Oleh: Amir Machmud NS
CATATLAH ini: Lionel Messi patah hati.
Tetapi catat pulalah, perpisahannya dari habitat yang dia cintai bukan karena dikhianati atau diselingkuhi. Messi harus angkat kaki karena “keadaan”. Barcelona tak mampu mengikatnya lagi, lantaran klub Catalan itu terbelit masalah ekonomi dan terbentur aturan finansial La Liga.
Kondisi keuangan klub yang memburuk sejak pandemi Covid-19 memicu refocusing, terutama dalam struktur gaji pemain. Messi sebenarnya bersedia hanya menerima 50 persen pendapatan, namun tetap saja tak cukup waktu untuk mengejar penyesuaian anggaran hingga batas pendaftaran pemain. Dia berstatus tanpa klub sejak 1 Juli lalu.
Sebelumnya, manajemen telah merogoh kocek menyelesaikan kontrak pemain-pemain baru seperti Sergio Aguero dan Memphis Depay. Sementara sejumlah pemain lainnya berstandar gaji tinggi.
La Pulga, juga Barca dilaporkan sangat bersedih. Hampir 20 tahun dia menjalani karier profesional di Camp Nou. Tak seorang pun berpikir Messi akan mengenakan jersey klub lain.
Kesetiaannya kepada Blaugrana antara lain karena dia “disembuhkan” dari gangguan keterhambatan hormon pertumbuhan pada awal 2000-an. Dia menjelma sebagai salah satu produk terbaik Akademi La Masia.
Spekulasi bakal ke mana Leo Messi berlabuh kini menjadi rumor paling hangat. Apakah ke Manchester City untuk bereuni dengan sang mentor, Pep Guardiola?
Secara finansial klub milik Syekh Mansour itu disebut-sebut paling siap. Masalahnya, City baru saja merekrut Jack Grealish dengan Rp 1,9 triliun, dan kini gencar berburu Harry Kane setelah striker andalannya, Sergio Aguero pindah ke Barcelona.
Atau ke Paris St Germain? Bagi Messi, klub milik Nasser Al-Khelaifi itu punya daya tarik karena faktor Neymar Junior, sahabatnya. Beberapa pemain Argentina juga memperkuat Les Parisien. Tetapi dana PSG sudah banyak tersedot pembelian pemain. Mereka juga harus menyesuaikan gaji untuk mempertahankan Kylian Mbappe yang terus digoda klub-klub raksasa.
Messi juga kerap dikaitkan dengan Inter Miami, klub Major League Soccer milik David Beckham. Rasanya ini tidak mungkin. Dia baru akan menoleh ke MLS apabila sudah kehilangan gairah bermain di liga yang lebih kompetitif.
Fans Manchester United melemparkan spekulasi lewat meme-meme Messi mengenakan seragam The Red Devils. Namun sejauh ini, media justru lebih sering menyebut Cristiano Ronaldo, mengingat jejak sejarah pemain Juventus itu bersama MU.
Memahami Duka Messi
Sangat bisa dipahami Leo Messi berduka setelah kepastian perpisahannya dengan Barca. Dibandingkan dengan pemain mana pun dalam sejarah klub ini, dia merupakan ikon utama. Messi telah meraih 34 trofi di level liga, turnamen, hingga Liga Champions dan Piala Dunia Antarklub. Rekor-rekor gol dan assist juga tak tertandingi.
Messi sering dihadapkan pada “tantangan” untuk membuktikan bisa sukses bersama klub di luar Barca dalam lingkup kompetisi di luar La Liga. Yang dijadikan pembanding adalah Cristiano Ronaldo yang terbukti sukses di MU, Real Madrid, dan Juventus.
Tak kurang pula yang berpendapat, peraih enam Ballon d’Or itu bisa sedemikian hebat karena dulu Pep Guardiola menciptakan skema taktik dengan filosofi “semua untuk Messi”.
Xavi Hernandez mengendalikan irama tiki-taka demi menyokong pergerakan Messi. Umpan-umpan Andres Iniesta memanjakan Messi, sementara Carles Puyol mempertaruhkan setiap jengkal lapangan di garis belakang juga demi Messi.
Pendapat itu tentu sah-sah saja, sama sahihnya dengan realitas bahwa La Pulga beredar di era yang tepat, dan dia merupakan salah satu elemen penyangga potensi sumberdaya taktik Pasukan Camp Nou. Bahkan hingga tahun-tahun berikut ketika jenderal-jenderal Barca itu pensiun satu demi satu.
Kepahitan perpisahan itu pastilah dirasakan seluruh keluarga besar Barcelona. Bisa apa nanti mereka tanpa inspirasi Sang Messias? Haruskah menunggu kematangan sederet wonderkid Pedri Gonzalez, Ansu Fati, Ruigi Puig, Ilaix Moriba, Alex Collado, dan Pablo Martin “Gavi”?
Psikologi perpisahan pahit ini menandai episode naik-turun relasi Messi dengan klubnya. Kalau pada era Presiden Josep Maria Bartemou dia tak menyembunyikan ekspresi kemarahan, kini momen perpisahan menjadi nuansa cinta dan air mata.
Sehebat apa pun, Leo adalah anak manusia yang hidup dengan rasa dan hati. Ikatan-ikatan emosional dengan sebuah komunitas, lingkungan, dan orang-orang yang dia kenal akan menggoreskan sejuta rasa di tengah keputusan yang boleh jadi terasa tiba-tiba.
Tidak ada pesta yang tidak berakhir. Tetapi sejauh ini, belum terbayangkan betapa ketercabikan hati menyaksikan wajah bayinya, kebiasaan sendu menundukkan kepala, dan tatapan lembutnya. Bagaimana nanti gestur dan ekspresinya saat mengenakan jersey klub yang beruntung mendapatkan dia?
Perpisahan dengan Barcelona adalah keniscayaan. Tetapi sebagai legenda, bisakah hatinya total beralih ke lain klub?
— Amir Machmus NS, kolumnis sepak bola dan penulis buku.