Oleh : dr Nurkukuh, M.Kes
Katakanlah kita sedang bermain sepakbola Covid -19, maka 5 level pencegahan penyakit yang pertama yaitu health promotion yang operasionalnya 5M merupakan penyerang, yang kedua spesific protection yg operasionalnya vaksinasi adalah gelandang serang.
Sedang ketiga early diagnosis and prompt treatment yang terdiri dari 3 T, ikut berperan menyerang dan bertahan biasa disebut pemain jangkar. Testing bisa ikut nyerang, tetapi tracing dan treatment merupakan pemain defensif, sepenuhnya bertahan, sebab menunggu datangnya penderita penyakit.
Mana bisa kita menang membikin gol kalau tidak menyerang? 5 M lemah 2 T ikut melemah ya tinggal menunggu kapan kita kemasukan gol, nunggu kapan kita kalahnya.
Maka kalau kita ingin menang, harus memasukkan gol. Berapa jumlah gol yang harus dimasukkan jika kita ingin memenangkan pertandingan? Ada patokan dari badan kesehatan dunia dan juga dari Kementerian Kesehatan RI.
Dari 70 % jumlah masyarakat disebuah daerah harus taat protokol kesehatan 5 M. Juga 70 % penduduk harus telah di vaksin. Testing mencapai 1 per 1.000 jumlah penduduk per minggu, tracing sampai kontak erat ring 2/3 dengan px PCR bukan px RDT – Ag.
Lima level tingkatan diatas ditemukan oleh HR Leavell dan EG Clark, dimana level 4 dan 5 nya dikerjakan bila menjelang sembuh. Tanpa melewati penerapan dari teori diatas secara epidemiologis, grafik trias epidemiologi yang terdiri dari host, agent dan environment akan status quo naik turun, tetapi tetap dipuncak.
Jangan Bermain Data
Namun masih ada faktor lain lagi yang berkontribusi terhadap naiknya garis grafik epidemiologi. Sebab grafik epidemiologi tersebut disusun berdasarkan data. Data itu diperoleh dari kegiatan tiap level langkah epidemiologis baik 3 M maupun 3 T.
Padahal kebijakan epidemiologis disimpulkan tergantung hasil kompilasi data yang terlukis sebagai garis trend atau kecenderungan dari indikator yang ditulis dan bisa dibaca, oleh siapapun utamanya pengambil kebijakan.
Disinilah bisa terjadi kesalahan non teori atau teknis atau kesalahan manusia yang sering disebut human error. Misalnya bagaimana supaya wilayahnya tidak merah, tetap kuning maka tangan manusia akan bergerak mendukungnya dengan bermain-main data. Tanpa mempertimbangan faktor risiko yang akan terjadi.
Akibatnya sering dilupakan, pemahaman mendasar dan penting bahwa sekarang kita berhadapan dengan data insidensi. Bukan prevalensi. Contoh prevalensi itu data penyakit tuberkulosis, balita stunting dsb. Contoh insidensi itu data penyakit Covid -19, demam berdarah dsb.
Sama-sama berdampak buruk bila datanya disesuaikan hingga insidensi akibatnya langsung tampak cepat se-konyong-sekonyong. Sebab apa? Karena insidensi termasuk Covid-19 adalah penyakit akut. Sedang privalensi seperti tuberkulosis adalah penyakit kronis.
Karena itulah, sebaiknya mengurangi bermain-main dengan data insidensi epidemiologis, sebab dampak buruknya bisa cepat mendadak muncul sesuai karakter penyakit yang akut. Orang awam mengatakan tahu-tahu meledak dan tidak diantisipasi.
Seperti sepak bola, data kekuatan lawan telah dimainkan dan dimanipulasi, hingga kita babak belur ketika sudah berada di dalam lapangan Semoga tidak terjadi.
dr Nurkukuh, M.Kes, adalah Seorang Dokter, Ahli Kesehatan Masyarakat