Oleh : Ahmad Saefudin
Seperti pedang bermata dua, era Society 5.0 menyimpan dua efek paradoksal yang sama tajamnya. Positif dan negatif. Ruang fisik yang diidealkan bertaut erat dengan ruang maya belum sepenuhnya terjadi. Teknologi kian dominan, peran manusia terpinggirkan.
Di kampus, pesatnya perkembangan alat teknologi informasi memudahkan mahasiswa untuk mengakses aneka referensi. Pelbagai platform mesin pencari berbasis virtual menyediakan ribuan dokumen akademik, mulai dari karya skripsi, tesis, disertasi, buku, proseding seminar, hingga artikel jurnal.
Cukup duduk di depan layar, masukkan kata kunci yang relevan, dan sekali klik kita akan dimanjakan oleh senarai pustaka yang kredibel dan otoritatif.
Beda dengan awal kurun 2000-an. Mau buat makalah, mesti berhari-hari di perpustakaan. Pinjam seabrek buku, meringkas pokok gagasan dalam catatan yang rigid, dan perlu melototin nama pengarang dan nomor halamannya supaya menjejak dalam ingatan. Sungguh galib, jika tentengan mahasiswa berupa tas besar nan berat.
Pada aras yang berbeda, kecanggihan teknologi membawa manusia pada suatu budaya, yang oleh Neil Postman menyebutnya dengan istilah, Teknopoli. Kita tak lagi menempatkan alat teknologi sebagai sistem pendukung, namun lebih ekstrem lagi, justru kesadaran kita dibentuk dan dikendalikan oleh teknologi. Postman menggambarkan:
“Lingkungan tempat Teknopoli berkembang adalah lingkungan di mana ikatan antara informasi dan tujuan manusia telah terburai, yaitu informasi muncul tanpa pandang bulu, menyasar siapa pun secara khusus, dalam volume besar dan dengan kecepatan tinggi, dan terputus dari teori, makna, atau tujuan (Postman, 2021: 97).
Boleh jadi, ketika Postman menerbitkan karyanya itu pada tahun 1992, fokus keprihatinannya terhadap fenomena teknopoli ditujukan secara spesifik kepada masyarakat Barat, tepatnya Amerika Serikat. Akan tetapi, wabah teknopoli sekarang menjangkit hampir seluruh kalangan.
Pengalaman saya mendampingi diskusi mahasiswa di kelas, pemakalah yang mempresentasikan satu materi tertentu akan gagap menjawab pertanyaan dari audiens tanpa mengandalkan ponsel pintar. Setiap jawaban bersumber dari hasil berselancar di dunia maya. Bahkan seolah “ditelan mentah” begitu saja minus analisis kritis. Alhasil, mereka gagal membedakan definisi “komunisme”, “sosialisme”, dan “ateisme”, misalnya. Repot bukan? Pada kasus ini, teknologi tidak membantu kita, justru berpotensi menyesatkan.
Waspada Teknofil
Kata teknofil (technophile) barangkali belum familiar di telinga kita. Padahal gejala abnormalitas ini sama mengerikannya dengan istilah lain sejenis yang menunjukkan indikasi keganjilan, seperti pedofil.
Pedofilia merupakan gangguan orientasi seksual terhadap remaja atau anak-anak. Sedangkan teknofilia adalah sebuah kondisi di mana kita memperlakukan teknologi bak kekasih yang mencintai pasangannya, melihatnya tanpa cela, dan terlanjur yakin tak akan pernah terjadi mudarat.
Memang benar, menghindar dari alat teknologi di zaman komunikasi tanpa wajah (faceless) seperti sekarang adalah kemustahilan. Mungkin hanya beberapa mahasiswa yang kuat menjalani. Jumlahnya dapat dihitung jari.
Guyonannya, mereka itulah kalangan manusia langka yang sedang menempuh laku tirakat untuk mencapai derajat makam kewalian. Bukan tidak mungkin pula, tipe mahasiswa semacam ini yang kelak akan selamat dari ancaman gempuran ideologi mesin.
Kita patut waspada dengan faal mahasiswa teknofil yang tak percaya diri dengan kapasitas kemanusiaannya. Sangat naif jika alat teknologi benar-benar menggantikan etos keilmuan. Lulus kuliah bukannya berubah jadi alumnus mahasiswa yang kritis-inovatif. Malah sebaliknya, menjadi manusia pemalas yang stagnan cara berpikirnya.
Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyaj dan Ilmu Keguruan, Kepala Pusat Studi Aswaja An-Nahdliyyah Unisnu Jepara