwa mengakibatkan umat Katholik di Kabupaten Mimika sakit hati dan marah karena pemilik akun Facebook DEMMY DASKUNDA yaitu terdakwa telah menghina seorang Imam yang dianggap sebagai tokoh yang disegani dan dihormati di dalam gereja.

Dalam amar putusan, majelis hakim menjatuhkan pidana berdasarkan Pasal 45A ayat (2) UU 19/2016, dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar Rp 100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan maka akan diganti dengan pidana kurungan selama 1 (satu) bulan.

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Penulis adalah seorang pensiunan ASN dan aktivis tinggal di Jepara