Berkunjung ke tempat dingin di Bandungan, Kabupatren Semarang, misalnya, cocok untuk minum wedang ronde. Foto: Widiyartono R.

WEDANG ronde menjadi salah satu minuman klasik yang populer di berbagai wilayah di Indonesia. Minuman ini sangat pas untuk dinikmati saat suhu udara dingin. Meskipun telah lama menjadi favorit di kalangan masyarakat Indonesia, nampaknya masih sedikit yang akrab dengan asal-usul wedang ronde.

Hal yang sama berlaku untuk kenyataan bahwa ronde adalah hasil perpaduan antara budaya Tionghoa dan Jawa. Wedang ronde pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh komunitas Tionghoa.

Dipercaya bahwa ronde memiliki hubungan dengan dewa-dewa, karena dalam tradisi Tionghoa, minuman ini digunakan sebagai sesaji khusus untuk para dewa. Nama asli wedang ronde adalah tangyuan.

Sesaji tangyuan atau ronde, yang disiapkan oleh komunitas Tionghoa, terkait dengan musim hujan. Di dalam budaya Tionghoa, musim hujan seringkali dihubungkan dengan cuaca dingin yang panjang, yang dapat mengancam kehidupan. Oleh karena itu, tangyuan disajikan sebagai persembahan untuk mendapatkan perlindungan dan belas kasih dari dewa.

Ronde adalah hasil dari pencampuran tepung ketan dengan sedikit air, yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola kecil. Adonan ini merupakan komponen utama dalam minuman wedang.

Ronde disajikan dalam kuah khas yang terdiri dari jahe dicampur dengan gula Jawa, dan banyak yang mencampurnya dengan susu.

Bahan-bahan dalam ronde juga memiliki makna filosofis, seperti air jahe dan manisan jahe yang dikenal memiliki sifat yang mampu memberikan rasa hangat pada tubuh. Sementara tiga bola ronde yang berbeda, yaitu merah, hijau, dan putih, dengan isian gula Jawa, mewakili tiga rangkaian harapan kepada para dewa.

Warna merah melambangkan keberanian dalam menghadapi musim dingin, hijau melambangkan kebahagiaan, dan putih melambangkan kebersihan hati. Gula Jawa yang manis melambangkan hasil dari harapan. Filosofi baluran bola-bola ronde mencerminkan konsep keakraban yang disebut sebagai guyub dalam budaya Jawa.

Oleh karena itu, wedang ronde sering disajikan dalam perayaan Cap Go Meh, yang merupakan momen berkumpulnya semua anggota keluarga setelah perayaan tahun baru Imlek. Ini juga menjadi hidangan yang populer dalam festival Yuanxiao, yang dikenal sebagai festival lentera atau festival wedang ronde.

Kehadiran ronde di Indonesia bermula ketika bangsawan dari Tiongkok pertama kali tiba di Nusantara sekitar 400 tahun sebelum Masehi. Sejak saat itu, mereka mulai memperkenalkan budaya mereka, termasuk masakan khasnya, kepada penduduk pribumi. Ini mengakibatkan terjadinya proses alih budaya antara budaya Tionghoa dan Indonesia.

Intan Kusuma Wardani – Mg