blank

Oleh : M. Iskak Wijaya

Seri #5 ini merangkum beberapa sumber, yaitu kumpulan tulisan yang dieditori oleh R Rijanta dan M Baiquni, khususnya Bab 1: Pandemi Dalam Lintasan Ruang dan Waktu: Catatan Dari Editor, dalam “Rembug Pageblug; Dampak, Respons dan Konsekuensi Pandemi Covid-19 dalam Dinamika Wilayah”, Badan Penerbit Fakultas Geografi (BPFG) Universitas Gadjah Mada, 2020.

Tulisan lainnya dari Heri Priyatmoko, “Pageblug di Mata Pujangga”. Dimuat di alif.id Senin, 27 Juli 2020 dan artikel dari Mita Puspita Sari dan Nugroho Trisnu Brata, “Hubungan Antara Mitos Pageblug dan Tradisi Apitan Pada Masyarakat Jawa Di Semarang”, dalam Jurnal Patrawidya, Vol. 19, No. 2, Agustus 2018

Dalam sejarah dunia, terjadinya pandemi sebagai kemunculan wabah penyakit tertentu sudah tercatat sejak 5.000 tahun Sebelum Masehi. Wabah besar itu terjadi di China. Bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa jenazah korban wabah tersebut dimasukkan ke dalam suatu rumah yang kemudian dibakar.

Tidak ada kelompok umur tertentu yang selamat dari wabah itu karena tengkorak anak-anak, orang muda dan orang tua semuanya ditemukan dalam rumah yang dibakar tersebut.

Studi arkeologi dan antropologi menyimpulkan bahwa epidemi yang terjadi saat itu berlangsung sangat cepat sehingga tidak ada waktu untuk melakukan penguburan secara layak, dan selanjutnya lokasi itu tidak dihuni lagi.

Sejarah juga mencatat setidaknya ada sekitar 20 peristiwa pandemi dan epidemi sejak 5.000 tahun sebelum masehi. Salah satu pandemi yang dikenal dengan “Black Death” dipercaya telah mengubah sejarah Eropa dan sejarah dunia. Penduduk Eropa tinggal separuh akibat terjadinya wabah penyakit pes yang disebabkan oleh bakteri yang dikenal dengan Yersinia pestis.

Akibat banyaknya penduduk yang tewas menjadi korban pandemi, Eropa mengalami kelangkaan tenaga kerja, upah tenaga kerja naik, hubungan kerja petani besar yang mengeskploitasi petani kecil (“serfdom”) berakhir, dan memunculkan dorongan untuk inovasi teknologi.

Perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat Eropa sejak terjadinya Black Death itulah yang dipercaya menjadi pemicu inovasi dan berbagai invensi dalam kehidupan di Eropa yang kemudian menyebar ke seluruh dunia.

Pandemi dalam Mitologi  Jawa

Pandemi sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, sehingga secara kultural pandemi sudah akrab dengan kehidupan manusia. Bahkan padanan kata dari pandemi sudah ditemukan dalam berbagai bahasa kuno yang sekarang sudah tidak digunakan lagi.

Pandemi sebagai penanda pergantian era atau zaman dalam  budaya Jawa juga disimbolisasikan dalam adegan goro-goro dalam kesenian wayang kulit dan disebut dengan pageblug dalam Bahasa Sanskerta.

blank

Pageblug dalam mitologi Jawa terjadi biasanya terjadi oleh karena bekerjanya Batara Kala. Menurut sastra Jawa, istilah “kala” dapat dimaknai sebagai raksasa, waktu, atau jerat penderitaan yang membelenggu.

Uniknya, tokoh Batara Kala juga disebutkan turun ke dunia tidak dalam wujud raksasa yang besar, melainkan dalam bentuk seperti serangga, tetapi lembut, bercampur air, dan berbaur dengan udara. Meskipun demikian dalam bahasa komunikasi seni pedalangan Batara Kala tetap ditampilkan melalui personifikasi sebagai sosok raksasa yang menakutkan.

Dalam cerita kematian Batara Kala oleh Batara Wisnu, tubuh raksasa itu hancur-lebur menjadi partikel-partikel yang sangat kecil dan ditiup menyebar di seluruh dunia. Karena itu menyebarnya pandemi di seluruh dunia dalam sistem mitologi Jawa dipercaya sebagai ulah Batara Kala.

Ciri-ciri seperti ini sangat mirip dengan virus Covid-19 yang bercampur dengan air (droplets), tidak tampak oleh mata telanjang dan bercampur dengan udara menyebar di seluruh dunia yang sangat berbahaya dan menyebabkan sakit dan kematian jika terhirup oleh sistem pernafasan manusia.

