blank

Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelecehan Seksual

di Lingkungan Kerja

Oleh :

Ira Alia Maerani & Gatot Eko Yudoyono

 

KEJAHATAN terhadap kesusilaan berupa pelecehan seksual menjadi salah satu masalah  global. Bahkan di era globalisasi ini, trend meningkatnya kejahatan (tindak pidana) pelecehan seksual dengan memanfaatkan sarana komputer dan internet semakin menyeruak. Bukan hal baru lagi terkait tindakan pelecehan seksual yang kerapkali disajikan di media digital yang dilakukan oleh pelaku terhadap lawan jenisnya untuk semata-mata memenuhi hawa nafsu. Orang-orang yang menjadi target pelecehan adalah sebagian besar dari kaum perempuan mulai dari kasus perbuatan tidak menyenangkan hingga berujung kepada perbuatan perkosaan.

Perbuatan pelecehan seksual dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk mulai dari yang ringan seperti, pelecehan lisan, pelecehan tulisan/visual dan pelecehan isyarat hingga sampai pada yang berat seperti, pelecehan fisik (disentuh) dan penyerangan seksual secara terbuka. Dalam melakukan perbuatan pelecehan seksual pelaku bisa melakukannya dimana saja, tempat kerja, pabrik, kantor, toko ataupun sekolah. Pelecehan seksual di tempat kerja berbeda dengan pelecehan seksual pada umumnya dikarenakan pelecehan tersebut dilakukan di tempat yang seharusnya jauh dari perbuatan tercela karena tempat kerja berkaitan langsung dengan seseorang untuk mencari nafkah.

Masih melekat dalam benak publik mengenai kasus pelecehan yang terjadi sekitar bulan Juni 2021 di Jember, Jawa Timur. Penulis tidak menceritakan secara detil kasus tersebut  mengingat sudah cukup informasi yang disajikan  media informasi digital lainnya yang melakukan proses investigasi dan wawancara terhadap pelaku dan korban secara langsung. Namun berangkat dari kasus tersebut dan berbagai kasus pelecehan seksual di dunia kerja, Penulis merasa perlu untuk memberikan analisis bagaimana perlindungan hukum terhadap korban pelecehan seksual di dunia kerja?

Perlindungan Pribadi: Bersikap Asertif

            Kemampuan untuk bersikap asertif yakni bersikap baik dan tegas menjadi salah satu kunci menjalin relasi di dunia kerja. Bersikap asertif terhadap godaan dan tekanan menjadi salah satu upaya untuk terhindar dari kejahatan terhadap kesusilaan sehingga tidak mudah ditekan atau diintimidasi oleh pihak lain. Kemampuan untuk menolak secara baik-baik dan menghargai profesionalitas di dunia kerja menjadi kunci dalam membangun harmoni  di dunia kerja. Menjalin komunikasi secara jujur dan obyektif sehingga terbangun budaya kerja yang produktif dan tanggung jawab. Kemampuan untuk mengetahui batas-batas privacy dan menghindari larut di dalamnya.

Pada saat  keberanian bersikap asertif terbang, dan diiringi dengan permohonan perlindungan pada ALLOH, tak ada salahnya apabila kemampuan bela diri diasah. Olahraga bela diri seperti Karate, Pencak Silat, Taekwondo, Wushu, Kungfu ditekuni. Selain melatih otot-otot tubuh, olahraga ini juga membangun kepercayaan diri dan kemampuan untuk melindungi diri dari ancaman yang bersifat fisik.

Perlindungan Hukum

Hasil survei singkat yang dilakukan oleh NEVER OKAY pada 19 November-9 Desember 2018 yang menghadirkan 1.240 responden kekerasan terhadap pekerja di kantor menyatakan 94% mengalami pelecehan seksual secara fisik. Bentuk-bentuk pelecehan seksual secara fisik meliputi pelecehan lisan 76%, pelecehan isyarat 42%, pelecehan tertulis/visual 26%, lingkungan kerja buruk 13%, ditawari imbalan untuk melakukan sesuatu 7%, penyerangan seksual 1% dan lainnya 2%. Sedangkan dari segi pelakunya meliputi atasan/rekan senior 36%, rekan sebaya 34%, rekan dari luar 12%, bawahan 5% dan orang lain di lokasi kantor (satpam/tukang parkir) 2%.(sumber : tirto.id)

Sejatinya regulasi telah melindungi pekerja dalam kesetaraan terhadap pekerjaan hingga mengatur pelarangan kekerasan dan pecehan di tempat kerja dengan membuat undang-undang dan berbagai peraturan turunan yang ada seperti : 1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia; 2. Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 berkenaan dengan Hak-Hak Azasi Manusia; 3. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; 5. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana; 6. Konvensi ILO No. 100 Tahun 1951 tentang Kesetaraan dalam Pengupahan bagi Pria dan Wanita untuk Pekerjaan dengan Nilai Setara, yang diratifikasi melalui Undang-Undang No. 80 Tahun 1957; 7. Konvensi ILO No. 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi Berkenaan dengan Pekerjaan dan Jabatan, yang diratifikasi melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1999; 8. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (CEDAW), yang diratifikasi melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 1984; 9. Surat Edaran No. SE.60/MEN/SJ-HK/II/2006 tentang Pedoman Kesetaraan dalam Kesempatan Kerja di Indonesia.

Namun disamping karakter dan regulasi yang telah diterapkan pada kehidupan sehari-hari tempat kerja juga mempunyai peran penting dalam menyumbang pembuatan kebijakan yang jelas-jelas nyata akan diterapkan di lingkungan kerja.         Oleh karena itu semua tempat kerja diwajibkan untuk membentuk mekanisme (mekanisme internal) dalam badan organisasi atau lembaga untuk mencegah dan merespon terhadap kasus-kasus pelecehan seksual di tempat kerja.

Mekanisme tersebut harus menyertakan elemen-elemen berikut: a. Pernyataan kebijakan yang melarang pelecehan; b. Definisi yang jelas tentang apa yang tergolong kepada pelecehan; c. Prosedur keluhan/keberatan; d.Aturan dan hukuman disiplin terhadap pelaku pelecehan dan terhadap mereka yang melontarkan tuduhan palsu; e.Tindakan-tindakan protektif dan pemulihan untuk korban; f. Program peningkatan dan pendidikan untuk menjelaskan kebijakan perusahaan tentang pelecehan dan meningkatkan kesadaran serta konsekuensi serius atas pelanggaran kebijakan yang harus disebarkan kepada seluruh karyawan, penyelia, dan manajer di perusahaan; g. Pemantauan. (Sumber: betterworkindonesia)

Dengan demikian dapat disimpulkan pelecehan seksual di tempat kerja bukan merupakan suatu hal yang baru melainkan permasalahan laten yang semakin lama kian merebak sehingga dapat dilihat secara jelas terjadi. Dengan demikian pula memperlihatkan tingkat karakter dan kepatuhan masyarakat terhadap peraturan yang telah dibuat masih tergolong lemah terbukti dari mudahnya seseorang untuk melanggar peraturan tersebut. (Dr. Ira Alia Maerani, M.H., dosen Fakultas Hukum UNISSULA; Gatot Eko Yudoyono, mahasiswa Fakultas Hukum UNISSULA, Semarang).

Suarabaru.id

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini