SEMARANG (SUARABARU.ID)– Perbaikan kebijakan terkait teknologi informasi, membutuhkan perhatian yang terpusat pada manusia dan infrastruktur yang mendukungnya, dalam rangka mewujudkan perlindungan bagi setiap warga negara.
“Revisi kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), diharapkan mampu memperkuat aspek perlindungan setiap warga negara yang merupakan amanah dari konstitusi kita,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring bertema ‘Undang-Undang ITE Perubahan Kedua: Solusi Atau Ancaman?’, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12 (FDD 12), Rabu (6/12/2023).
Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie PhD (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Muhammad Farhan (Anggota Komisi I DPR RI), Dr Usman Kansong SSos MSi (Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI) dan Dr Asep Setiawan MA (Anggota Dewan Pers) sebagai narasumber.
BACA JUGA: Esok, UKSW Gelar Pengukuhan 3 Guru Besar
Selain itu hadir pula Nenden S Arum (Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi, Southeast Asia Freedom of Expression Network/SAFEnet).
Kehadiran UU ITE, ujar Lestari, sejatinya sama seperti undang-undang lainnya, sebagai bagian dari upaya negara melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, sebagaimana diamanatkan Pembukaan Konstitusi UUD 1945.
Namun, tambah Rerie, sapaan akrab Lestari, kehadiran sejumlah “pasal karet” pada UU ITE, justru terkesan meniadakan esensi perlindungan sebagaimana ditegaskan UUD 1945.
BACA JUGA: Kakanwil Tejo Harwanto Terpilih Aklamasi sebagai Ketua MPW
Akibatnya, ujar Rerie yang juga anggota Komisi X DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, polemik penanganan kasus berbasis implementasi UU ITE justru memantik kritik dari masyarakat akan prinsip keadilan, rasa aman melalui kepastian hukum bagi anak bangsa.
Menurut Rerie, upaya merevisi UU ITE harus memperhatikan bahwa tugas negara adalah, menjamin keberlanjutan transaksi informasi dan komunikasi masyarakat dengan tetap mempertimbangkan aspek keamanan, pertahanan dan kedaulatan negara.
Dengan demikian, tegas anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu, UU ITE menjadi bagian dari sistem perlindungan yang utuh, menyematkan nilai kebangsaan dalam dinamika perlindungan, tanpa membiarkan manusia sebagai objek teknologi semata.
BACA JUGA: Kuota Haji 2024 Jateng Naik, Pj Gubernur Jateng Ingin Realisasi Embarkasi Baru
Sementara itu, anggota Komisi I DPR RI, Muhammad Farhan berpendapat, upaya revisi UU ITE yang kedua ini merupakan revisi yang terbatas.
Sejumlah pihak, diakuinya, mengusulkan penghapusan “pasal karet”, tetapi pemerintah dan DPR hanya mengubah substansi dari pasal-pasal itu.
Sebagai contoh, tambah dia, Pasal 27 pada UU ITE yang mengatur distribusi, produksi informasi dan dokumen di ruang digital, yang dikhususkan untuk konten yang melanggar susila, perjudian, pencemaran nama baik dan ancaman.
Jadi, ujar Farhan, interpretasi penyidik dan penuntut dalam memaknai pasal-pasal pada UU ITE harus terus disempurnakan.
BACA JUGA: Pengelolaan SDM PGN Subholding Gas Unggulkan Program Pengembangan Kompetensi dan Adaptasi Digital
Sedangkan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Usman Kansong berpendapat, pertandingan di era informasi ini adalah antara internet yang aman dan kebebasan berpendapat yang terus berlanjut.
Disampaikan dia, di dunia ini setidaknya ada pola kebijakan kebebasan berbicara, yaitu pola Eropa yang menerapkan kebebasan berpendapat yang tidak absolut, dan pola penerapan kebebasan absolut yang diterapkan di Amerika Serikat.
Usman menilai, dalam penerapan kebijakan serupa, Indonesia lebih menerapkan kebijakan kebebasan berbicara yang tidak absolut, seperti di Eropa.
”Perubahan kedua UU ITE ini untuk memastikan hak dan kebebasan berpendapat dengan mempertimbangkan hak dan kebebasan orang lain, demi mewujudkan ruang digital yang bersih, sehat, beretika, produktif dan berkeadilan demi kepastian hukum,” tukas Usman.
Riyan