Oleh: Amir Machmud NS
ANDA hayatilah, bukankah sepuitis itu sepak bola?
Elemen-elemen dari setiap sudut permainan ini mengekspresikan rasa-cipta-karya dalam karsa adiluhung kebudayaan manusia.
Dari seni gol, keistimewaan individual, free kick, penalti ala Panenka, hingga akrobatika kiper adalah ungkapan puitika kehidupan.
Para pencatat sejarah Piala Dunia memprasastikan Brazil anggitan Mario Zagallo sebagai “tim terbaik sepanjang masa” di Meksiko 1970. Pele, Jairzinho, Rivelino, Clodoaldo, Gerson, Tostao, Carlos Alberto, dan para seniman Samba menarasikan diksi-diksi bagai untaian sajak indah.
Elok pula narasi Johan Cruyff dkk yang mengorkestrasikan total football pada 1974. Betapa puitis simfoni sepak bola ofensif karya pujangga Rinus “Spinx” Michels itu.
Empat tahun setelahnya, sukses Argentina di hadapan publik sendiri adalah paradoks rasa bagi sang arsitek, Luis Cesar Menotti.
Dia adalah lukisan abstrak cerdik cendekia yang penuh imajinasi. Misterikah yang tersembunyi di balik penampilan surealisnya?
Menotti sadar, trofi dunia adalah kampanye politik bagi junta militer Jorge Rafael Videla (1976-1970). Pada masa kediktatoran Videla, disebut-sebut 15 ribu hingga 30 ribu jiwa hilang. Bagi Menotti, karya sepak bola bukan alat untuk memperkuat rezim, tetapi membangkitkan kegembiraan bagi rakyat yang mengalami depresi politik.
Dia mengusung filosofi perlawanan dengan caranya. Albiceleste diracik dengan doktrin dialektika antikemapanan, dekonstruksi terhadap politik stabilitas junta.
Cesar Menotti membawa gurat oposisional seorang seniman, memancarkan aura kecendekiawanan level maestro; ibarat meniupkan bait-bait puisi perlawanan dalam ekspresi taktik.
Pernyataan abadi Menotti menguatkan jatidirinya. Tim sepak bola tanpa pemain bintang, katanya, ibarat negeri yang tak punya penyair.
Nyatanya, Tim Menotti memaujud ala rakitan diksi yang merentang elok dalam bait-bait puisi anggitannya.
Ada Osvaldo Ardilles, master pengatur permainan yang brilian. Leopold Luque, second striker yang ganas. Ricardo Villa yang menyeimbangkan. Duo banteng Alberto Tarantini dan Americo Gallego.
Lalu ada Daniel Passarella, kapten dengan elegansi kepemimpinan. Pun Daniel Bertoni sayap kanan impresif. Dan, jangan lupakan Mario Kempes, penyerang yang bisa sedingin itu menghukum gawang lawan.
Dengan hati pujangga, Menotti memandirikan anak-anaknya untuk menerjemahkan kreasi pembebasan. Dia memberi ruang pengembaraan imajinasi dan dinamika perubahan.
Pemaknaan Narasi
Bukankah penyair memiliki kebebasan menggagas dan mengalirkan diksi ke pemaknaan narasi?
Villa dan Ardilles adalah sumber ide yang tak kering mengekspresikan hasrat penguasaan si kulit bundar. Luque dan Kempes menjadi pusat energi: hendak dikemanakan alur serangan yang dikonduktori seniman-seniman penuh fantasi itu.
Dengan kiper Ubaldo Fillol yang gagah mengomando, Menotti memainkan orkestrasi. Tim Tango 1978 hadir seperti bait-bait sajak yang rancak.
Lengkaplah Albiceleste mewujudkan syair sang pujangga. Wajah seriosa Menotti menjadi gambaran perlawanan terhadap sistem. Ia berpetualang bebas, mengembarakan gagasan untuk melawan rezim Jenderal Videla.
Rasanya tak cukup menikmati sepak bola dengan memaknai hanya dari aspek-aspek teknis, taktik, dan psikologi permainan.
Raut puitis Menotti bersanding dengan gurat ekspresi catenaccio Enzo Bearzot (1982), jogo bonito Tele Santana (1982 dan 1986), atau di masa sekarang sepak bola pragmatis Jose Mourinho, tiki-taka Pep Guardiola, permainan solid Zinedine Zidane, gegenpressing Juergen Klopp, kultur karnaval Tite, atau model-model Gareth Southgate, Carlo Ancelotti, atau Mikael Arteta.
Anda temukan apa pula dari ekspresi Zlatan Ibrahimovic, Ronaldo Luiz Nazario, Ronaldinho, Cristiano Ronaldo, Lionel Messi, Mohamed Salah, atau Erling-Burt Haaland?
Kehadiran Pele, Beckenbauer, Cruyff, Platini, dan Maradona menandai betapa sepak bola seperti mata air yang mengalirkan narasi indah. Mereka memberi lebih dari sekadar permainan 22 orang berebut bundaran berisi udara di sebidang lapangan yang terukur.
Bahkan para pemain dengan “kenakalan” ala Vinnie Jones, Eric Cantona, Paolo Di Canio, Antonio Cassano, Joey Barton, dan Mario Balotelli pun tak bisa ditepikan dari standar kekhususan kemampuan anak manusia.
Batas Tipis
Kita memahami peran-peran fungsional yang melekat pada kompetensi seorang pemain, di dalam maupun di luar lapangan.
Mengapa Mo Salah dan Sadio Mane diteladani? Mengapa Ibrahimovic menjadi kaca benggala arogansi, juga mengapa tokoh seperti Roy Keane tak henti menyinyiri dan cenderung menyalahkan orang?
Dalam ungkapan berjuta rasa, sepak bola adalah sumber energi karsa puisi. Luap kegembiraan dan kebahagiaan dalam kemenangan, keterbenaman dalam muram dan kesedihan, lipatan rasa bersalah, atau emosi dari batas tipis sukses dan kegagalan.
Ingatkah Anda akan wajah kosong Paolo Maldini?
Itulah paradoks dari histeria Ahn Jung-hwan, begitu Korea Selatan memastikan kejutan besar menumbangkan Italia di perdelapanfinal Piala Dunia 2002. Momen puitis itu tercetak abadi di benak fans Azzurri dan Taeguk Warrior, hingga kapan pun.
Ya. Anda akan bertemu “suasana” puitis dari apa pun pernik yang muncul di panggung teater sepak bola.
Tandukan Zidane ke dada Marco Matterazzi di final 2006 mengetengahkan puisi muram di cercah cahaya langit. Sepuitis itu, semenggetarkan itu, semuram itu, sesenyap itu…
Yang bahkan seorang Luis Cesar Menotti pun boleh jadi tak pernah berintensi melahirkan tim sekualitas karya pujangga.
Yang seorang Tele Santana mungkin tak bermimpi sejarah sepak bola Brazil akan mengenangnya sebagai “penyair” yang menghasilkan tim seromantik itu dalam empat tahun berurutan, 1982 dan 1986…
Bukankah sepuitis itu sepak bola?
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, kolumnis sepak bola, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah