blank
Sunardi Ks

Oleh  :  Sunardi KS

Kalau merujuk pada paham demokrasi sejati — meski kalau di sini masih dibaui/dinunuti tradisi, demokrasi artinya demos = rakyat, kratos = kekuasaan. Maka kata atau istilah pemimpin bisa jadi hanya berhenti pada teks belaka dan tentu saja bukan sekedar ‘sosok’. Sebab paham demokrasi sesungguhnya, hakikatnya, pengertiannya, kekuasaan berada di tangan rakyat, langsung mau pun tidak langsung,

Maka dengan demikian pemimpin, sesungguhnya bukan sekedar sosok, ia adalah utusan, pembawa mandat, orang atau sosok yang diberi kepercayaan, orang yang mewakili orang kebanyakan. Itulah hebatnya paham demokrasi. Pemimpin itu hakikatnya bukan saya, bukan dia, bukan kita, apalagi mereka. Tetapi pemimpin itu kami. Semuanya ikut bertanggungjawab.

Kalau ada orang atau sosok yang ditunjuk menjadi pemimpin ternyata orang atau sosoknya kurang amanah sesungguhnya yang ikut andil salah itu yang menunjuk. Padahal kesalahan itu sesungguhnya kalau berlarut-larut seperti orang menarik garis dari titik satu menuju titik lainnya, kalau menariknya garis dari awal sudah salah tetapi bakal berlarut-larut atau diteruskan, maka penyimpangan atau kesalahan itu akan semakin jauh.

Pemimpin = Imam

Jadi pemimpin itu mirip imam di dalam sholat, meski pun 2x, 3x, 4x diamini atau diaminkan, kalau ada kekeliruan tanpa sengaja makmum akan mengingatkan dengan bacaan subkhanallah. Dan imam akan manut, tunduk kepada peringatan makmum. Karena dalam hal ini makmumlah yang daya ingatannya lebih kuat, karena makmum jumlahnya banyak, meski peringatan itu hanya diwakili beberapa makmum, tidak semua mengingatkan. Dan ketundukan imam (pemimpin) karena memang seharusnya demikian, karena sebagai imam juga bisa menjadi lupa sewaktu-waktu, kadang kala. Ia sadar, ia taat pada peringatan, demi sempurnanya sembahyang atau sholat.

Maka menjadi mau diingatkan apabila terjadi kekeliruan atau kelupaan akan menjadi hal yang penting. Menjadi pemimpin mau menerima masukkan atau kritikan. Dan kritik itu bukan keusilan, bukan (harus) berawal atau punya motivasi kurang suka dengan yang dikritik.

Lalu, terjadinya kritik itu karena kesan angker dari pimpinan tidak ada. Kesan takut dari si pengkritik juga tidak ada. Ini terjadi kalau ada pimpinan yang (terkesan) dekat dengan rakyat. Setidak-tidaknya dengan bawahannya. Tidak terjadi gap yang lebar, yang seolah-olah sengaja diciptakan.

Imam Lupa Makmum Mengingatkan

Pengertian pemimpin seperti juga imam memberi arti meski pun ia seseorang yang ditunjuk, disepakati oleh banyak orang, tetapi yang namanya manusia ada kalanya lupa, ada kalanya keliru. Lalu makmum tidak boleh diam. Diamnya makmum kalau ada imam lupa adalah dosa. Ada yang memberi istilah, kalau ada kesalahan lalu yang mengetahui kesalahan itu diam saja, maka sebutan orang yang mendiamkan kesalahan itu (nyuwun sewu) bagai setan bisu.

Tentu saja sebagai pemimpin atau imam, orang yang ditunjuk dan disepakati banyak orang, karena punya banyak kelebihan dibanding orang lain, dibanding makmum atau rakyat kebanyakan. Kalau ditunjuk sebagai imam sholat, karena orang itu paling bagus dan paling paham bacaan Qur’annya., dibanding orang-orang yang sedang berkumpul akan sholat berjamaah. Kalau masih ada makmum yang menyamainya, sama-sama bagus dan paham bacaan Qur’annya, maka yang dipilih yang suaranya lebih fasih atau lebih nyaring dan lebih jelas. Kalau seandainya masih sama, maka yang dipilih yang paling bagus wajah orangnya, yang paling gagah, dan paling baik lainnya.

