Oleh : Hadi Priyanto
Kini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia tengah menggelar operasi terpadu penertiban pipa inlet tambak udang di Karimunjawa. Operasi digelar dari tanggal 2-4 Oktober 2023. Walaupun terlambat, karena tambak ilegal ini telah terlanjur merusak ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove sejak tahun 2017, langkah ini harus diapresiasi dan didukung.
Namun dukungan itu tak boleh sedikitpun menghilangkan hak warga negara untuk mengawasi kinerja kementerian yang seharusnya menjaga kawasan konservasi ini. Bahkan masyarakat perlu lebih diberdayakan agar dapat mengembangkan partisipasinya dalam pembangunan berkelanjutan. Ini untuk memastikan warga masyarakat mendapatkan haknya menikmati lingkungan yang baik, sehat dan lestari
Kehadiran tambak udang intensif di Karimunjawa sebenarnya bermula dari kehadiran tambak udang windu secara tradisional pada tahun 80-an hingga 90-an yang kemudian mati suri karena merugi. Baru pada tahun 2017 bangkit kembali dengan masuknya investor tambak udang intensif dari luar Kabupaten Jepara. Karena keuntungannya besar, maka banyak yang kemudian menanamkan investasinya. Kini di Karimunjawa luas tambak udang intensif mencapai sekitar 44,2 hektar, yang dikelola oleh 34 orang pelaku usaha.
Masuknya tambak udang intensif ini tidak bisa dilepaskan dengan karpet merah yang disediakan oleh penguasa lokal waktu itu dengan argumen klasik, untuk mensejahterakan masyarakat Karimunjawa. Tanpa mempertimbangkan kekhususan wilayah tersebut, sebagai kawasan konservasi. Padahal yang menikmati cuan besar bukan warga lokal.
Namun tidak satupun pengusaha yang mendapatkan ijin sebagaimana peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab Tim Koordinasi Penataan Ruang Daerah menolak menerbitkan izin lokasi yang menjadi dasar pengurusan ijin tehnis. Artinya Nomor Induk Berusaha (NIB), itu senyatanya bukanlah perijinan yang sah.
Jika menelisik dari Nomor Induk Berusaha (NIB), kantor dan pemilik tambak udang intensif Karimunjawa berdomisili sesuai KTP di Rembang 10 orang petambak dengan luas sekitar 13,6 hektar. Berikutnya adalah dari Pati sebanyak 2 orang dengan luas 3,4 h hektar. Sedang yang berasal dari Jepara 3 orang dengan luas 6,6 hektar dan 1 orang petambak dari Bandung, Jawa Barat dengan luas tambak 1 ha serta 8 orang petambak dari Desa Karimunjawa dan Kemujan dengan luas 8,3 ha. . Sebagian besar lokasi tambak udang yang ada adalah sistem sewa.
Dari penelusuran penulis, terdapat pula sejumlah NIB yang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) bukan untuk budidaya. Juga lokasi usaha tidak tercantum dalam NIB dan KBLI bukan untuk budidaya di wilayah Kabupaten Jepara.
Berlarutnya persoalan kontroversi tambak udang ilegal ini memunculkan spekulasi bahwa ada pembiaran dari para pemangku kepentingan yang seharusnya menjaga kawasan Karimunjawa sebagai wilayah konservasi. Padahal sejak tahun 2001 seluruh kawasan perairan di Taman Nasional Karimunjawa telah ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam perairan. Bukan hanya itu pada tahun 2011 Karimunjawa telah ditetapkan sebagai Kawasan Stategis Periwisata Nasional dan tahun 2019 menjadi cagar biosfer dunia oleh badan PBB Unesco.
Karena itu ada sejumlah Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan bahkan Peraturan Daerah yang dilanggar mulai Peraturan Daerah Kabupaten dan Provinsi, UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup hingga sejumlah peraturan menteri.
Menurut penelusuran penulis, sebenarnya para pemangku kepentingan, termasuk para penegak hukum telah mengantongi dua bukti permulaan yang cukup, untuk menduga adanya suatu tindak pidana yang selanjutnya dapat ditindak lanjuti dengan suatu penyidikan atau penutupan tambak.
Karena itu suka atau tidak suka para petambak yang kooperatif bersedia menutup usaha ilegalnya dan mengijinkan dilakukannya pemotongan pipa patut di apresiasi dan memberikan tenggang waktu hingga panen.
Ujung kontroversi tambak udang ilegal ini sepertinya mudah ditebak, jika memang para penegak hukum penjaga kawasan konservasi ini amanah dan memiliki komitmen hingga menaikkan kasus tambak udang ilegal tersebut ke proses penyidikan karena dugaan tindak pidananya, tanpa memberikan tenggang waktu hingga panen.
Sedangkan proses hukumnya menurut penulis bukan hanya menggunakan dasar UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tetapi juga undang-undang lain seperti UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja, UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta UU 31tahun 2004 Tentang Perikanan. Semua mengatur tentang pidana penjara dan denda. Itupun tak sepadan dengan kerusakan mangrove dan ekosistem terumbu karang yang telah terjadi.
Kini warga tentu menilai, seteguh apa komitmen para penjaga kawasan konservasi Karimunjawa? tentu waktu yang akan membuktikan.
Penulis adalah wartawan dan pegiat budaya Jepara