blank
Timnas U17 Indonesia, saat melakukan TC di Jerman. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// mekarlah bunga-bunga/ di taman Indonesia/ dengan harum kembang diaspora/ dan mereka yang siap berdedikasi/ untuk negeri ini/ bacalah: ini ikhtiar/ simaklah: bukankah ini proses mencari solusi?//
(Sajak “Proyek Garuda”, 2023)

BEGITU bersemangat PSSI menaturalisasi banyak pemain untuk memperkuat barisan pilar tim nasional. Apa yang Anda baca dari fenomena ini?

Berderet tongkrongan eksklusif pemain mendominasi pemberitaan media. Pertunjukan teknis yang eksepsional mewarnai laga demi laga Tim Garuda. Apa pula yang Anda tandai dari kondisi ini?

Ya, itulah sebagian dari wajah sepak bola kita saat ini, terutama dalam kisi-kisi pembentukan tim nasional di berbagai kelompok usia. Realitas proyek naturalisasi dan perburuan pemain diaspora menggambarkan kehendak untuk mempercepat jalan memiliki timnas yang kuat. Bukan sejauh ini sepak bola kita seperti terbekap oleh skeptisitas: angan dan kerinduan tentang kejayaan, kapankah bisa mewujud?

Atau, bolehlah dinamika-dinamika aktual itu kita baca sebagai “solusi” ketika beragam cara yang ditempuh PSSI tak juga menghasilkan performa berkualitas. Narasi paradoks antara “local pride” dengan menerima kenyataan butuh asupan “asing” pun sempat mengemuka.

Tengoklah tiga pekan berselang. Kemenangan dalam dua leg Pra-Piala Dunia 2026 atas Brunei Darussalam, di Jakarta dan di Bandar Seri Begawan dengan selusin gol memang bukan gambaran utuh kemajuan yang dicapai tim anggitan Shin Tae-yong. Hanya, menurut saya, patut diakui itulah ekspresi konfidensi untuk tidak mengungkung tim nasional Garuda dalam inferioritas yang bagai tak berbatas, termasuk dalam persaingan dengan Thailand, Vietnam, dan Malaysia di kancah regional Asia Tenggara.

Kesan Kegairahan
Dalam beberapa bulan terakhir, saat Pasukan Merah-Putih di sejumlah kelompok usia teragenda tampil di Pra-Piala Asia dan Pra-Piala Dunia, juga ketika proyek naturalisasi pemain digencarkan, kesan kegairahan persaingan di Asia Tenggara sangat terasa.

Publikasi, terutama yang memfokus pada rivalitas mediatika dengan tim-tim lawasan regional ini, terasa memberi perspektif yang memacu dari sisi mana pun: adu kecerdasan dan visi pelatih, kreativitas federasi untuk menggelar FIFA matchday, naturalisasi pemain, hingga mind-game yang saling dilancarkan dan diperkeruh oleh komentar netizens di berbagai platform media sosial.

Bagaimanapun, kehadiran coach STY sejak 2020 sangat memberi pengaruh bagi gairah pembangunan timnas, dengan segala pernik mediatikanya.

Pelatih asal Korea Selatan itu memang belum memberi bukti trofi dari sebuah turnamen, namun pada sisi lain STY menghadirkan konfidensi dari rekor-rekor, pergerakan peningkatan peringkat FIFA, kelolosan ke putaran final Asia di sejumlah kelompok usia, dan transformasi kultur disiplin yang kuat.

Dari catatan statistik, kiprah STY di luar gelar juara, memiliki progresivitas tersendiri, terutama ketika dibandingkan dengan dua pelatih yang memiliki catatan cukup mentereng saat mengarsiteki timnas, yakni Anton Pogacnic dan Alfred Riedle.

Cnnindonesia.com (18 Oktober 2023) mencatat, pelatih asal Yugoslvia Tony Pogacnic yang menukangi timnas pada 1954-1963, lalu kembali pada 1977, masih memegang rekor dengan 69 kali main, 36 menang, 7 imbang, dan 26 kali kalah.

Shin Tae-yong, dalam tiga tahun kepelatihannya pada 2020-2023 mencatat 39 kali main, 21 kali menang, 9 imbang, dan 9 kalah. Urutan ketiga Alfred Riedl asal Austria pada tiga periode kepelatihan, yakni 2010-2011, 2013-2014, dan 2016, dengan 36 kali main, 19 kali menang, 8 imbang, dan 9 kalah.

STY membutuhkan raihan trofi untuk memperkuat aspek “kegairahan” yang dia timbulkan. Juga bagaimana nanti hasil-hasil di Piala Asia dan Pra-Piala Dunia ketika Asnawi Mangkualam dkk menghadapi tim-tim kuat Asia seperti Irak dan Jepang.

Piala Dunia U17
Perhatian pecinta bola juga bakal terkonsentrasi ke Muhammad Iqbal Gwijangge cs sebagai tuan rumah Piala Dunia U17, November nanti. Tim asuhan Bima Sakti saat ini sedang membajakan diri di Jerman, dengan supervisor Frank Wormuth.

Seperti para seniornya, yakni Tim U19, U23, dan tim senior, “pasukan bocil” ini juga mendapat suntikan kekuatan pemain diaspora, yakni Welber Jardim yang berdarah Brazil, Chou Yun Damanik berdarah Pantai Gading, Amar Rayhan Brkic keturunan ibu Kebumen dari ayah berkewarganegaraan Jerman dan berdarah Bosnia.

Masih banyak potensi pemain diaspora yang ikut seleksi. Pada satu sisi, adalah hak talenta-talenta muda itu untuk memperkuat timnas Indonesia, walaupun pada sisi lain bisa mempengaruhi hak pemain-pemain yang murni dihasilkan dari akademi klub-klub Liga Indonesia.

Hanya, positifnya, untuk ajang sebesar Piala Dunia, mengonsolidasikan potensi kekuatan tentu merupakan pilihan terbaik. Kita tidak perlu alergi terhadap realitas ini. Apalagi para bocah berdarah Indonesia itu, baik secara hukum maupun psiko-sosial punya hak tak berbeda dari mereka yang telah terlebih dahulu dipanggil timnas.

Kini yang harus dijaga dan dirawat adalah tiupan kencang angin passion dalam “perlombaan” manajemen timnas di berbagai kelompok usia dengan tugas dan target masing-masing. Ketika STY menjadi “pusat”, yakinilah pelatih yang membawa Korea mengalahkan Jerman 2-0 di Piala Dunia 2018 ini pasti telah memetakan agenda-agenda untuk mengikis kelemahan sepak bola Indonesia yang telah diketahuinya, juga apa saja potensi yang harus dikelola sebagai faktor pembeda.

Dari sini ini, nikmati sajalah para pemain produk naturalisasi dan diaspora itu sebagai bunga-bunga yang memperindah “taman sepak bola Indonesia”. Suka atau tidak suka, bukankah program ini adalah juga “solusi”?

Saya merasakan keberkembangan “budaya STY” di tengah pembangunan timnas Indonesia. Andai kita mampu menyerap sisi-sisi positif yang tertransformasi, akan ada banyak manfaat yang bisa dipetik. Setidak-tidaknya dalam penguatan disiplin, tanggung jawab, sikap pantang menyerah, dan kesadaran merawat profesionalitas.

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah