Oleh : Hadi Priyanto

“Throw in the Towel”, melempar handuk sering kali digunakan untuk menggambarkan sikap menyerah dan mengakui kekalahan dalam sebuah pertandingan. Kata melempar handuk ini diambil dari kosa kata dunia olahraga tinju, dimana seorang petinju dinyatakan Technical Knock Out (TKO) oleh wasit.

Namun kosa kata ini kemudian digunakan juga untuk menggambarkan sikap menyerah dan kalah dalam sebuah perlombaan dan bahkan perjuangan melawan ketidakadilan baik oleh pemilik modal maupun penguasa.

Sikap itu pula yang tidak boleh dipilih oleh para aktivis lingkungan, sebab pembangunan yang berkelanjutan menjadi konsep yang dipilih oleh bangsa-bangsa di dunia, termasuk di Indonesia.

Karena itu aktivis lingkungan di Karimunjawa, Jepara tidak boleh memilih sikap itu walaupun yang dihadapi adalah pemilik modal yang kuat, yang bisa merubah sudut pandang dan bahkan persepsi bahwa kegiatan yang dilakukan semata – mata untuk mensejahterakan masyarakat melalui investasi di bidang budidaya perikanan. Hingga saat mereka memulai usahanya tahun 2020, justru disiapkan karpet merah oleh penguasa. Mereka boleh beroperasi walaupun tidak ada selembar surat ijin tambak yang legal.

Kampanye terhadap kesadaran lingkungan hidup harus terus dikumandangkan hingga bisa menjadi gerakan bersama yang memberdayakan masyarakat.

Lakukan komunikasi yang lebih instens dengan pemerintah di semua tingkatan untuk membangun komitmen bersama terhadap pentingnya pelestarian lingkungan hidup. Juga membangun jaringan nasional dan internasional, sebab isu lingkungan hidup adalah persoalan dunia.

Menurut penulis para aktivis lingkungan Karimunjawa dan bahkan Jepara baru saja terbangun dari tidurnya yang panjang. Mereka baru menyadari bahwa ada ancaman serius terhadap kelestarian sumber daya alam saat adanya tambak udang intensif akhir tahun 2019 lalu.

Padahal senyatanya, ancaman itu telah lama ada mulai dari kerusakan terumbu karang akibat akibat tertabrak kapal, eksploitasi bukit dan kawasan pesisir hingga pengembangan dan pemanfaatan untuk pariwisata yang terkesan berlebihan dan serampangan. Karimunjawa semakin terluka walaupun puluhan undang-undang maupun regulasi telah tersedia.

Peribahasa lama “lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali” bisa jadi tepat untuk menggambarkan kesadaran gerakan aktivis lingkungan di Karimunjawa. Namun betapapun, walau ibarat menegakkan benang basah, gerakan untuk menumbuhkan kesadaran terhadap pelestarian lingkungan hidup harus terus digemakan hingga menjadi sebuah gerakan bersama. Tidak mudah dan tidak sederhana memang.

Pemerintah yang seharusnya menjadi derijen orkestra pelestarian lingkungan hidup juga masih sering menampakkan sikap abai dan menunjukkan ego sektoral yang tinggi serta tidak padu dan terkesan saling menunggu. Potret itu nampak pada kasus tambak udang yang tak kunjung terselesaikan.

Secara sederhana konsep pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup masa sekarang secara adil dan merata dengan mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan hidup generasi mendatang. Karena itu salah satunya kita kenal pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan.

Karena itu prinsip utama pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dapat dimaknai sebagai upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya kedalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan kualitas hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Karena itu sejak tanggal 28 Oktober 2020 UNESCO menetapkan Kawasan Karimunjawa- Jepara- Muria dengan luas daratan 1.236.083,97 ha sebagai cagar biosfer. Tujuannya melindungi keanekaragaman hayati yang ada didalamnya untuk kehidupan umat manusia.

Jauh sebelum ditetapkan oleh UNESCO sebagai Cagar Biosfer, Karimunjawa telah ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dan Perkebunan melalui Surat Keputusan No. 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999 sebagai Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) dengan luasan kawasan adalah 111.625 hektar. Sebelum itu, telah ditetapkan sebagai Cagar Alam Karimunjawa

Eksistensi Karimunjawa juga diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) Tahun 2010-2025 yang menegaskan Karimunjawa-Semarang dan sekitarnya sebagai “Eco Island Resort of Karimunjawa” dan telah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Karimunjawa.

Lalu mengapa Karimunjawa dibiarkan terus semakin terluka ? Mungkinkah kita harus bertanya pada rumput yang bergoyang ? Atau menunggu alam menunjukkan murkanya pada kita!

Penulis adalah pegiat budaya dan Wartawan SUARABARU.ID Wilayah Kabupaten Jepara