Untuk saat ini masyarakat baru saja panen tembakau, dan menunggu masa tanam selanjutnya untuk tanaman lain.

“Harga tembakau panen ini 1 kg rata-rata Rp 100 ribu. Ada juga yang kelas di bawahnya antara Rp 60-70 ribu,” ucap Deni.

Deni mengatakan masa tanam tembakau hanya satu kali dalam setahun, setelahnya akan diganti sayur-sayuran seperti cabai hingga kubis.

Saat ini petani menunggu musim penghujan untuk masa tanam selanjutnya usai menikmati cuan dari panen tembakau.

blank
Embung ‘Avocado Lake’ di Kawasan Produksi Widuri Desa Wonokerto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang, Selasa 10 Oktober 2023.) Foto: Diaz Azminatul Abidin

Kolaborasi Pemdes dan Masyarakat

Pentingnya embung juga dirasakan oleh di Kawasan Produksi Widuri di Dusun Wonokerto, Desa Wonokerto, Kecamatan Bancak, Kabupaten Semarang.

Kawasan Produksi Widuri yang dimulai sejak 2019 merupakan penggerak konsep penataan sistem ekonomi dan sosial masyarakat berbasis kaidah produksi dan dagang.

Widuri bergerak di bidang pengelolaan sampah, pertanian di antaranya tanaman buah dalam pot (tambulampot), peternakan seperti jangkrik/cacing, dan pemberdayaan masyarakat lainnya.

Syarif Hidayat, salah satu pegawai di Widuri menjelaskan tambulampot yang mayoritas diisi tanaman buah alpukat, alpukat, dan mangga berada di atas lahan seluas kira-kira 2 hektar.

Butuh penyiraman setiap harinya supaya tanaman tidak kering apalagi di tengah musim panas yang mendera kali ini.

“Satu hari setidaknya sekali siram, ada kalau total 10.000 tanaman yang harus disiram. Kita bagi tugas beberapa orang,” kata Syarif Hidayat saat ditemui di lokasi kebun, Selasa 10 Oktober 2023.

Jarak antara kawasan kebun produksi Widuri dan sungai cukup jauh berada beberapa kilometer di wilayah agak bawah perbukitan, sementara saluran irigasi kering.

Pada 2020, pihak pemerintah desa yang melihat potensi besar Widuri lantas saling bekerja sama membuatkan embung untuk memasok kebutuhan air tanaman.

Embung yang dinamai Avocado Lake itu dibuat secara mandiri oleh Widuri, yang berdiri di tanah kas desa yang  didukung pemerintah desa setempat.

“Jadi embung itu (kalau musim kemarau seperti ini) airnya berasal dari sungai yang diambil dengan cara disedot ke atas (dalam embung),” kata Syarif, pria kelahiran Kabupaten Wonosobo itu.

Dengan adanya embung hasil kerja sama Widuri dan pemerintah desa, maka kebutuhan dasar tanaman akan air tercukupi.

blank
Tanaman Alpukat berbuah di Tanaman Buah dalam Pot (Tambulampot) di Kawasan Produksi Widuri, harganya bisa mencapai kisaran Rp2-3 juta bahkan lebih. Foto: Diaz Azminatul Abidin

Gerakan 1.000 Embung

Ya, Embung Bansari, Embung Manajar, hingga Embung Bancak, merupakan potret salah satu hasil dari kolaborasi bersama Gerakan Seribu Embung.

Gerakan ini digagas Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat masih menjabat.

Program Seribu Embung dimulai sejak 2015 di masa kepemimpinan Ganjar Pranowo – Taj yasin Maimoen (Gus Yasin) dan saat ini sudah finis tinggal mamaksimalkan pemanfaatannhya.

Pemprov Jateng sudah menyelesaikan sebanyak 1.135 embung selama delapan tahun terakhir ini, bahkan masih akan terus ditambah.

Ganjar Pranowo mengatakan keberadaaan embung besar manfaatnya untuk dirasakan masyarakat untuk menyuplai kebutuhan air pertanian.

Dia melihat, Jawa Tengah kerap dilanda bencana kekeringan saat musim kemarau, dan banjir saat musim hujan.

Pembangunan embung akan bermanfaat di mana air yang ditampung bisa mengairi sawah saat musim kemarau, dan menyediakan sumber air baku untuk warga

Khusus pada saat musim hujan, embung berfungsi sebagai penampung air dan pengendali banjir. “Embung ini menjadi solusi persoalan kebutuhan irigasi dan air baku,” kata Ganjar Pranowo.

Ganjar Pranowo mengatakan, program Gerakan Seribu Embung digarap secara gropyokan atau kolaborasi bersama.  Anggaran yang digunakan untuk Gerakan Seribu Embung tersebut berasal dari APBN dan APBD Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

Secara rinci, pembangunan embung yang didanai APBN dikerjakan oleh BBWS ada 141 unit, dan Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Jawa Tengah menyelesaikan 512 unit.

Kemudian pembangunan yang memakai dana APBD Jawa Tengah dilaksanakan oleh Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang (Dispusdataru) sebanyak 74 unit, Dinas Pertanian dan Perkebunan 4 unit, dan pemerintah kabupaten/kota 11 unit.

Jawa Tengah juga mendapat Dana Alokasi Khusus (DAK) dari pemerintah pusat untuk membangun 390 embung, dan hibah CSR perusahaan sebanyak 3 unit.

“Pembuatan embung tetap jalan terus sampai hari ini. Makanya kalau ada ruang-ruang sisa, maka kita manfaatkan,” tuturnya.

Melansir laman Pemprov Jateng, Kepala Dinas Pusdataru Provinsi Jateng Eko Yunianto menambahkan, pihaknya telah membangun 74 unit embung di 19 kabupaten/kota.

Embung tersebut ditambah dengan 17 long storage milik Pusdataru berkapasitas tampungan air mencapai 2,5 juta m3.

Untuk pemanfaatannya untuk irigasi 2.015 hektare lahan pertanian, dan sumber air baku untuk 27.912 kepala keluarga (KK).

Selain penggarapan embung, pihaknya juga menjelaskan terdapat 41 bendungan eksisting yang digarap.

Eko menambahkan, saat ini tengah dibangun tiga bendungan baru, yakni Bendungan Jragung di Kabupaten Semarang, Bendungan Jlantah di Kabupaten Karanganyar, dan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo.

“Ada pula empat bendungan yang sertifikasi operasionalnya masih berproses, yaitu Bandungan Logung di Kabupaten Kudus, Bendungan Gondang Kabupaten Karanganyar, Bendungan Pidekso Kabupaten Wonogiri, dan Bendungan Randugunting di Kabupaten Blora,” katanya.

Eko melanjutkan, bila bendungan dan embung yang dibangun tidak hanya dimanfaatkan airnya untuk irigasi dan sumber air baku untuk warga.

“Melainkan juga untuk menyuplai kebutuhan industri dan pariwisata,” kata dia.

Diaz Azminatul Abidin