blank
Sejumlah karya seni dipamerkan di bekas tempat penjagalan hewan di acara Tengok Bustaman V, Minggu (28/11/2021). (doc/ist)

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Siapa sangka bekas rumah pemotongan hewan (RPH) di kampung Bustaman Semarang yang terkenal angker dan penuh barang bekas bisa menjadi ruang artistik.

Itulah yang coba dihadirkan ulang dalam acara rutin tahunan Tengok Bustaman ke-5 yang digawangi oleh Kolektif Hysteria dan warga Kampung Bustaman sepanjang 26-28 November.

Mengangkat tema ‘Ingatan Bersama’ event ini menghadirkan beberapa seniman antaranya Dialektika, Bhakta Murti, Wol, Pohon Sardjono, Scaregrind, udnlar, Hananingsih widhiasri, Achmad Chadziqurrochman, Pekakota, Hysteria ArtLab, Ikatan Remaja Bustaman, Mbah Karjono Kemijen, dan Bukit Buku Bazaar.

Menurut kurator pameran, Tommy Ari Wibowo, tema Ingatan Bersama dipilih untuk mengingat kembali aktivitas yang ada di kampung maupun kisah kisah yang membuat mereka satu komunitas.

“Cerita yang dekat dengan warga sekurang-kurangnya 8 tahunan terakhir ini kami rasa penting untuk digunakan sebagai lem kesetiakawanan sosial di warga,” katanya kepada SuaraBaru.Id, Minggu (28/11/2021).

Tommy sengaja mengaktifkan kembali ruang publik yang sering digunakan bersama warga kampung terutama bekas Rumah Pemotongan Hewan Bustaman (RPH). Setelah bertahun difungsikan sebagai penjagalan kambing, tahun 2014 RPH ini berhenti beroperasi.

Panitia secara kreatif memanfaatkan gedung yang wingit dan angker tersebut menyulapnya menjadi galeri seni. Sejumlah seniman misalnya Hananingsih merespons salah satu ruang dengan mural yang bercerita kelindan warga dengan urusan bisnis kambing. Sementara di bagian tengah diletakkan cetakan foto warga di masa lalu.

Tommy juga memberi kesempatan pada warga untuk memilah dan memilih barang yang akan ditampilkan dalam pameran. Sementara itu ketua RW III, M Ashar menyambut baik acara ini karena mengingatkan kembali relasi warga dengan Hysteria yang dimulai sejak 2012 akhir.

“Kita bisa mengingat dan merenungkan apa yang sudah berubah beberapa tahun belakangan ini,” ujarnya.

Sementara itu dalam sesi terpisah bidang budaya dari Bappeda Semarang, S Budi Utomo, senang dengan adanya aktivitas seperti ini karena sejalan dengan visi kota yang memberdayakan kampung-kampung.

Hery Priyono