SEMARANG (SUARABARU.ID) – ”Etika dalam berkonten antara lain membuat konten yang original tidak boleh plagiat, menyampaikan informasi yang valid sesuai fakta, menjaga sopan santun seperti tidak mengandung SARA, menyertakan identitas kreator jika kita menduplikasi konten orang lain, menjaga privasi seseorang, dan terdapat disclaimer pada adegan berbahaya,”
Hal itu diungkapkan Dosen Ilmu Komunikasi USM, Citra Safira pada Seminar Komunikasi yang dilakukan secara hybrid pada 12 November 2022 di ruang Q.1.1 Universitas Semarang dan Zoom meeting.
Menurutnya, jenis-jenis konten antara lain konten tulisan, konten visual, konten audio visual, konten hiburan, dan konten edukasi. Dalam pembuatan konten terdapat etika yang harus diikuti.
”Timbulnya keinginan viral karena adanya kebutuhan untuk diakui. Teori Abraham maslow mengelompokkan tingkatan kebutuhan tersebut di antaranya physiological berupa kebutuhan dasar seperti bernafas, makan, minum, dan tidur. Tingkatan kedua ada safety, kebutuan akan keamanan tubuh, pekerjaan, penghasilan dan keluarga,” katanya.
Selain itu, lanjutnya, ada love/belonging yaitu seseorang membutuhkan teman, keluarga, dan hubungan intim. Esteem adalah tingkatan kebutuhan berupa kepercayaan diri, pencapaian, dan dihormati.
Tingkatan tertinggi, self-actualization dimana kebutuhan telah berada di puncaknya berupa moral, kreativitas, penyelesaian masalah, dan penerimaan fakta.
”Pada KBBI arti viral berhubungan dengan virus. Namun istilah viral dikaitkan sebagai sesuatu yang cepat menyebar bagai virus,” ujar Citra.
Narasumber kedua, coffee blogger, Aldin Meidito membagi pengalamannya dalam membuat konten. Menurutnya, untuk menghasilkan konten viral harus mencantumkan identitas, jenis konten yang akan diproduksi harus mencerminkan isinya. Selain itu menganggap pengikut sosial media sebagai teman supaya interaksi yang dilakukan lebih fleksibel.
”Dalam membuat konten harus idealis agar yang dihasilkan pun konsisten dan serupa,”
Ketua Panitia, Renata Eka Putri Farida mengatakan, seminar ini diadakan untuk mengedukasi mahasiswa dalam membuat konten berkualitas.
”Banyaknya konten yang viral dengan kriteria yang berbeda, entah itu berisi informasi atau sekedar lawakan membuat masyarakat sulit membedakan antara konten berkualitas dan tidak. Seminar ini diharapkan dapat memberi pengetahuan tambahan mengenai konten yang berkualitas,” jelasnya.
Renata menambahkan, pihaknya memilih narasumber tersebut karena narasumber berasal dari akademisi Ilmu Komunikasi yang menjelaskan teori fenomena viral. Adapaun narasumber kedua merupakan praktisi yang dapat membagikan pengalamannya yang berbuhungan dengan viral.
”Kami menghadirkan narasumber tersebut dengan alasan dapat menjelaskan fenomena viral dengan teori lalu dilanjutkan berbagi pengalaman dengan narasumber yang telah berkecimpung di dunia pembuatan konten,” ungkapnya.
Muhaimin