blank
Asintel Kejati Jateng, Emilwan Ridwan (kedua dari kanan) bersama jajaran (tim operasi yustisi Kejati Jateng). Foto: Dok/ist

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Kelangkaan obat terapi Covid-19 di pasaran menimbulkan keprihatinan bagi jajaran Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah.

Untuk menstabilkan ketersediaan dan harga obat yang terjangkau untuk masyarakat, Kejati Jateng mendukung kebijakan pemerintah dalam melakukan operasi yustisi dan pengawasan obat dari ulah oknum distributor nakal.

“Kejaksaan Jateng mendukung penuh operasi yustisi, dan pengawasan HET (harga eceran tertinggi) obat maupun penimbunan obat yang berkaitan dengan kelangkaan obat Covid-19 di Jawa Tengah, dalam rangka mendukung PPKM Darurat,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jateng, Priyanto SH MH, di Semarang, Rabu (21/7/2021).

Menurut Priyanto, obat Covid-19 yang ada di sejumlah apotek dan toko obat secara umum stoknya kini mulai menipis, bahkan ada yang kosong. Dari hasil pengawasan dan pengecekan HET obat di beberapa apotek, toko obat, Pedagang Besar Farmasi (PBF) dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), diketahui sejumlah stok obat Covid-19 mulai menipis, sehingga perlu pasokan lagi dari distributor obat.

Sementara untuk stok obat Covid-19 yang menipis atau kosong antara lain, favipiravir 200mg tablet, remdevisir 100mg injeksi, oseltamivir 75mg kapsul, intravenous immunoglobulin 5% 50ml infus, intravenous immunoglobulin 10% 25ml infus, dan intravenous immunoglobulin 10% 50ml infus.

Selain itu ivermectin 12mg tablet, tocilzumab 400mg/20ml infus, tocilzumab 80mg/4ml infus, azithromycin 500mg tablet, azithromycin 500mg infus, zegavit multivitamin, zink, suplemen imbost, paracetamol dan sejumlah obat lainnya.

Priyanto mengatakan, operasi yustisi dan pengawasan terhadap stok obat Covid-19 perlu dilakukan guna mengetahui permasalahan yang terjadi di lapangan.

“Di antaranya, apakah harga jual obat sudah sesuai dengan HET dari Menkes maupun dari HET pabrikan seperti Kimia Farma. Apakah ada indikasi obat Covid-19 dimonopoli oleh perusahaan obat àtau apotek besar, sehingga apotek lain tidak dapat pasokan, dan kekosongan obat apakah akibat aksi borong untuk dijual secara on line,” ungkapnya.

Priyanto menjelaskan, dari hasil pengawasan dan pengecekan di lapangan oleh jajaran Kejati Jateng, disimpulkan bahwa HET obat yang dikeluarkan berdasarkan Kep.Menteri Kesehatan No. HK.01.07/Menkes/4826/2021 Tanggal 2 Juli 2021 dengan HET yang dikeluarkan pabrikan seperti Kimia Farma jauh tinggi.

Dicontohkan, untuk HET obat azithromycin 500 mg tablet sesuai Menkes Rp 1.700/tablet, tapi HET pabrikan Kimia Farma sebesar Rp 15.400/ tablet atau Rp 308.000 per-20 tablet, sehingga terjadi kelangkaan, dan apotek tidak berani menjual ke masyarakat karena dianggap menggelembungkan atau mark up harga obat.

“Saya harapkan untuk HET obat agar bisa disesuaikan dengan harga pasar, sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat,” pintanya.

Selain itu, kekosongan obat yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan adanya aksi borong oleh oknum untuk dijual secara on line. Dengan adanya aksi ini, otomatis obat Covid-19 menjadi langka di pasaran, sehingga oknum tersebut bisa menjual dengan harga tinggi demi meraup keuntungan pribadi.

“Dan, adanya indikasi obat-obat Covid-19 dimonopoli oleh pabrikan atau apotek besar, sehingga apotek lain yang ada di kabupaten tidak dapat pasokan,” imbuhnya..

Selain mendukung penuh operasi yustisi yang dilakukan tim gabungan, Priyanto meminta tim yustisi agar tidak hanya menyasar opotek saja, namun juga mengawasi dan menelusuri alur distribusi penjualan obat secara ketat, mulai dari pabrikan atau perusahaan besar farmasi hingga ke apotek.

“Penjualan obat Covid-19 oleh perusahaan besar farmasi perlu diawasi ketat. Jangan sampai ada oknum tidak bertanggung jawab bisa membeli obat dalam partai besar tanpa keterangan yang jelas, sekedar dijual secara online,” tandasnya.

Ning-Mul