blank
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan saat membuka pelatihan bagi petani kedelai di Wonosobo. Foto : SB/Muharno Zarka

WONOSOBO(SUARABARU.ID)-Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Vita Ervina mendorong petani kedelai dan umbi-umbian di Wonosobo terus diperdayakan. Karena jenis tanaman kedelai dan umbi-umbian ke depan sangat prospektif untuk mengangkat martabat dan kesejahteraan petani.

“Saat ini kebutuhan kedelai sangat tinggi. Sayangnya jumlah produksi yang ada tidak mencukupi permintaan bagi produsen tempe dan tahu. Akhirnya produsen makanan lokal tersebut harus menggunakan kedelai impor agar produksi tempe dan tahu tetap berjalan,” katanya.

Mbak Vita-demikian dia kerap disapa-mengatakan hal itu di sela-sela “Bimbingan Tehnis Peningkatan Produktifitas Tanaman Pangan Melalui Penggunaan Benih Unggul Bersertifikat dan Ramah Lingkungan” yang digelar anggota Komisi IV DPR RI dengan Dirjen Tanaman Pangan Kementerian Pertanian RI, di Hotel Surya Asia Wonosobo.

Hadir dalam kesempatan tersebut, Amiyarsi Mustika Yukti (Pengawas Benih Tanaman Balai Besar PPMBTPH Kementerian Pertanian RI), Suryono Budi Santoso (Kepala Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Jawa Tengah) dan Sidik Widagdo (Sekretaris Dinas Pangan, Pertanian dan Perikanan Wonosobo). Bertindak sebagai pemateri yakni Bowo praktisi penangkaran benih kedelai dari Purworejo.

Menurut Vita, petani kedelai saat ini mengalami penurunan jumlah produksi. Hal itu disebabkan luas lahan yang sempit, kesuburan tanah berkurang, irigasi tidak merata dan harga kedelai yang tidak stabil. Jumlah produksi kedelai yang rendah dan kebutuhan pasar yang tinggi sebetulnya memberikan peluang bagi petani untuk meningkatkan budi daya tananan tersebut.

“Saya sebetulnya miris. Jumlah pelaku usaha tempe dan tahu cukup banyak tapi persediaan bahan baku kedelai lokal minim. Akhirnya mereka menggunakan kedelai impor. Produsen tahu katanya lebih banyak menggunakan kedelai impor, hanya produsen tempe yang masih mempertahankan kedelai lokal,” sebut wakil rakyat dari Dapil Jateng VI (Wonosobo, Temanggung, Magelang dan Purworejo), itu.

Perlu Bimtek

blank
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Vita Ervina. Foto : SB/Muharno Zarka

Menjawab kondisi tersebut, dikatakan Vita, maka di sinilah pentingnya dilakukan pelatihan dan bimbingan tehnis bagi para petani kedelai dan umbi-umbian di Wonosobo. Melalui pelatihan tersebut diharapkan para petani setempat lebih paham bagaimana melakukan budi daya tanaman pangan yang baik dan benar untuk meningkatkan produktifitas.

“Di Wonosobo, selain tanaman kedelai, jenis tanaman umbi-umbian sebenarnya sangat cocok dikembangkan sebagai komoditas unggulan berbasis lokal. Seperti jagung, kacang tanah, kacang buncis/panjang, bawang putih merah/putih, kentang, kimpul dan ketela sebagai makanan alternatif,” ujarnya.

Dikatakan, ketersediaan tanaman pangan memang sangat dipengaruhi oleh fenomena perubahan iklim, menurunnya stok pangan dunia, rendahnya diversifikasi tanaman pangan, laju deforestasi lahan yang tidak terkendali, fluktuasi harga pangan, terbatasnya modal petani dan akselerasi program peningkatan produksi pangan yang belum memenuhi target.

“Masalah tanaman pangan ini menjadi pekerjaan rumah semua pihak. Tidak hanya petani dan pemerintah, tapi juga dunia usaha. Pola tanam, model pemupukan, kualitas benih dan kebijakan keberlanjutan program tanaman pangan sangat berpengaruh bagi maju mundurnya sektor pertanian. Namun, apapun situasinya, petani harus tetap diberdayakan,” pinta dia.

Sementara itu, pengawas benih tanaman Balai Besar PPMBTPH Kementan RI Amiyarsi Mustika Yukti menyebut sentra tanaman kedelai di Jawa Tengah ada di daerah Grobogan, Purworejo dan sebagian di wilayah Surakarta. Beberapa daerah di Wonosobo sebetulnya cukup baik untuk pengembangan tanaman kedelai dan tanaman umbi-umbian lainnya.

“Kita punya rencana pengembangan di 100 hektar tanaman kedelai di Wonosobo. Dalam satu hektar biasanya mampu menghasilkan 30 ton kedelai. Selain pengembangan tanaman, juga akan dilakukan budi daya penangkaran bibit kedelai lokal. Karena ternyata harga jual kedelai lebih rendah dari harga bibitnya,” tegas dia.

Muharno Zarka