JEPARA (SUARABARU.ID) – Puncak kemeriahan Pekan Syawalan digelar dalam prosesi Lomban Jepara Sabtu (29/4/2023) pagi hingga siang. Acara berakhir di Pantai Kartini Jepara dengan acara Festival Kupat Lepet yang di gagas oleh Bupati Jepara tahun 2007, Hendro Martojo bersama para seniman, diantaranya Solikul Huda. Baik pelarungan maupun festival kupat lepet adalah wujud syukur nelayan dan warga Jepara.
Pesta lomban dibuka dengan suguhan rebana, dan ada tari Sernemi di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Ujungbatu. Sebuah tarian tradisional khas masyarakat nelayan. Selain busana, properti yang digunakan para penari pun identik ala pesisiran seperti kepis maupun dayung. Kemudian dilanjutkan prosesi larungan kepala kerbau ke laut.
Kepala kerbau yang akan dilarung tersebut, tertata rapi dengan”ubo rampe” sesaji yang jumlahnya sekitar 25 jenis. Pernataan dilakukan oleh H. Suwarno perlengkapan adat lain dalam wadah berbentuk miniatur kapal yang dibuat oleh Agus Mardiko. Ini sebagai simbol syukur dan doa. Berbagai ritual pun terangkai saat itu, di antaranya lantunan ayat suci Al-Qur’an sampai panjatan doa dari pemuka agama setempat.
Setelah seremoni rampung, miniatur kapal diarak dengan iringan penari Sernemi menuju kapal utama pengangkut larungan. Lalu, bertolak bersama-sama dari dermaga TPI Ujungbatu menuju laut sebelah selatan Pulau Panjang Jepara.
Pada puncak lomban, sesaat usai dilarung, ratusan perahu nelayan seketika merapat ke sekitar area pelarungan. Para nelayan berlomba mendapatkan aneka perlengkapan adat dalam miniatur kapal. Sebagian lain ada yang menimba air dari sekitar lokasi untuk membasuh perahu hingga peranti melaut.
Dalam suka cita, jajaran pemerintah beserta masyarakat nelayan membawa miniatur kapal tersebut titik pelarungan, 1,5 mil barat daya piulau Panjang. Sedekah laut itu menjadi prosesi ruwatan atau penolak bala. Sebuah tradisi yang bermakna permohonan agar dapat mendatangkan hasil laut yang melimpah, serta keselamatan ketika melaut.
Penjabat Bupati Edy Supriyanta menjelaskan sejarah tradisi larungan. Konon ritual ini bermula dari kisah penyelamatan dua pejabat kadipaten Jepara yang berlayar ke Karimunjawa pada tahun 1855. “Perahu mereka terombang-ambing karena badai,” ujarnya.
Beruntung, lanjut Edy, Ki Ronggo Mulyo dan Cik Lanang mengetahui peristiwa tersebut dan keduanya segera memberikan pertolongan. Dari peristiwa itu kemudian diselenggarakan syukuran dengan melarung sesajen ke laut. “kedepansaya usulkan kepada masyarakat Ujungbatu untuk melakukan kegiatan Haul di Makam Mbah Ronggo,” ujarnya saat menutup sambutan pelepasan sesaji.
Larungan tersebut kemudian menjadi sebuah acara tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dengan nama Lomban. “Mohon dipertahankan. Lomban ini semoga menjadi tradisi yang lestari,” tuturnya.
Pada puncak lomban, sesaat usai dilarung, ratusan perahu nelayan seketika merapat ke sekitar area pelarungan. Para nelayan berlomba mendapatkan aneka perlengkapan adat dalam miniatur kapal. Sebagian lain ada yang menimba air dari sekitar lokasi untuk membasuh perahu hingga piranti melaut.
Dengan tradisi ini, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Cabang Jepara, Sudiyatno, berharap para nelayan dianugerahi hasil laut yang melimpah. Termasuk senantiasa diberikan keselamatan saat beraktivitas di laut
Hadepe – kmf