WASHINGTON DC (SUARABARU.ID)– Khatib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Yahya Cholil Staquf, mendapatkan apresiasi tinggi dari tokoh-tokoh perdamaian global, di ajang International Religious Freedom (IRF) Summit, yang digelar di Washington, DC, Amerika Serikat, baru-baru ini.
Pada hari ketiga Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) itu, Yahya Staquf menyampaikan pidato kunci dengan judul ‘The Rising Tide of Religious Nationalism’ (Pasang Naik Nasionalisme Religius).
Dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi suarabaru.id, putra almaghfurlah KH Cholil Bisri itu mengatakan, fenomena bangkitnya nasionalisme religius adalah bagian dari mekanisme pertahanan, ketika suatu kelompok agama yang biasanya merupakan mayoritas di negaranya, merasa terancam secara budaya.
BACA JUGA: Sejak Pemberlakuan PPKM Darurat, Polda Jateng Putar Balik Ribuan Kendaraan
Kebangkitan ini pun, lanjut dia, tak terelakkan, lantaran dunia tengah bergulat dalam persaingan antar-nilai untuk menentukan corak peradaban di masa depan. Di sisi lain, dinamika internasional telah mengarah pada perwujudan satu peradaban global yang tunggal dan saling berbaur (single interfused global civilization).
Ditabahkan dia, persaingan yang sengit ini berpotensi besar memicu permusuhan dan kekerasan. Oleh karena itu, Yahya Staquf mendorong berbagai elemen di dunia untuk menemukan cara untuk mengelolanya, sebelum telanjur meletus konflik global yang kian parah.
Untuk mengatasi hal itu, Gus Yahya Staquf menawarkan strategi dan model perdamaian dunia, sebagaimana yang selama ini telah dipraktikkan kalangan Nahdlatul Ulama (NU).
BACA JUGA: Giliran Sopir, Kernet dan Juru Parkir di Kebumen Terima Bantuan Rp 500 Ribu.
Dalam kesempatan itu, juru bicara era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ini menjelaskan, sebelum mewujudkan kedamaian global, harus diidentifikasi lebih dahulu nilai-nilai apa yang selama ini telah menjadi kesepakatan bersama.
”Saya bisa sebut nilai-nilai kejujuran, kasih-sayang dan keadilan adalah nilai-nilai yang pasti kita sepakati secara universal,” kata pengasuh Pondok Pesantren Roudlotut Tholibien, Leteh, Rembang itu.
Selanjutnya, jelas Gus Yahya, dunia harus membangun konsensus atas nilai-nilai yang perlu disepakati, agar semua pihak yang berbeda-beda dapat hidup berdampingan secara damai. Bahkan bila diperlukan, nilai-nilai tradisional yang menghambat koeksistensi damai pun, layak untuk diubah.
BACA JUGA: Harga Selangit Bukan Jaminan Prestasi
Untuk memperjelas atas solusi yang dia tawarkan itu, Khatib Aam PBNU mencontohkan strategi NU yang menyatakan, kategori kafir tidak memiliki relevansi hukum dalam konteks negara bangsa modern.
Hal ini sangat beralasan, sebab setiap warga negara sejatinya harus setara di depan hukum. Sikap NU itu merupakan hasil Munas Alim Ulama di Kota Banjar, pada 2019 lalu.
”Dengan pendekatan ini, maka adanya perbedaan-perbedaan keyakinan mengenai nilai-nilai yang tersisa, harus disikapi dengan toleran,” tandas Gus Yahya, yang mantan anggota Wantimpres ini.
BACA JUGA: Tim Satelit KTM Alami Masa Sulit
Pandangan dan tawaran solusi perdamaian global yang disampaikan Gus Yahya itu, ternyata mendapat sambutan hangat dari para peserta IRF. Hadirin pun bertepuk tangan berulang kali sepanjang pidato itu.
Ambassador Sam Brownback dalam sambutannya menyampaikan, sebagai pemrakarsa dan penanggung jawab KTT ini, bahkan secara khusus memuji langkah-langkah bersejarah yang telah diambil NU.
”Dunia sungguh membutuhkan peran Nahdlatul Ulama, demi masa depan peradaban yang lebih harmonis,” tegasnya.
Riyan