blank
Drs. Pudjo Rahayu Risan, Pengamat Kebijakan Publik dari Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang. Foto: Dok/Pudjo R

Dampak yang lain, menguatnya oligarki dan nepotisme di internal partai politik. Disinilah perlunya kedewasaan berpolitik yang di-inisiasi partai politik yang bersangkutan sekaligus sebagai pendidikan politik bagi anggota dan kadernya. Untuk itu, jangan ada nepotisme, walau ini sulit dihindari.

Siatem Pemilu proporsional terbuka, berpeluang adanya potensi politik uang di internal partai dalam bentuk jual-beli nomor urut. Sistem ini juga berpeluang hanya orang-orang dekat dengan elite pengurus yang dimungkinkan memperoleh nomor kecil. Dalam orde baru yang menggunakan sistem proporsional tertutup, dengan istilah nomor ‘kopiah’ atau nomor ‘sepatu’ yang menggambarkan nomor jadi dan nomor penggembira. Karena yang dipilih gambar parpolnya bukan dan tidak ada gambar calonnya,

Fenomena inilah menjadikan kurangnya kedekatan calon wakil rakyat dengan pemilih calon wakil rakyat kurang aspiratif. Pendidikan politik berkurang bagi masyarakat. Kelebihan sistem Pemilu proporsional terbuka berpeluang calon lebih dekat pemilih. Mengurangi nepotisme serta meningkatkan sistem perwakilan di DPR.

Kekurangan sistem Pemilu proporsional terbuka ditengarai berpeluang meningkatnya ongkos politik dan korupsi-kolusi secara sistematis. Fenomena inilah yang kapasitas calon dibawah standar kualifikasi pencalonan sebagai anggota parlemen. Hal ini berpeluang kurangnya peran dan gagasan partai politik.

Fungsi partai politik.

Persoalan partai politik yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya secara maksimal fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Kualitas Parpol dewasa ini yang salah satu ketika polemik digunakannya sistem proporsional terbuka atau tertutup. Seandainya fungsi Parpol sudah ideal, tidak ada masalah ketika ada pilihan antara tertutup dan terbuka. Maka dari itu, PDIP satu-satunya Parpol yang memberi pernyataan tidak masalah ketika menggunakan sistem terbuka atau tertutup.

Idealnya, fungsi partai politik terhadap negara dengan berkontribusi, antara lain menciptakan pemerintahan yang efektif dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat, serta memberikan perlindungan dan rasa aman.

Fenomena rata-rata Parpol pada saat ini belum sepenuhnya memberikan pendidikan politik dan melakukan pengkaderan serta rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan kader-kader pemimpin yang memiliki kemampuan di bidang politik.

Tidak salah apabila bermunculan politisi yang pragmatis. Maka pilihan yang paling menarik adalah dengan sistem Pemilu proporsional berbasis suara terbanyak. Gejala ini sepertinya bisa bermakna dibajak oleh Caleg pragmatis yang hanya bermodal popular dan menjual diri tanpa ada ikatan ideologis dan struktur partai politik, dan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi partai politik atau organisasi berbasis sosial politik.

Hal ini bisa berdampak saat terpilih menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah bukan mewakili organisasi partai politik, namun mewakili diri sendiri. Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen, setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi, dan pembinaan ideologi partai.

Pengalaman empirik, telah menimbulkan individualistik para politisi, yang berakibat pada konflik internal dan kanibalisme di internal partai politik yang bersangkutan. “Menjatuhkan” teman se-partai sangat terbuka sebab, proporsional terbuka ini dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas dengan menempatkan kemenangan individual dalam memperoleh suara terbanyak dalam Pemilu.

Walau rivalitas terjadi antarpartai politik di arena Pemilu, bisa jadi “perang” orang perorang. Hal ini jelas tidak sesuai dengan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945. Dimana peserta Pemilu adalah partai politik, bukan individu.

Drs. Pudjo Rahayu Risan, Pengamat Kebijakan Publik dari Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) Semarang.