Selain pemahaman tentang pandemik yang secara kultural sudah dikenal oleh masyarakat sebagaimana tersebut di atas, dalam budaya Jawa juga dikenal secara turun-temurun budaya pengobatan tradisional untuk mengatasi berbagai penyakit. Beberapa bukti arkeologis dari Indonesia menunjukkan praktik-praktik kearifan budaya lokal dalam pengobatan terhadap berbagai penyakit yang sebagian masih dipraktikkan sampai saat ini.

Meskipun beberapa bagian dari sistem pengetahuan pengobatan tradisional warisan nenek-moyang mengunakan kearifan lokal dan material lokal, namun saat in telah mengalami modernisasi proses dan mengandalkan ilmu pengetahuan modern untuk pengolahannya. Sementara itu riset-riset terus berkembang untuk memastikan berbagai kearifan lokal yang ada juga secara saintifik dapat diuji kehandalannya.

Ketika saat ini terjadi pandemi, istilah lawas yang khas dan berdimensi historis, yaitu “pageblug”, malah tenggelam. Padahal, masyarakat Jawa sedari lama berkarib dengan lema pageblug. Kata itu di tangan pujangga dirasakan mengandung “sihir” agar warga eling lan waspada terkait ancaman nyata virus Korona di depan hidung.

Pekamus Poerwodarminta dalam Bausastra Jawa (1939) menyuratkan “pageblug” diartikan sebagai “ngusum lelara nular” (musim penyakit menular). Ambillah misal, legenda Calon Arang menyebarkan teluh kepada masyarakat di sekitarnya. Terjadilah pageblug yang merenggut banyak nyawa. Dalam tembang pupuh, diceritakan periode kekuasaan Prabu Erlangga, Calon Arang berdialog dengan Batari Durga supaya menciptakan wabah penyakit.

Ia menyorongkan sesaji terhadap “junjungannya” itu agar bersedia melahirkan pageblug mematikan orang-orang. “..amba nuwun sih bathari, badhe damêl pagêblug numpêsi tiyang,” tulis juru pena istana. Meminjam kacamata ilmiah Selo Soemardjan, masyarakat pemeluk pemikiran irasional awal meyakini bahwa penyakit bisa datang dari teluh atau santet yang dikirim oleh orang, bukan lagi ulah lampor atau lelembut.

Jurnalis sekaligus sastrawan, Padmasusastra dalam serat “Pustakaraja Purwa” (1924) merakit kisah itu dengan sangat bagus. Alkisah, Kerajaan di Ngastina semasa Prabu Krêsna Dwipayana berkuasa, kedatangan tamu istimewa ratu dari Sriwadari. Dialah Prabu Dasabau, buah hati Prabu Partayatnya.

Dijelaskan bahwa Prabu Dasabau sudah tiga tahun menahkodai para kawula menggantikan ayahandanya. Namun, negaranya dilanda kesusahan tanpa ujung, yaitu terkena pageblug besar (“kaparag ing pagêblug agêng”). Tidak sedikit prajurit perempuan mati akibat dasyatnya amukan pageblug.

Cuilan kisah ini menerbangkan imajinasi historis masyarakat Solo tentang fenomena pandemi kolera mengamuk kerajaan periode Paku Buwana IV (1788-1820). Bahkan, pageblug tersebut menyebabkan pemain gender ampuh istana Kasunanan, Nyai Jamprang “tutup usia”. Wong Solo detik itu geger lantaran niyaga perempuan ini hidup lagi dengan membawa gending sakral “Gadhung Mlathi” serta mengaku bertemu Nyai Ratu Kidul.

Interpretasi historisnya ialah Kerajaan Kasunanan Surakarta dan wilayah Soloraya semasa Padmasusastra digempur pageblug pes yang memangsa ribuan nyawa. Sengaja diketengahkan pula negara Sriwadari dalam cerita itu. Sriwedari merupakan ruang publik yang menjadi magnet dan kebanggaan masyarakat Soloraya lintas kelas dan etnis.

Pageblug berawal dari rombongan tikus menyusup ke karung beras impor yang diusung gerbong kereta api tahun 1915. Sepur berhenti di Stasiun Jebres, tikus lalu menyebar dan mendekam di rumah penduduk yang berdinding anyaman bambu serta selokan. Binatang ini membawa malapetaka.

Selama tahun 1916 beberapa kasus pes diketahui telah menyebar di afdeling Sragen, Klaten, dan Boyolali. Puncaknya, tahun 1924 warga Soloraya yang menjadi korban pes mencapai 4.482 jiwa. Setahun kemudian, melonjak menjadi 5.000 jiwa. Catatan pahit ini terekam dalam arsip memorie van overgave tuan residen Surakarta Harloff.

