Oleh: Ulil Abshor
JEPARA (SUARABARU.ID)- Dalam kultur masyarakat Jepara, perempuan mempunyai peran yang sangat penting dalam kehidupan, khususnya dalam urusan dagang. Perempuan Jepara bukan hanya sebagai konco wingking atau sebagai “tulang rusuk” laki-laki. Namun lebih dari itu. Perempuan Jepara adalah tipikal perempuan tangguh dalam segala urusan. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, khusunya Jepara, perempuan Jepara mewarisi karakter tiga sosok perempuan yang diyakini sebagai “danyang” nya bumi Jepara. Tiga tokoh perempuan itu adalah Ratu Shima, Ratu Kalinyamat dan RA. Kartini.
Ratu Shima dikenal sebagai seorang Ratu yang sangat adil dalam memimpin sebuah kerajaan yang bernama Kalingga. Menurut catatan Dinasti Tang kerajaan Kalingga berdiri pada tahun 618-906 Masehi, dan diyakini berada di wilayah Kabupaten Jepara. Ratu Shima menerapkan hukuman yang sama kepada seluruh penduduk Kalingga, tidak terkecuali keluarga kerajaan. Cerita yang paling masyhur adalah saat Ratu Shima menerapkan hukuman potong tangan kepada salah satu anggota keluarganya, karena diketahui telah melanggar aturan kerajaan.
Lima abad kemudian, lahir perempuan Jepara yang tak kalah hebat bernama Ratu Kalinyamat. Diego de Couto, seorang musafir Portugis mengabadikan Jepara dalam bukunya yang berjudul De Asia. Buku tersebut ditulis pada tahun 1539-1563 Masehi. Dia mencatat bahwa pada saat Jepara melakukan pertempuran melawan Portugis di Malaka, ada seorang penguasa perempuan bernama Ratu Kalinyamat. Dalam bukunya, Diego de Couto menyebut Ratu Kalinyamat dengan sebutan Rainha da Japara, senhora paderosa rica, (Ratu Jepara seorang wanita kaya dan berkuasa).
Pada tahun 1551 Masehi, pasca runtuhnya kerajaan Demak Ratu Kalinyamat membawa Jepara pada puncak kejayaan yang salah satunya mengembangkan pelabuhan Jepara hingga menjadi salah satu pelabuhan yang terkenal dan terbesar, selain memiliki galangan kapal terbaik di Asia Tenggara. (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, 1985).
Selain mengembangkan pelabuhan Jepara, Ratu Kalinyamat juga mengembangkan seni ukir Jepara yang kelak akan menjadi sumber ekonomi masyarakat Jepara selama berabad-abad. Artefak kuno berupa ukiran relief yang tertempel di Masjid Mantingan, Jepara, menjadi salah satu bukti yang tidak terbantahkan, bahwa Jepara merupakan salah satu pusat dari peradaban kuno di Nusantara. Hiasan ukiran yang menempel di dinding masjid Mantingan diduga kuat berasal dari Abad ke 16 Masehi saat Ratu Kalinyamat memegang tampuk kekuasaan di wilayah Jepara.
Sosok perempuan lain yang tidak bisa dipisahkan dari Jepara adalah RA. Kartini. Tokoh pahlawan perempuan Jepara yang lahir di abad modern. Dalam kumpulan catatannya, “Kartini, Door duisternis”, Kartini sering bercerita mengenai seni ukir di Jepara. Ia menceritakan tentang kunjungannya ke tempat permakaman Mantingan. la diberitahu bahwa “Sultan Mantingan” pernah pergi ke Cina, dan bahwa ukir-ukiran dalam rumah-rumahan di situ agaknya juga berasal dari Cina (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, 1985 : 120).
Hampir lima abad silam, seni ukir di Jepara masih bertahan hingga saat ini dan menjadi salah satu produk unggulan masyarakat Jepara dalam sektor ekonomi. Bahkan seni ukir Jepara diajukan Pemerintah Kabupaten Jepara sebagai warisan budaya tak benda (WBTB).
Asal-usul seni ukir di Jepara juga sering dikaitkan dengan seorang tokoh yang bernama Sungging Badar Duwung atau (Tjie Hwio Gwan). Seseorang yang berasal dari Cina, dan merupakan ayah angkat Sultan Hadlirin, suami Ratu Kalinyamat. Patih Sungging Badar Duwung mempunyai keahlian mengukir, dan ukiran yang tertempel di Masjid Mantingan merupakan hasil karya dari Sungging Badar Duwung yang masih dapat kita jumpai hingga saat ini.
