Pisowanan ke Kudus
Kematian Raden Mukmin benar-benar membuat Kasultanan Demak berada di ambang kehancuran. Intrik-intrik di dalam keraton, serta pasukan yang terpecah membuat keamanan di Kutaraja Demak tidak terjamin.
Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin datang ke Kudus tanpa pengawalan. Mereka hanya menunggang kuda dari Jepara. Seperti halnya Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin juga termasuk murid dari Sunan Kudus. Pisowanan seperti ini sering dilakukan oleh Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin untuk meminta nasehat-nasehat, baik dalam hal agama maupun pemerintahan. Karena Sunan Kudus juga termasuk Penasehat Agung Kerajaan Demak.
Dengan maksud meminta keterangan dan petunjuk atas kematian Raden Mukmin, sesampainya di Kudus Ratu Kalinyamat disambut oleh para santri dan diantar ke dalam ruangan khusus tamu. Sebelum masuk ke pintu gerbang, selintas Ratu Kalinyamat melihat kuda milik Arya Penangsang ditambatkan di bawah pohon. Kuda hitam besar yang selalu dibawa bertempur tersebut bernama Gagak Rimang.
“Assalamualaikum Bapa Kanjeng Sunan Kudus…” ucap Pangeran Hadlirin sambil menebar pandangan di sekeliling ruangan, terlihat Arya Penangsang telah duduk di sebelah pintu masuk ruangan bersama Patih Matahun. Seorang Patih yang sangat setia kepada Pangeran Sekar ayah Arya Penangsang.
“Wa’alaikum salam anaku Ratna Kencana dan Raden Thoyib, silahkan duduk…” jawab Sunan Kudus. Setelah mencium tangan Sunan Kudus, Pangeran Hadlirin dan Ratu Kalinyamat segera duduk di kursi yang telah disediakan.
“Perkenankan hamba beserta suami sowan ke ndalem Bapa Sunan Kudus, ada sesuatu hal yang ingin kami sampaikan Bapa Sunan…” lanjut Ratu Kalinyamat membuka pembicaraan.
Sambil menatap tajam ke Arya Penangsang, Ratu Kalinyamat melanjutkan…
“Tentunya Bapa Sunan Kudus sudah mendengar kabar bahwa Kakanda Raden Mukmin dan istrinya telah dibunuh…”
“Dibunuh dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober milik Bapa Sunan Kudus…”
Mendengar pernyataan Ratu Kalinyamat yang menohok tersebut, Sunan Kudus menghela nafas panjang, dan langsung memotong pembicaraan.
“Anaku Ratu Ratna Kencana, kematian Raden Mukmin adalah sebuah kecelakaan, pahamilah itu sudah menjadi taqdir dari Allah SWT bahwa Raden Mukmin akan mati dengan cara terbunuh”, kata Sunan Kudus.
“Apakah kamu lupa, bahwa Raden Mukmin juga yang telah membunuh Pangeran Sekar ayah Arya Penangsang. Padahal pada waktu itu Pangeran Sekar telah menemuiku. Untuk urusan penerus takhta Kerajaan Demak diserahkan sepenuhnya oleh keputusan Dewan Walisongo. Meskipun sebagai seorang kakak, Pangeran Sekar menyadari bahwa dirinya anak dari garwo selir Raden Patah”, lanjut Sunan Kudus.
“Dia sebenarnya lebih mendukung Sultan Trenggana untuk meneruskan takhta Pangeran Sabrang Lor. Namun entah mengapa Raden Mukmin mempunyai pikiran bahwa Pangeran Sekar akan menjadi penghalang naiknya Sultan Trenggana menjadi Raja Demak. Malah memerintahkan Jangkungilo untuk membunuh Pangeran Sekar. Mungkin itu adalah karma yang harus diterima”, ungkap Sunan Kudus menyesalkan apa yang terjadi.
“Tapi Bapa Kanjeng Sunan !!!!.” sergah Ratu Kalinyamat memotong pembicaraan Sunan Kudus. Pangeran Hadlirin langsung menggenggam tangan Ratu Kalinyamat untuk tidak melanjutkan kata-katanya. Sebagai seorang murid Pangeran Hadlirin hanya menyimak dawuh dari Sunan Kudus, tanpa ada bantahan.
“Ketahuilah anaku Ratna Kencana, awal perpecahan dari keturunan Raden Patah di mulai ketika ayah Arya Penangsang dibunuh !!!!” lanjut Sunan Kudus.
Hasil pisowanan yang dilakukan oleh Ratu Kalinyamat beserta Pangeran Hadlirin ke Sunan Kudus tidak mampu mendinginkan suasana hati Ratu Kalinyamat. Hal itu mampu dirasakan oleh Pangeran Hadlirin. Keterangan serta penjelasan Sunan Kudus bahwa semua itu sudah taqdir belum bisa diterima Ratu Kalinyamat. Karena jawaban atas keberadaan keris Setan Kober milik Sunan Kudus tidak terjawab sama sekali.
“Sudahlah Nyai, kita kembali ke Jepara. Tidak perlu menjadi dendam diantara trah Demak…” Pangeran Hadlirin mencoba membujuk dan menenangkan hati istrinya. Akhirnya Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin berpamitan untuk kembali ke Jepara.
