blank
Fotro bersama Wali Kota Magelang Muchamad Nur Azis bersama Penjabat Wali Kota Singkawang Sumastro dan kepala OPD setempat, (Doddy Ardjono)

MAGELANG (SUARABARU.ID)- Singkawang sudah didesain sejak dulu oleh nenek moyang hidup rukun berdampingan. Sebagai representasi kerukunan ini, bangunan tempat ibadah ketiga agama terbesar ini saling berdekatan.

‘’Peringatan hari besar ketiga agama selalu diperingati dan saling mendukung. Saat ini sedang perayaan Imlek, maka kota dihias dengan pernak-pernik Imlek. Begitu pula saat Hari Idul Fitri dan Natal akan dihias dengan nuansa berbeda,’’ terang Penjabat Wali Kota Singkawang, Sumastro, saat menerima kunjungan Wali Kota Magelang Muchamad Nur Azis dan rombongan, 30 Januari 2023.

Terkait upaya meraih predikat tertoleran, Sumastro mengaku, hal itu bertolak dari substansi berupa hidup rukun berdampingan dengan beragam etnis. Potensi konflik sekecil apapun dicegah sedemikian rupa, sehingga hampir tidak pernah terjadi gesekan yang memecah belah.

‘’Kita juga membuat Perwalkot No 129/2021 tentang Penyelenggaraan Toleransi Masyarakat. Aturan ini yang menjaga betul rasa harmonis ini. Dari sisi anggaran barangkali memang tidak besar, tapi kita tanamkan betul sikap toleransi ini di semua elemen masyarakat,’’ ungkapnya.

Kota Singkawang terdiri atas 5 kecamatan dengan penduduk 239 ribu jiwa. Kota yang bertagline ‘Singkawang Hebat’ ini memiliki 7 agama dan 17 etnis yang hidup rukun saling berdampingan. Ketujuh agama ini adalah Islam, Buddha, Katolik, Kristen, Konghuchu, Hindu dan aliran kepercayaan.

blank
Rumah Marga Tjhia, salah satu bangunan cagar budaya di Kota Singkawang. (Doddy Ardjono)

Penjabat Wali Kota Singkawang Sumastro mengatakan, ada tiga suku yang mayoritas menghuni kota tersebut. Yakni, dari suku Tionghoa, Dayak dan Melayu.

Dia menjelaskan, meskipun terdapat tujuh agama, namun masyarakatnya selalu hidup rukun.

Hal itu dibuktikan dengan bangunan Vihara Tri Dharma Bumi Raya yang posisinya berdampingan dengan Masjid Agung Raya, dan tidak jauh juga ada Gereja Katholik.

Adanya toleransi beragama yang baik, lanjut Sumastro, membuat masyarakat Singkawang memiliki spirit moral kehidupan yang tinggi.

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Singkawang, Baharudin menambahkan, sejak dinobatkan Kota Singkawang sebagai kota paling toleran dari Setara Institut, Kota Singkawang sering menjadi rujukan daerah lainnya .

‘’Sekitar 97 pemerintah daerah dan FKUB di Indonesia sudah melakukan kunjungan untuk studi banding,’’ katanya.

Bustomi warga asli Borobudur, Kabupaten Magelang, yang sudah 30 tahun lebih bermukim di Singkawang menceritakan, hubungan antaretnis sangat baik. Kegiatan gotong royong seperti kerja bakti semua ikut.

Kalau di daerah lain khususnya di Jawa, jarang ada etnis Tionghoa yang mata pencahariannya menjadi buruh tani mencangkul tanah orang dan menerima upah harian, di Singkawang banyak. Juga tidak sedikit yang bekerja serabutan untuk menghidupi keluarganya.

‘’Saya mencangkul sawah bersama-sama buruh tani etnis tionghoa. Hubungan kita sangat akrab, saling menghargai dan menghormati. Etnis lainnya juga ada yang bekerjanya buruh tani dan serabutan,’’ tutur Bustomi.

blank
Salah satu klengteng besar di Singkawang dihiasi pernak-pernik Imlek. (Doddy Ardjono)

Mengenai kawin antaretnis, Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Singkawang, Baharudin mengatakan, banyak terjadi menikah antarsuku.

Dengan bergurau dia menerangkan, jika ada anggota rombongan dari Magelang yang ingin menikah dengan amoy (etnis Tionghoa) Singkawang, dia sanggup mencarikan dan pasti dapat.

Kondisi Kota Magelang tidak jauh berbeda dengan Kota Singkawang. Tempat ibadah yakni masjid, gereja dan klenteng berdekatan di seputar alun-alun.

Kehidupan masyarakatnya juga rukun, saling membantu dan menjunjung tinggi gotong royong. Tugas kita sebagai warga adalah merawat kebhinekaan menjadi kekuatan untuk membangun Kota Magelang, sekaligus meningkatkan kesejahteraan warganya.

Doddy Ardjono