Tangguhnya perempuan Jepara
Pekerjaan mengukir di Jepara bukan hanya didominasi oleh kaum laki-laki. Para perempuan di Jepara juga sangat ahli dalam mengolah kayu hingga menjadi sebuah karya ukir yang sangat indah. Meskipun peralatan mengukir berupa ganden (palu yang terbuat dari kayu seberat 1kg) dan tatah (berupa pisau yang berbentuk khusus untuk mengukir) sangat berat jika diangkat oleh seorang perempuan. Namun di Jepara, pekerjaan mengukir dengan menggunakan alat tersebut biasa dilakukan oleh seorang perempuan Jepara sehari full di jam kerja dari pagi hingga sore.
Jauh sebelum seni ukir dikenal dunia, RA. Kartini sering menceritakan melalui suratnya, bagaimana kemiskinan yang dahsyat akibat kolonialisme menyebabkan para pengukir di Belakang Gunung (saat ini Desa Mulyoharjo Jepara) hidup dalam penderitaan akibat kemiskinan. Kartini adalah seorang yang sangat peka terhadap seni dan budaya. Ketika dia mengetahui bahwa di Belakang Gunung banyak seniman ukir yang hidup dalam kemiskinan, dia menjadi seorang Maecenas (pelindung dan pengembang seni ukir Jepara).
Jalan yang ditempuhnya untuk mempublikasikan hasil karya ukir dari seniman-seniman yang tersembunyi ini di antaranya dengan menulis sebuah prosa tentang tanah kelahirannya Jepara yang ditunggalkannya dengan seni ukirnya yang abadi. Judul dari prosa tersebut adalah Van een Vergeten Uithoekje atau Pojok yang Dilupakan.
“….Setengah telanjang menggelesot di atas tanah telanjang, dengan kedua belah kaki menyelonjor, yang sampai lututnya hanya tertutup celana katok, yang mungkin dahulu putih…” (Surat, 20 Agustus 1902, kepada Nyonya Nelly van Kol. Tentang para pengukir yang hidup dalam kemiskinan).
Di samping itu, Kartini juga mengirimkan hadiah kepada Sri Ratu sebuah kotak perhiasan yang diukir oleh Singo (Singo adalah seniman ukir paling berpengaruh di Belakang Gunung, dan menjadi penghubung antara Kartini dengan para seniman ukir lainya).
“Seseorang yang telah menghadap Sri Ratu memberi jaminan kepadaku, juga bahwa ibu Suri mempunyai perhatian yang hangat terhadap Hindia dan bahwa juga Sri Ratu mengetahui dengan sama baiknya tentang banyak hal di Hindia ini”.
Kabupaten Jepara dalam abad ke-19 dan ke-20 telah menjadi terkenal berkat pembuatan perabot-perabot dan barang-barang keperluan rumah tangga yang terbuat dari kayu yang dihiasi ukir-ukiran penuh bergaya seni. Rumah-rumah Jawa kuno di Kudus sekarang (atau dahulu) sering juga mempunyai dinding depan dari kayu dengan pintu dan jendela-jendela, yang semuanya diberi bingkai kayu dengan ukir-ukiran indah. Penduduknya, pedagang-pedagang dan pengusaha-pengusaha kayu, yang tergolong lapisan menengah “yang saleh”, dengan hiasan-hiasan ini ingin menyatakan kemakmuran mereka dalam kehidupan masyarakat. Orang boleh bertanya-tanya dalam hati apakah kesenian mengukir kayu, yang telah mencapai tingkat perkembangan tinggi di Kudus dan Jepara mungkin juga berasal dari kalangan orang-orang Cina pendatang, yang pada abad ke-15 dan ke-16 (dan mungkin sudah sebelumnya) sudah banyak terdapat di daerah-daerah ini. Dalam legenda Jawa mengenai penduduk asli di daerah itu, tempat didirikannya “kota suci” Kudus kemudian, tampil juga seorang utas pengukir kayu (H.J. de Graaf dan TH. Pigeaud, 1985 : 122).
(Penulis adalah Wartawan di Suarabaru.id, tinggal di Jepara)