Dalam perjalanan pulang menuju Jepara Pangeran Hadlirin mengingatkan kepada Ratu Kalinyamat dan berkata,
“Jikalau Arya Penangsang yang akan menduduki takhta Kerajaan Demak tidaklah mengapa, karena memang dia satu-satunya pewaris Raden Patah yang berhak. Meskipun dirimu juga termasuk pewaris takhta namun secara syari’at Islam selama ada pemimpin dari laki-laki itulah yang lebih berhak. Sedangkan Pangeran Timur belum cukup umur untuk meneruskan roda pemerintahan…” ucap Pangeran Hadlirin dengan suara yang sangat lembut kepada Ratu Kalinyamat.
“Aku tidak pernah mempermasalahkan siapa yang akan meneruskan takhta Demak Kang Mas, baik itu oleh Arya Penangsang atau siapapun. Namun aku hanya ingin minta keadilan dan keterus terangan dari Bapa Kanjeng Sunan Kudus siapa sebenarnya dalang dibalik terbunuhnya Raden Mukmin dengan menggunakan keris beliau…” tambah Ratu Kalinyamat dengan mata nyalang dan wajah gundah tidak bisa menyembunyikan kemarahannya.
“Padahal, menurut saksi mata Pangeran Arya Pangiri sendiri, bahwa ayahnya, Raden Mukmin sudah mengakui perbuatannya dalam keterlibatannya membunuh Pangeran Sekar. Tapi mengapa Kakanda Raden Mukmin tetap saja dibunuh, bahkan beserta istrinya…”
“Perbuatan biadab…!!!” Desis Ratu Kalinyamat.
Mendengar istrinya mengumpat, Pangeran Hadlirin mengucap istighfar sambil mengajak istirahat sejenak untuk sembahyang dhuhur. “Sudah masuk waktu dhuhur Nyai, mari kita istirahat sebentar dan sembahyang”
“Tenangkan hatimu, mohon ampunan kepada Allah istighfar…”
“Yang kamu hadapi adalah sepupumu sendiri, keluargamu sendiri, tidak baik kita mendendam apalagi dengan saudara sendiri…” Pangeran Hadlirin berusaha meredam emosi Ratu Kalinyamat.
Dalam perjalanan pulang menuju Jepara, sebenarnya Ratu Kalinyamat dan Pangeran Hadlirin telah dibuntuti. Bahkan setelah keluar dari kediaman Sunan Kudus. Pangeran Hadlirin sudah tau kalau dia dan istrinya dibuntuti musuh. Namun karena kesabaran hatinya, dia serahkan semua hidup dan mati hanya kepada Allah. Selesai sembahyang dhuhur Ratu Kalinyamat bergegas menuju kuda yang sedang ditambatkannya. Namun tidak terlihat Pangeran Hadlirin, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan beberapa orang yang sudah mengepung Pangeran Hadlirin. Ratu Kalinyamat bergegas menuju asal suara tersebut.
“Bunuh dia…!!!!” Teriak salah seorang di antara mereka.
Dengan jumlah lebih dari sepuluh orang, mereka mengepung Pangeran Hadlirin dari segala arah. Serangan keris, tombak, dan kapak menuju kearah Pangeran Hadlirin. Namun Pangeran Hadlirin dengan sigap menghindar sambil teriak…
“Siapa kalian…!!!”
“Ambillah semua harta yang kami bawa beserta kuda. Biarkan kami pergi, tidak tahukah kalian, siapa yang sedang kalian hadang…!!!” teriak Pangeran Hadlirin.
“Ha..ha…ha…ha… Tidak usah ajari kami Sultan Jepara…” salah satu dari pengepung tadi mengejek sambil tertawa.
“Demak sudah hancur, pasukan kocar-kacir keraton Kalinyamatan telah dilumpuhkan, tidak ada yang bisa kalian andalkan sekarang…” tambah pengepung tersebut.
Tiba-tiba meluncur anak panah dengan sangat deras dari salah satu pohon randu. Tepat mengenai jantung Pangeran Hadlirin. Ratu Kalinyamat berlari sambil melompat dan menendang salah satu pengepung tersebut. Dengan mengeluarkan keris Kyai Tegalsambi, Ratu Kalinyamat mengayunkan kerisnya kearah pengepung tersebut.
Sekali ayun lima pengepung terkapar. Melihat temannya tewas, para pengepung yang lain seketika berhamburan keluar dari tempat persembunyiannya masing-masing. Ratu Kalinyamat dikepung dari segala arah. Dengan ilmu olah kanuragan tinggi, Ratu Kalinyamat seorang diri menghadapi para pengepung tersebut.
Pertarungan dengan jumlah yang tidak seimbang itu membuat Ratu Kalinyamat terdesak. Tusukan keris, bacokan golok, dan tikaman tombak beberapa kali mengoyak tubuh Ratu Kalinyamat, darah mengucur dari beberapa luka. Ratu Kalinyamat mengamuk sejadi-jadinya. Tidak dipedulikannya luka pada tubuhnya. Tusukan keris Kyai Tegalsambi kembali memakan korban, puluhan pasukan pengepung dibuat tak berdaya. (ua)
Bersambung