blank

Oleh : Rofi’i, S.Pd.,M.Pd.

Ada dua pendekatan dalam penyelesaian masalah (problem solving). Ada yang menggunakan pendekatan negatif, ada pula yang mengambil pendekatan positif. Six Thinking Hats yang diartikan ke dalam bahasa Indonesia berarti “enam topi berpikir” memadukan kedua pendekatan tersebut dalam menyelesaikan persoalan dengan cara berpikir inovatif, kritis dan kreatif. Six Thinking Hats menawarkan pendekatan problem solving yang tak biasa karena melihat persoalan secara menyeluruh. Apabila diuraikan secara detail, Six Thinking Hats didefinisikan sebagai cara menyelesaikan masalah dari berbagai sudut pandang, melalui jalan yang bebas konflik dan menggunakan pendekatan berbeda. Dengan begitu, hasil dari diskusi dapat membawa kemajuan bagi individu maupun kelompok.

Konsep pendekatan Six Thinking Hats adalah metode pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Edward de Bono seorang psikolog, dokter, dan filsuf Malta dalam buku yang dikarangnya pada tahun 1985. Metode ini melibatkan penggunaan enam topi dengan warna berbeda yang merepresentasikan cara berpikir yang berbeda. Berikut adalah gambar pendekatan Six Thinking Hats

blank

Dalam konteks manajemen sekolah, penerapan Six Thinking Hats dapat membantu tim manajemen sekolah dalam mengatasi masalah dan membuat keputusan secara lebih efektif.  Pendekatan Six Thinking Hats ini terdiri dari enam topi yang dikategorikan berdasarkan warna. Masing-masing warna mewakili perspektif unik. Topi bisa “dipakai” secara individual maupun bersama-sama. Apa arti dari warna-warni topi tersebut dan bagaimana penerapannya?

Berikut adalah arti dan cara menerapkan enam topi dalam Six Thinking Hats dalam mengatasi problem manajerial sekolah.

  1. Topi Putih (Fakta)

blank

Warna putih menggambarkan kesucian dan kemurnian. Pemakai topi putih bertugas sebagai analis. Pemakai topi putih bertugas mengumpulkan dan mengevaluasi fakta-fakta terkait dengan masalah manajerial sekolah yang meliputi manajemen kurikulum dan pembelajaran, peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, pembiayaan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dan masyarakat, serta budaya dan lingkungan sekolah. Ini termasuk data, statistik, dan informasi yang dapat memandu pemahaman tentang situasi secara objektif tentang manajerial sekolah. Pemakai topi putih disuguhi data dan informasi yang perlu diteliti secara detail. Ketika  menemukan adanya “lubang”, pemakai topi putih perlu mencoba mengisinya. Pemakai topi putih diminta untuk menghasilkan analisis berdasarkan observasi lingkungan sekitar sekolah.

  1. Topi Merah (Intuisi)

blank

Merah melambangkan emosi dan amarah. Berpikir menggunakan topi merah berarti mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan emosi atau melalui intuisi. Pemakainya melihat masalah melalui kacamata emosional dan berpikir bagaimana orang akan bereaksi secara intuisi ketika menghadapi persoalan tersebut. Dengan begitu, pemakai topi merah paham bagaimana berada di posisi mereka dan mengapa mereka bereaksi demikian.

Dalam persoalan manajerial sekolah, pemakai topi merah membahas perasaan dan intuisi terkait dengan masalah manajemen kurikulum dan pembelajaran, peserta didik, pendidik dan tenaga kependidikan, pembiayaan, sarana dan prasarana, hubungan sekolah dan masyarakat, serta budaya dan lingkungan sekolah. Bagaimana pemakai topi merah merasakan tentang situasi ini? Apakah ada kekhawatiran, harapan, atau perasaan lain yang perlu diperhatikan?

  1. Topi Kuning (Optimisme):

blank

Warna kuning merepresentasikan optimisme dan kepercayaan diri. Pemakai topi kuning dapat menggunakan pendekatan positif dalam menyelidiki masalah. Sesuai dengan prinsip optimisme, pemakai topi kuning perlu menanamkan mindset bergerak maju meski keadaan sangat sulit.

Dalam persoalan manajerial sekolah, pemakai topi kuning harus mampu melihat sisi positif dari situasi atau keputusan dalam manajerial sekolah. Identifikasi peluang dan manfaat yang mungkin timbul dari tindakan tertentu. Ini membantu dalam menciptakan sikap optimis dan motivasi dalam mencapai keberhasilan sekolah.

  1. Topi Hijau (Kreativitas)

Warna h blank Warna hijau identik  dengan alam, bisa juga diartikan sebagai keunikan. Pemakai topi hijau berperan melahirkan inovasi-inovasi kreatif yang bisa menawarkan solusi bagi masalah. Pemakai topi hijau dibebaskan untuk mengeksplorasi ide-ide kreatif tanpa menerima banyak kritik.

Dalam persoalan manajerial sekolah, pemakai topi hijau harus mampu mendorong pemikiran kreatif dan inovatif dengan mencari solusi baru, ide-ide segar, dan pendekatan kreatif untuk mengatasi masalah manajerial sekolah. Pemikiran ini bersifat spekulatif dan bebas batasan sementara.

  1. Topi Biru (Pemikiran Kontrol)

blank

Warna biru melambangkan warna langit, yaitu sesuatu yang posisinya paling tinggi. Topi biru merujuk pada kontrol proses.  Pemakainya adalah pemimpin diskusi. Pemakai topi biru diharapkan dapat mengatur jalannya diskusi.

Dalam persoalan manajerial sekolah, pemakai topi biru merencanakan langkah-langkah selanjutnya dan menyusun rencana tindakan. Ini termasuk pengorganisasian ide dan informasi tentang komponen-komponen manajerial sekolah yang telah diperoleh dari topi-topi sebelumnya menjadi suatu keputusan atau langkah konkret.

  1. Topi Hitam (Kritik):

blankHitam kerap diartikan sebagai warna yang suram dan pesimisme. Pemakai topi hitam akan melihat segala sesuatu dari sisi buruknya. Faktanya melihat sisi negatif dapat membantu merancang perencanaan lebih baik guna menangkal hal-hal negatif ke depannya serta memperbaiki kekurangan dan risiko fatal sebelum mengambil langkah maju.

Dalam persoalan manajerial sekolah, pemakai topi hitam harus mampu menganalisis risiko, kendala, dan potensi masalah yang mungkin timbul dari keputusan atau tindakan tertentu. Ini membantu sekolah untuk memikirkan dampak negatif dan merencanakan mitigasinya.

Penerapan “Six Thinking Hats” dalam konteks manajemen sekolah dapat membantu tim manajemen mendekati masalah dengan berbagai perspektif, mengurangi konflik, dan mencapai kesepakatan atau keputusan yang lebih baik. Setiap topi memberikan pendekatan yang unik untuk memecahkan masalah dan membantu tim untuk merenung tentang aspek-aspek yang mungkin terlewatkan dalam pemikiran tradisional. Ini juga dapat meningkatkan komunikasi dalam tim dan mengurangi konflik karena mendorong pendekatan kolaboratif dan berpikir holistik.

Penulis adalah Kepala SMP Negeri 1 Mayong