SEMARANG (SUARABARU.ID) Slamet S dan Bejo, ahli waris sah pemilik tanah di wilayah Kecamatan Tembalang, Kota Semarang hingga hari ini, tidak bisa menyertifikatkan tanah waris milik orang tuanya, yang berada di Kelurahan Tandang dan Kelurahan Jangli.
Slamet S dan Bejo adalah warga Jalan Banteng RT 8 RW 10 Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang merupakan ahli waris sah, putra ketiga dan keempat dari Samiran. Keduanya sampai saat ini tidak bisa menyertifikatkan tanahnya.
Dijelaskan oleh Pujiono, salah satu saudara Slamet, bahwa alas hak kepemilikan tanahnya, adalah verponding sejak zaman Belanda dengan kepemilikan 4 bidang tanah yang sah. Dan buku induk register verponding Indonesia No 326,327, 314 dan 318 atas nama Samiran yang asli, yang menjadi alas hak tersebut.
Hingga sekarang bukti itu tersimpan di Kelurahan Jomblang, Kecamatan Candisari, Kota Semarang, yang dahulu dikenal dengan nama Kelurahan Tandang Lama Kecamatan Semarang Timur, Kotamadya Dati II Semarang, sesuai dengan PP No 50 tahun 1992, tentang Penataan Wilayah.
“Dan keterangan itu, diberikan oleh Lurah Jomblang, melalui surat keterangan secara tertulis yang ditandatangani Lurah Jomblang, pada 28 Oktober 2018 lalu ,” jelas Pujiono salah satu saudara (keponakan) Slamet S, yang mewakilinya kepada awak media di rumahnya, kampung Banteng, Kelurahan Tandang, Kecamatan Tembalang.
Data lainnya, yang ditunjukkan Pujiono kepada wartawan adalah Surat Teguran pembayaran pajak (PBB) dari Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota Semarang tertanggal 31 Oktober 2019 lalu.
“Dari bukti-bukti kepemilikan tanah tersebut, harusnya kan bisa tanah itu dibuatkan sertifikat hak milik atas nama ahli waris. Tapi sampai sekarang, sampai lurah diganti tiga kali kok tidak bisa mengeluarkan surat keterangan untuk penyertifikatan hak milik atas nama ahli waris yang sah?” ungkap Pujiono dengan nada tanya.
Dan upaya penyertifikatan hak milik tersebut, lanjut Pujiono, prosesnya mengalami hal yang tidak mengenakkan, seperti ancaman premanisme dan hal lain. Sebab diduga, ada praktik mafia tanah yang akan mencaplok tanah pakdenya.
“Ya itu pengalamannya. Saya mendapat ancaman dari orang-orang tidak dikenal mengatasnamakan sebuah perusahaan, bahwa tanah Pakde Slamet sudah menjadi milik bosnya. Padahal tahun 2011 lalu, yang dibeli hanya 1 bidang saja. Tapi merasa sudah memiliki bidang yang lain,” ungkap Pujiono gemas.
Dan alasan lurah-lurah sebelumnya, imbuhnya, selalu terkesan menghindar jika dimintai surat keterangan untuk mengurus bidang-bidang tanah tersebut untuk dijadikan sertifikat.
“Sampai Lurah Tandang yang sekarang pun begitu, saat dimintai surat keterangan untuk proses SHM. Malah mau tanya ke sebuah perusahaan yang mengklaim tanah itu. Padahal kan atasan Lurah itu Camat dan Wali Kota Semarang, bukan perusahaan itu,” tandas Pujiono.
Absa