blank
Kegiatan Bincang Energi Surya. Foto: Dok/IESR

JAKARTA (SUARABARU.ID) – Dukungan yang jelas dan serius dari pemerintah terhadap pengembangan energi surya perlu ditunjukkan, terutama dalam mencapai target Net Zero Emission (NZE) pada 2060, atau lebih cepat dan target bauran energi terbarukan pada Just Energy Transition Partnership (JETP) sebesar 34% pada 2030.

“Diskusi JETP sejauh ini masih berfokus pada pensiun dini PLTU saja, belum terlihat elemen akselerasi energi terbarukannya. Hal ini perlu menjadi catatan, khususnya untuk mengakselerasi pengembangan energi surya yang diproyeksikan menjadi salah satu tulang punggung pembangkitan listrik dalam pencapaian NZE, mengingat potensinya yang besar di Indonesia, keekonomiannya yang semakin kompetitif dan konstruksinya yang relatif singkat,” ujar Daniel Kurniawan, Peneliti, Spesialis Teknologi Fotovoltaik dan Material, Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam acara Bincang Energi Surya “Teknologi, Kebijakan dan Tantangan Energi Surya dalam Mendukung Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Net Zero Emission (NZE) pada Kamis (9/3/2023).

Menurutnya, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi pemerintah untuk melibatkan partisipasi masyarakat dengan mengejar berbagai target tersebut dengan kebijakan yang mendukung akselerasi energi surya dan pemanfaatan PLTS atap baik skala komersial & industri maupun residential.

Ia menyayangkan ketika public hearing yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait revisi Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021, pemerintah justru ingin meniadakan skema net metering untuk sektor residensial, yang akan menurunkan keekonomian dan ketertarikan pelanggan untuk memasang PLTS atap.

“Pemerintah seharusnya tidak menghapus dukungan kebijakan untuk masyarakat dalam mengadopsi PLTS atap, khususnya untuk sektor rumah tangga dan sektor usaha kecil, di tahap adopsi yang masih sangat awal ini. Sebaliknya, dukungan kebijakan harus ditingkatkan untuk mendorong adopsi hingga ke tahap pasar yang matang,” tegasnya.

Pada kesempatan itu, Widya Adi Nugroho, Sub Koordinator Pengawasan Usaha Aneka Energi Baru Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, Indonesia memiliki target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Namun hingga 2022 baru mencapai sekitar 12,3%.

Ia mengatakan, pemanfaatan pembangkit listrik energi baru terbarukan diutamakan sesuai perencanaan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

“Berdasarkan RUPTL 2021-2030, energi surya akan bertambah 4,6 GW di 2030. Surya akan menjadi tulang punggung ketenagalistrikan Indonesia mencapai 461 GW pada 2060. Selain itu, tren harga PLTS semakin turun dan kompetitif. Begitu juga komponen pendukungnya seperti baterai sehingga peluang pengembangannya semakin terbuka,” ungkap Widya.

Namun demikian, terdapat tantangan pengembangan PLTS, salah satunya ruangan pembangkitan listrik masih penuh sehingga memerlukan partisipasi masyarakat sebagai konsumen dan produsen untuk memanfaatkan energi terbarukan, melalui energi surya. Selain itu, kondisi intermitensi yang perlu dijaga oleh sistem, baik itu dengan pembangkit cadangan yang bisa mengkompensasi PLTS serta juga berkaitan dengan tingkat komponen dalam negeri (TKDN).