Ini tentu saja sama dengan sosok pimpinan yang kita sepakati yang kita pilih bersama. Ia perlu sosok yang punya kelebihan-kelebihan, dibanding orang-orang, rakyat yang dipimpinnya. Setidaknya sosok yang dipilih disamping sosok yang punya kelebihan-kelebihan juga harus mau untuk dipilih sebagai pemimpin. Meski pun ada juga yang punya kiat, bahwa pemimpin yang bagus itu sesungguhnya malah orang yang tidak mau dijadikan pemimpin, tetapi tetap kita pilih, tetap kita sepakati, tetap kita harapkan. Lalu orang seperti itu akhirnya dipaksa demi kebaikan bersama.

Pemimpin Harus Amanah

Di samping itu menjadi pemimpin juga (seharusnya) bisa seperti sopir di kendaraan-kendaraan umum. Dia harus paham perjalanan, paham tujuan, paham atau mahir memegang kemudi. Dia harus paham bahwa dirinya satu angkutan dengan orang banyak. Kalau si sopir itu lengah sedikit saja, lalu terjadi hal-hal yang tidak diinginkan maka yang rugi, yang celaka bukan hanya si sopir saja. Tetapi juga penumpangnya.

Konon Umar bin Khotob  adalah  sosok yang gagah berani serta tegas, yang ke mana-mana membawa pedang untuk menjaga kedisiplinan, ketika terpilih sebagai kholifah justru sempat menangis. Karena dipilihnya beliau sebagai kholifah, sebagai pimpinan berarti beliau akan memikul amanah. Dan beliau khawatir kalau amanah itu tidak bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Maka segagah, setegas beliau sempat menangis karena takut tidak amanah lalu mendapat murka dari Allah.

Barangkali kebalikan dari orang-orang sekarang, kalau terpilih sebagai pemimpin, atau orang yang mendapat mandat malah syukuran. Memang bisa jadi hal seperti itu dimaknai sebagai selametan, sesuai tradisi Jawa yang telah lama dianut nenek-moyang kita hingga sekarang. Yang tujuannya supaya diberi keselamatan bersama.

Menjadi Pemimpin Perlu : 3 er dan Jangan 3 er

Menjadi pemimpin perlu 3 er. Pinter, Bener, Wewaler.

  1. Pinter. Menjadi pemimpin, jelas, perlu orang yang pinter. Pinter menjaga amanah, pinter melaksanakan tugasnya, sebagai tanggungjawabnya. Pinter menghadapi berbagai masalah, lalu bisa mengatasi masalah tanpa menyebabkan kerugian, kerusakan. Oleh karena pinter maka rakyat yang dipimpinnya menjadi bangga dengan pimpinannya.
  2. Bener. Bener itu apa-apa yang dijalankan, apa-apa yang dilakukan senantiasa sesuai aturan, jujur, pantas sebagai panutan atau tauladan, berintegritas. Tidak mudah goyah oleh godaan atau jebakan yang akhirnya menjerumuskan. Lalu yang menanggung rugi bukan semata dirinya juga rakyatnya.
  3. Wewaler. Wewaler itu semacam aturan, semacam angger-angger. Pager-pager. Pemimpin seharusnya tidak ke luar dari wewaler, angger-angger, tidak boleh ke luar dari rel. hukum perlu dijaga. Disiplin perlu dilaksanakan.

Menjadi pemimpin perlu terhindar dari 3 er. Angger, Jejer, Keblinger

  1. Angger. Atau angger-anggeran, seadanya, asal-asalan. Karena niatnya kurang bagus maka persiapannya pun kurang bagus pula. Masih didukung oleh orang-orang yang juga angger-anggeran.
  2. Jejer. Prinsipnya, mau didukung oleh rakyat atau tidak, ah tidak masalah. Mau disetujui atau dibenci, ah tak peduli. Yang penting pemimpin itu ada, ada sosoknya, ada jejernya.
  3. Keblinger. Pemimpin yang terpilih sebagai orang yang keblinger. Keblinger itu tersesatkan, salah masuk atau salah pasang. Celakanya hal itu seolah-olah disengaja, pemimpin yang terpasang seperti wayang. Dan di balik itu ada dalangnya. Yang kadang tidak tampak wajahnya.***

Penulis adalah penjual tulisan.