blank

Oleh : Tri Hutomo

Permasalahan Tambak Intensif dan pelestarian lingkungan hidup  di Karimunjawa Jepara Jawa Tengah bukanlah sekedar permasalahan pelanggaran terhadap Perda RTRW,  namun  juga telah  melanggar peraturan – peraturan lain yang lebih tinggi.

Ada pelanggaran  Undang-Undang  Pariwisata, Undang-Undang  Lingkungan Hidup, Undang-Undang  Perikanan, maupun Undang-Undang  Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Juga sejumlah Pertaturan Pemerintah yang menyertainya. Apalagi Karimunjawa telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional.

Perlu diketahui Kawasan Strategis Pariwisata Nasional sesuai Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan.

Sesuai Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan Pasal 12 Penetapan Kawasan Strategis Pariwisata dilakukan dengan memperhatikan aspek, diantaranya sumber daya pariwisata alam dan budaya yang potensial menjadi daya tarik pariwisata, potensi pasar, lokasi strategis yang berperan menjaga persatuan bangsa dan keutuhan wilayah. Juga  perlindungan terhadap lokasi tertentu yang mempunyai peran strategis dalam menjaga fungsi dan daya dukung lingkungan hidup, lokasi strategis yang mempunyai peran dalam usaha pelestarian dan pemanfaatan aset budaya, kesiapan dan dukungan masyarakat dan kekhususan dari wilayah.

Sementara pasal 27 Undang-Undang RI Nomor 10 Tahun 2009 berisi sejumlah larangan yang harus ditaati. Pasal 27 menyatakan setiap orang dilarang merusak sebagian atau seluruh fisik daya tarik wisata. Merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud adalah melakukan perbuatan mengubah warna, mengubah bentuk, menghilangkan spesies tertentu, mencemarkan lingkungan, memindahkan, mengambil, menghancurkan, atau memusnahkan daya tarik wisata sehingga berakibat berkurang atau hilangnya keunikan, keindahan, dan nilai autentik suatu daya tarik wisata yang telah ditetapkan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.

Ketentuan Pidana

Ketentuan pidana atas pelanggaran di atas diatur dalam pasal 64, yang berbunyi “Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum merusak fisik daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milliar rupiah)” .

Dan Setiap orang yang karena kelalaiannya dan melawan hukum, merusak fisik, atau mengurangi nilai daya tarik wisata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Jika kita berkaca pada usaha tambak intensif  di Karimunjawa yang sejak Tahun 2016/2017 beroprasi, sementara Karimunjawa dalam proses ditetapkannya sebagai KSPN sudah melalui kajian panjang dengan segala potensi alamnya sebelum  tahun 1982 disetujui sebagai Taman Nasional dan Daerah, dengan Surat Gubernur Jateng No. 556/21378.

Kemudian sebelum diundangkannya UU Cipta Kerja 2020 usaha tambak harus memenuhi 21 jenis perizinan yang dipersyaratkan. Adapun beberapa izin dasar yang harus dipenuhi pengusaha tambak diantaranya izin gangguan (HO), izin mendirikan bangunan (IMB) dan SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), termasuk kajian lingkungan serta izin budidaya perikanan.

Setelah adanya UU Cipta Kerja 2020 perizinan disederhanakan menjadi 6 perizinan, dengan izin dasar yang harus dipenuhi adalah Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) Darat + KKPRL (Laut) bagi pelaku usaha yang memanfaatkan ruang laut, Persetujuan Lingkungan dan Persetuan Bangunan Gedung + SLF (sertikat Laik Fungsi).

Secara sederhana bisa disimpulkan, bahwa perizinan yang sudah disederhanakan dari 21 perizinan (sebelum UU Cipta Kerja 2020) menjadi 6 perizinan (setelah adanya UU Cipta Kerja 2020) saja tidak mereka penuhi, bagaimana bisa dikatakan ada itikad baik untuk mengurus perizinan.

Bahkan sejak 2018 sampai sekarang beberapa pernyataan komitmen bermatrei dalam dalam mengelola, memanfaatkan dan menjaga lingkungan sampai sekarang mereka abaikan, yang terbukti dalam pemenuhan kewajiban melengkapi IPAL masih tidak sesuai peraturan bahkan ada yang mengabaikan sama sekali.

Padahal itu berdampak kerusakan serius pada lingkungan darat maupun laut, yang notabene Karimunjawa adalah Kawasan Strategis Pariwisata Nasional yang harus dijaga kelestarian alamnya.

Hak Masyarakat

Disisi lain, masyarakat berhak untuk mendapatkan lingkungan yang kondusif, karena di negara Indonesia lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yg berbunyi : ‘’Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan’’.

Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat juga di tegaskan dalam UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) pasal 65 ayat (1) yang menyatakan bahwa : ‘’Setiap orang berhak atas lingkungan yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.’’

Namun demikian walaupun ada sejumlah regulasi yang dilanggar, sampai saat ini belum nampak ada tindakan hukum oleh para pemangku kepentingan yang harusnya menegakkan peraturan perundang-undangan yang ada. Bahkan ada kesan pembiaran dan saling lempar tanggungjawab hingga sepertinya memiliki  kekebalan hukum. Pertayaannya sampai kapan akan dapat bertahan ? Jawabnya ada pada konsistensi para pemangku kepentingan dalam menjaga marwah yang diberikan oleh Negara.