Padmasusastra mendeklarasikan diri sebagai pujangga merdeka (tidak dikekang keraton) itu tentu merasakan kepedihan kawula alit alias rakyat kecil menghadapi situasi pageblug. Sebab, kaum rakyat ini adalah kelompok yang paling menderita akibat keganasan pes tanpa ampun.

Beda dengan komunitas Eropa yang diamankan para dokter Eropa. Demikian pula lingkaran istana, kondisi kesehatan raja dan keluarga aristokrat terjamin oleh barisan dokter keraton. Antara lain, dokter Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Widyadiningrat, Raden Tumenggung Nitidiningrat, Raden Ngabehi Wiryahusada, dan Panji Prawirodinata.

blank

Eling lan Waspada

Kini, sejarah kelam itu berulang dengan subyek yang berbeda. Leluhur senantiasa berpesan agar kita eling lan waspada. Bertindak sembrono sama saja memperpanjang usia pageblug, juga membahayakan keselamatan orang lain. Kita diajarkan untuk tidak buru-buru memahami fenomena pageblug sebagai takdir atau lelakon urip yang harus dilalui dengan pasrah. Istilah pageblug bukan tanpa makna.

Zaman telah membuktikan bahwa ia merontokkan seluruh sendi kehidupan masyarakat. Dianggap seram dan mistis, maka pujangga mendokumentasikan pageblug lewat karya sastra sebagai pengeling-eling. Kita mestinya belajar dari kasunyatan pahit itu.

Selain karya sastra, dalam khazanah tradisi di masyarakat juga terdapat kegiatan dalam rangka menghadapi pageblug. Salah satu tradisi adalah “apitan” (sedekah bumi atau bersih desa) yang dilakukan setahun sekali oleh warga Kelurahan Kalipancur dan Kelurahan Bambangkerep, Kota Semarang.

Tradisi apitan diselenggarakan sebagai wujud rasa syukur yang telah diberikan Tuhan YME sebagai sedekah bumi. Waktu pelaksanaan tradisi ini saat bulan apit (tergolong bulan Dzulkaidah) dan pada puncak acara wajib “nanggap wayang” terdapat pertunjukan wayang kulit semalam suntuk untuk hiburan sekaligus khusus dipersembahkan kepada “dhanyang” (roh leluhur pelindung atau penjaga kampung).

Pandangan fungsional atas kebudayaan menekankan bahwa setiap pola tingkah-laku, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan suatu masyarakat, memerankan fungsi di dasar dalam budayan yang bersangkutan. Sehubungan dengan fungsinya, mitos memiliki fungsi mengurangi kecemasan dalam menghadapi hal-hal yang tak dapat dipahami.

Realitas mitos yang hidup dalam masyarakat dipercaya karena pernah terjadi pada masa lampau dan terus berlanjut sampai sekarang, sehingga mampu mempengaruhi kehidupan manusia. Aktivitas hasil peristiwa mitos berwujud seperti ritual, upacara, dan organisasai sosial yang terkadang mengandung referensi langsung tentang mitos.

Tujuan awal dari tradisi apitan adalah sebagai ucapan syukur setelah panen karena dahulu warga mayoritas petani. Mata pencaharian warga sekarang beragam, maka acara tradisi apitan dijadikan acara bersih Kampung. Bersih kampung dilakukan sebagai tolak bala agar terhindar dari hal buruk, sehingga warga mendapatkan keselamatan.

Kebutuhan akan naluri kebudayaan ditunjukkan dengan mengadakan tradisi apitan wayangan sebagai bentuk kebutuhan akan mendapatkan keselamatan, sehingga apabila warga sudah melaksanakan tradisi apitan wayangan maka warga merasa tentram dan tidak akan khawatir lagi. Kebutuhan naluri akan keselamatan yang menjadi dasar pokok kebutuhan manusia pada diri manusia pada umumnya.

Fungsi simbolis tradisi apitan bagi warga yaitu pertama dimaksudkan untuk tolak bala mendapatkan keselamatan bagi warga Kalipancur dari pengaruh hal buruk ataupun ancaman roh. Kedua yaitu menambah keyakinan diri yang dirasakan pada masing-masing warga dengan setahun sekali melaksanakan apitan. Ketiga yaitu merekatkan kerukunan antar warga merupakan hasil rangkaian acara tradisi apitan yang berkembang.

Penulis adalah budayawan dan aktivis perdamaian lintas agama