blank
Diskusi publik "NU, Khittah 1926 dan Civil Society" yang digelar JNPK-NU di Yogyakarta. Foto : SB/dok Humas JNPK-NU

YOGYAKARTA(SUARABARU.ID)-Komunitas Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) DIY yang tergabung dalam Jaringan Nahdliyin Pengawal Khittah NU (JNPK-NU) mengingatkan kepada Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU) untuk tetap berpegang teguh pada Khithah 1926 dalam menjalankan organisasi Jam’iyah NU.

Jam’iyah NU hendaknya jangan dimobilisasi untuk memilih paslon 02 pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 14 Februari 2024 mendatang.

Pernyataan tersebut mengemuka dalam diskusi publik bertema: “NU, Khithah 1926 dan Civil Society” di Kampus Fisipol UGM, Jl. Sosio –Yustisio, Bulaksumur, Depok, Sleman.

Diskusi yang dihadiri puluhan aktivis NU dari berbagai badan otonomi (Banon) NU itu merespon protes KH Nadirsyah Hosen (Rais Syuriah PCI NU Australia dan Selandia Baru) terhadap sikap PBNU yang memobilisasi kiai kiai NU untuk mendukung Paslon 02 Prabowo-Gibran pada Pilpres 2024 mendatang.

Hadir dalam diskusi yang dipandu Dr Abdul Gaffar Karim (Prodi Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM) tokoh-tokoh dan aktivis NU DIY antara lain: K Nur Khalik Ridwan, KH Muhaimin Iskandar (PBNU), KH Agus Irawan, K Mustafid, anggota Fatayat, Muslimat NU dan Caleg PKB dan PPP.

Diskusi yang diselenggarakan Sabtu (20/1/24) ini berhasil mengeluarkan Sembilan rekomendasi yang akan disampaikan kepada PBNU.

Dalam pandangan JNPK-NU sebagaimana dibacakan Dr Abdul Gaffar Karim, khittah 1926 Jam’iyah NU menyatakan NU bukan partai politik dan bukan pula underbouw partai politik. Namun, rujukan moral sekaligus rujukan formal dalam tindakan politik NU. Khittah NU adalah bagian dari AD/ART NU.

“Penyelenggaraan NU tidak boleh menyimpang dari Khittah NU. Karena bukan partai politik dan bukan underbouw partai politik. Oleh karena itu, NU tidak boleh digunakan sebagai alat pemenangan kandidat presiden dalam Pilpres,” demikian bunyi salah rekomendasi tersebut.

Politik adalah bagian dari tujuan NU sebagai jam’iyah, tidak mungkin dan tidak ada manfaatnya memisahkan urusan politik dari NU. Namun urusan politik itu harus dikelola untuk kemaslahatan umum, bukan untuk mendukung kekuasaan atau kandidat tertentu.

Dalam hal ini, NU harus menjaga kemandirian politik dan kemandirian ekonomi, agar perkembangan dan inovasi di jam’iyah ini tidak tergantung pada uluran tangan penguasa.

Politik Moral

blank
Peserta diskusi publik “NU, Khittah 1926 dan Civil Society” yang digelar JNPK-NU di Yogyakarta foto bersama. Foto : SB/dok Humas JNPK-NU

Rekomendasi berikut, NU harus menghindari politik transaksional yang bersifat jangka pendek. NU harus lebih focus pada politik moral untuk memberi warna pada peradaban bangsa Indonesia yang lebih baik di masa depan.

Peradaban ini dimulai dari penguatan moral dilandasi oleh nilai ke-NU-an yang diwariskan oleh para muassis. Jam’iyah NU juga harus menjadi penengah dalam konflik-konflik politik yang muncul di negeri ini.

Dan berupaya dengan sekuat tenaga untuk tidak menjadi bagian dari konflik politik manapun.

Langkah-langkah politik NU harus didasarkan pada nilai-nilai keulamaan untuk diabdikan pada kepentingan ummat. Dengan cara itu, NU bisa terus memainkan peran sebagai bengkel kemanusiaan, untuk mengatasi berbagai persoalan bangsa.

“Dalam upaya mengelola kepentingan politik praktis dalam Pemilu, NU harus menghindari langkah politik langsung dan lebih menggunakan partai politik sebagai alat utama. Untuk itu, NU perlu mengupayakan perbaikan dan penegasan hubungannya dengan partai-partai politik yang menjadi saluran aspirasi warga NU,” katanya.

Kelima, NU harus memainkan fungsi pengawasan kekuasaan di Indonesia. Tujuannya adalah untuk menguatkan demokrasi dengan mendorong pengawasan publik dan menjaga ketersediaan oposisi politik yang diperlukan untuk mewujudkan pemerintahan yang akuntabel.

NU juga perlu fokus pada upaya pemberdayaan masyarakat, baik di lingkup ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta kewargaan.

NU harus menjadi agen pendidikan politik kewargaan di ranah akar rumput, yang selama ini cenderung terabaikan. Semua pengurus harian, Banom-Banom dan Lembaga-Lembaga/Lajnah-Lajnah di NU harus menjadi ujung tombak pendidikan emansipasi dan kesetaraan gender, dan tidak menjadi mesin politik semata-mata.

Upaya perbaikan serius di NU berbasis semangat Khittah NU sebagaimana disampaikan dalam poin-poin di atas memerlukan keteladanan dari pimpinan tertinggi jam’iyah NU saat ini agar memperoleh perhatian seluruh jajaran pengurus NU hingga ke tingkat terbawah dalam rangka berkhidmah kepada ummat, bangsa dan negara berlandaskan nilai-nilai Aswaja Annahdliyah.

Seluruh jajaran nahdliyin perlu melakukan evaluasi serius terhadap perilaku dan posisi NU saat ini di hadapan negara dan masyarakat, dalam konteks menjadi kekuataan civil society yang berbasis landasan moral Aswaja Annahdliyah.

Untuk itu, diperlukan rekonstruksi keorganisasian NU yang sesuai dengan mandat Qonun Asasi dan AD/ART NU secara konsisten dan konsekwen sehingga jam’iyah NU bisa kembali menjadi gerakan kebangkitan para ulama sebagaimana terkandung dalam namanya.

Muharno Zarka